Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Bulan Ramadhan telah hadir menyapa. Banyak kaum muslimin bermimpi bisa khusyu’ beribadah, tanpa dibebani pikiran seputar kebutuhan hidup yang menekan kepala. Namun umat muslim harus kecewa, karena Ramadhan datang diiringi dengan melambungnya harga. Belum selesai kisruh minyak goreng dan kenaikan harga sejumlah bahan pangan, kenaikan harga LPG dan BBM menambah panas polemik sosial di negeri ini. Padahal, pandemi yang berdampak besar terhadap ekonomi rumah tangga belum sepenuhnya pergi.
Kekecewaan masyarakat semakin memuncak, tatkala mereka melihat tokoh yang dulu pernah berada di barisan mereka saat ada kenaikan BBM, sekarang diam seribu bahasa. Sebut saja Puan Maharani, sang Ketua DPR RI. Ketika Puan masih menjadi oposisi di era Presiden SBY, dia dengan tetesan air mata terisak-isak sambil berpuisi menolak kenaikan BBM. Namun, menjadi pendukung pemerintah kini, tidak ada lagi air mata ketika pemerintah menaikkan BBM dan malah dengan gampangnya mengamini kenaikan BBM. (Republika, 3/4/2022).
Kita semua tentu mendambakan harga BBM murah dan juga memiliki pejabat yang empati terhadap nasib rakyat. Namun, itu semua hanya menjadi mimpi di sistem kapitalis saat ini. Tentu akan menjadi hal yang berbeda jika kita bicara aturan Islam. Islam mengatur BBM sebagai bagian dari kepemilikan umum, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ bahwa, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Oleh karena itu, BBM tidak boleh dimiliki/dikelola atas nama individu, apalagi oleh oligarki maupun swasta asing. Negara Islam hanya diperkenankan mengelola BBM untuk dikembalikan dalam kemanfaatan yang besar bagi rakyat, bukan demi prinsip bisnis dan capaian profit, seperti yang dilakukan pertamina saat ini.
Peran penguasa pun semata-mata menjalankan amanah untuk mengurus rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Berdasarkan kedua hadis ini, Islam menutup ruang bagi adanya tipe-tipe pejabat yang inkonsisten dan minim empati dalam memperjuangkan nasib rakyat. Kiprah para pejabat di negara Islam adalah tulus mengabdi mengurusi urusan umat, bukan sekadar pencitraan. Semua tanggung jawab yang mereka tunaikan adalah bagian dari tanggung jawab keimanan.
Demikianlah, paham sekularisme akut telah berdampak sangat parah pada tipe-tipe pejabat negara. Sikap inkonsisten hingga yang minim empati pada rakyat menunjukkan bahwa yang para pejabat itu hanya bekerja atas kepentingan politis dan prinsip bisnis. Maka untuk bisa keluar dari semua itu, tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rosulullah dan para sahabat. Sebagaimana yang telah Allah janjikan, akan turun berkah dari langit dan bumi, ketika penduduk suatu negeri bertaqwa, yakni terikat dengan seluruh aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahua’lam bi ash showab.