Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Islam mengajarkan bahwa kemuliaan dan kebahagiaan hakiki ada pada ketakwaan, bukan terletak pada materi atau hal-hal berbau duniawi. Inilah yang bahkan menjadi salah satu tujuan diwajibkannya ibadah saum saat Ramadan, yakni mewujudkan pribadi dan umat yang bertakwa kepada Allah Swt.
Umar bin Abdul Aziz pernah berkata bahwa takwa kepada Allah bukan hanya ditandai dengan seringnya puasa pada siang hari dan seringnya salat pada malam hari ataupun kedua-duanya. Takwa kepada Allah adalah meninggalkan yang diharamkan-Nya dan melakukan yang diperintahkan-Nya.
Begitu pun Ibnu Qayyim pernah berkata, “Hakikat takwa adalah menaati Allah atas dasar iman dan ihtisab (ikhlas hanya mengharap rida Allah), baik terhadap perkara yang diperintahkan atau pun perkara yang dilarang. Oleh karena itu, seseorang melakukan perintah itu karena imannya. Ia akan melakukan apa yang diperintahkan-Nya disertai dengan pembenaran terhadap janji-janji-Nya. Dengan imannya itu pula, ia meninggalkan yang dilarang Allah dan takut terhadap ancaman-Nya.”
Dengan demikian, meraih takwa tidak semudah yang kita kira. Tidak bisa hanya dengan salat dan puasa, atau memperbanyak sedekah atau akhlak baik saja. Karena takwa adalah buah keimanan yang maknanya begitu dalam. Ia mewujud dalam ketaatan mutlak pada seluruh titah Rabb-nya. Tidak hanya dalam urusan ibadah dan akhlak, tetapi di seluruh aspek kehidupan. Takwa seperti inilah yang menjamin seseorang dan umat jauh dari kesempitan. Jalan keluar akan terbuka lebar. Bahkan, kehidupan individu dan umat yang takwa akan diliputi dengan selaksa keberkahan.
Hakikat takwa seperti ini tentu akan sulit mewujud dengan pengarusan gagasan Islam moderat. Karena gagasan ini tidak memberi tempat bagi penerapan Islam secara mutlak. Islam moderat bahkan mereduksi ajaran Islam hanya sebatas ibadah dan nilai-nilai moral. Sementara hukum-hukum Islam menyangkut muamalah dan uqubat harus disingkirkan.
Ide ini lahir dari sikap kompromi terhadap nilai-nilai Barat. Ide ini menghendaki umat Islam menjadi entitas yang inklusif, pluralis, relativis, sekularis, bahkan liberalis. Mereka lalu menyebutnya sebagai Islam yang kekinian dan bisa menjawab tantangan zaman. Padahal sejatinya, Islam seperti ini menjadi alat untuk menyukseskan agenda Barat. Mereka menyandingkannya dengan perang melawan terorisme yang hakikatnya merupakan perang terhadap kebangkitan peradaban Islam.
Sungguh, umat hari ini tidak butuh moderasi Islam. Mereka justru butuh institusi khilafah sebagai penerap syariat Islam. Tidak hanya sebagai narasi sejarah, tetapi sebagai ajaran yang semestinya segera mereka terapkan dalam kehidupan. Karena keimanan memang menuntut demikian. Hanya dengan Khilafah, agama, kehormatan, nyawa, dan harta mereka akan terjaga. Karena Khilafah adalah institusi penegak hukum Allah ‘Azza wa Jalla Yang Mahasempurna dan Mahaperkasa. Wallahu a’lam bi ash showab