Hadiah Pahit untuk Rakyat di Bulan Ramadhan, PPN Naik.



Penulis : Venti Budhi Hartanti, S.Pd.I


Ramadhan tahun ini rakyat semakin menderita. Bukan karena datangnya bulan suci Ramadhan,melainkan kebijakan baru yang dibuat oleh pemerintah negeri ini. Ditengah pandemi yang belum usai dan beranjak dari negeri ini,meroketnya harga minyak tanah,kenaikkan harga elpigi yang disertai kelangkaannya. Ditambah deretan panjang melonjaknya harga bahan makanan. Kini ditambah lagi dan diperparah lagi dengan kebijakkan yang baru disahkan olen pemerintah.
Rakyat kembali kecewa lantaran realitas kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) telah resmi diberlakukan pada 1/4/2022 ini. Meskipun banyak penolakan, kebijakan yang diputuskan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya disahkan.

Tidak heran jika kebijakan kontroversial ini pun mendapat penolakan dari masyarakat. Tidak terkecuali dari ekonom senior Faisal Basri. Alasan paling utama penolakannya adalah tidak ada unsur keadilan yang selama ini digembar-gemborkan Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajarannya.

Keadilan yang dimaksud adalah ketika PPN naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%, tetapi di saat yang sama, pajak penghasilan (PPh) badan diturunkan dari 25% menjadi 22%, bahkan sebelumnya sempat direncanakan sampai 20%. Sedangkan untuk rakyat kecil, pajaknya justru dinaikkan. (CNBC Indonesia, 1/4/2022)


Kebijakan Pascapandemi yang mencekik.
Hal terpenting adalah kebijakan ini ada saat di tengah masa sulit yang dihadapi oleh rakyat. Pemulihan ekonomi masih terlalu dini. Konsumsi masyarakat yang biasanya tumbuh 5% saja kini masih di angka 2%.

Masyarakat masih berupaya untuk bangkit, tetapi lagi-lagi tertekan akibat kenaikan harga pangan. Pangan memang kelompok yang tidak dikenakan PPN, tetapi kebutuhan sehari-hari lainnya, seperti sabun mandi, alat tulis, seragam sekolah, hingga mi instan akan terdampak.

Memang aneh, kebijakan perpajakan diambil dengan memberatkan masyarakat miskin, di sisi lain menguntungkan masyarakat kaya. Orang kaya justru mendapat tax amnesty (pengampunan pajak) dan kebijakan Pajak Pembelian Barang Mewah (PPnBM), yakni adanya pengurangan pajak hingga sampai 0%.

   Sudah menjadi ciri khas sistem demokrasi yang menjalankan ekonomi negara dengan ditopang oleh utang dan pajak. Saat negara tidak mampu lagi menambah utang, di saat itu pula mengambil kebijakan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Katanya demi menciptakan rezim pajak yang adil dan kuat. Maka sangatlah nampak bahwa kebijakkan pemerintah hanya berlaku bagi para pemilik modal dan ini merupakan hasil dari sistem sekuler kapitalis yang sudah negeri ini terapkan. Alhasil bukan untuk kesejahteraan rakyat yang mereka gaungkan melainkan sebaliknya. Menambah deretan panjang penderitaan untuk rakyat. 

 Di tengah kesulitan rakyat menjangkau harga minyak goreng, saat pejabat terkait mengatakan biaya pembangunan IKN bisa berasal dari masyarakat  lewat crowd funding, malah Menkeu dengan ringannya mengatakan menaikkan tarif PPN bukan untuk menyusahkan rakyat. Sepertinya empati memang bukan sifat dari para pemangku kekuasaan dalam demokrasi.

Betapa tidak, perusahaan besar mendapat keringanan pajak dari pemerintah. Bahkan katanya diberikan banyak fasilitas, salah satunya perusahaan smelter Cina di RI tidak perlu bayar pajak. Situasi ini berbanding terbalik dengan kebijakan PPN, pajak akan dibebankan kepada masyarakat luas.

Ekonom Faisal Basri menilai keputusan pemerintah untuk mengerek PPN sangat memaksakan. Ia pun menanyakan keberpihakan pemerintah yang seakan-akan membuat kebijakan untuk masyarakat Cina bukan RI. Perusahaan Cina mendapat fasilitas royalti nol persen. Sementara tarif PPN dinaikkan untuk dibebankan pada rakyat.

Negeri di mana warga RI lahir dan dibesarkan, tetapi kebijakan yang diputuskan tidak pernah pro pada kepentingan rakyat melainkan sang tuan investor. Semestinya memang rakyat marah dan tidak mempercayai lagi semua kebijakan rezim demokrasi. Jika terus begini layaklah demokrasi diganti dengan sistem Islam yang berkeadilan dan menjamin kesejahteraan.

     Dalam sistem demokrasi, pemerintah mengatasi defisit anggaran dengan melakukan utang dan meningkatkan pendapatan lewat pajak. Pendapatan pajak dijadikan basis utama APBN, sementara pendapatan dari sektor SDA ditiadakan. Menaikkan tarif pajak dianggap solusi mengatasi krisis keuangan negara.

Sementara, dalam Khilafah, jika terjadi defisit anggaran yakni penerimaan negara lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran yang wajib dipenuhi maka kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim dalam bentuk pajak yang sifatnya sementara atau pinjaman. Khalifah akan menerapkan pajak pada masyarakat yang kaya.

Artinya, pajak tidak dibebankan pada masyarakat luas. Menurut Abdul Qadim Zalum, jika terjadi kekurangan pendapatan dari sumber pendapatan yang ditetapkan dalam Islam untuk membiayai pengeluaran, Khalifah dapat menerapkan pajak. Syaratnya, terdapat kebutuhan untuk menutupi kebutuhan dan kemaslahatan kaum muslim.

Masyarakat yang kaya akan membayar pajak untuk belanja yang hendak dibiayai baitulmal— sementara baitulmal dalam kekosongan keuangan—yaitu di antaranya pembiayaan jihad, industri militer, pemberian bantuan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, dan ibnu sabil, pembiayaan gaji orang yang diupah negara seperti tentara, pegawai, hakim, dan guru. Pun, pembiayaan untuk kemaslahatan yang dibutuhkan seperti bencana, gempa bumi, longsor, dan banjir.

Selain menerapkan pajak bagi orang kaya, Khalifah juga bisa melakukan pinjaman. Meminjam dengan cara mempercepat pembayaran zakat dan kharaj bagi warga Khilafah, yang nantinya kewajiban mereka yang jatuh tempo akan dikurangi sesuai dengan utang negara kepada mereka.

Negara pun mendorong rakyatnya untuk memberikan bantuan untuk membantu negara menangani masalah keuangan. Hal itu dilakukan rakyat dengan penuh ketaatan dan kelapangan hati.

      Khilafah akan berupaya semaksimal mungkin mengatasi krisis keuangan negara tanpa membebankan rakyat dengan berbagai pungutan. Mengutamakan pembelanjaan negara dari sumber pendapatan yakni harta anfal, ganimah, fai, khumus, kharaj, dan jizyah. Sumber lainnya ialah harta milik umum, harta milik negara , ‘usyur, dan harta sedekah/zakat.

Khalifah sangat memahami hadis Rasulullah saw., “Barang siapa melepaskan kesusahan duniawi seorang muslim, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat. Barang siapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim)

Menjadi tanggung jawab Khalifah untuk melepaskan kesusahan rakyatnya. Sebagai ganjaran, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Masyaallah. Wallahualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak