Gepeng dan Anjal, Bukti Sistem Kapitalisme yang Gagal







Oleh: Siti Maisaroh, S.Pd. 
(Relawan Opini kota Kendari)


Lebih sepekan Ramadhan telah berlalu. Kaum muslim menyambutnya dengan penuh gembira. Masjid-masjid mulai ramai dengan tarawih dan tadarusan. Tak ketinggalan, penjual menu berbuka menghiasi kiri-kanan jalan. 


Namun, keindahan dan kebahagiaan itu terasa hambar. Saat kita melihat tangan-tangan payah dengan tubuh memelas bersiaga di keramaian untuk meminta belas kasihan. 
Meski Bulan Ramadhan identik dengan kesempatan untuk berbagi, namun perbuatan meminta-minta adalah sesuatu yang tidak boleh dibenarkan dan diwajarkan. 


Melansir Kendariinfo.com (Rabu, 6/4/2022), puluhan anak jalanan (anjal) serta gelandangan dan pengemis (gepeng) yang masih di bawah umur terjaring operasi yustisi oleh Dinas Sosial (Dinsos) Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Anjal dan gepeng tersebut terjaring Dinsos Kendari karena melakukan aktivitas mengemis di sekitaran lampu merah jalan protokol Kendari. Diduga, puluhan anak itu menjadi korban eksploitasi orang tua.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos Kendari, Husni Mubaraq. Menurutnya, lebih dari 20 anak berhasil terjaring, sehingga pihaknya segera melakukan pengusutan adanya dugaan eksploitasi orang tua.


Memang, kita tidak boleh menutup mata atas upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah kita dalam mengurangi angka kemiskinan di kota Kendari. Namun, fenomena peminta-minta adalah masalah struktural. Sehingga, tidak cukup kiranya kalau pemerintah hanya berupaya dalam pemberian solusi kepada individunya. Misal, dengan diberikannya bantuan uang tunai atau sembako.


Adapun penyebab dari kian bertambahnya jumlah anak jalanan, gelandangan dan pengemis  adalah karena jumlah pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai. Juga makin  menyempitnya lahan pertanian karena banyaknya pembangunan pemukiman atau pabrik perusahaan. Keadaan inilah yang mendorong penduduk desa untuk berurbanisasi ke kota dengan maksud untuk merubah nasib. Akan tetapi, karena terbatasnya pembekalan diri dalam hal ilmu dan keterampilan,  maka mereka mengambil jalan pintas dengan meminta-minta. 


Akibatdeminjya, demi menekan biaya pengeluaran, mereka harus tinggal di kolong jembatan, emperan ruko, sampai pemukiman kumuh untuk sekadar tempat berlindung. Mereka tinggal tanpa memperdulikan norma sosial. 


Meskipun banyak ragam pendapat mengenai sebab kemiskinan, namun secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan kondisi alami seseorang. Misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut, sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain.


Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan rendahnya kualitas SDM akibat kultur masyarakat tertentu.  Misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. 
Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.


Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Kesalahan negara dalam mengatur urusan rakyat, hingga menghasilkan kemiskinan struktural tidak lain karena penerapan sistem kapitalisme yang memberikan kesalahan mendasar dalam memandang peran negara.


Kesenjangan si kaya dan si miskin di dunia saat ini adalah buah dari diterapkannya sistem kapitalisme. Dalam pandangan kapitalis, penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab individu si miskin itu sendiri, kemiskinan bukan merupakan beban bagi rakyat, negara, atau kaum hartawan.


Padahal, permasalahan ini bukan hanya masalah kemalasan individu, namun permasalahan ini termasuk dalam urusan negara. Karena itu, untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, harus dengan mengganti sistem kapitalisme saat ini dengan sistem Islam yang paripurna. Sebab, Islam menganggap bahwa pemberi kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara. Tiga hak pokok rakyat seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan diberikan negara secara gratis, baik muslim maupun non muslim. Bahkan, negara juga akan menciptakan lapangan kerja yang luas untuk seluruh rakyatnya. 


Sebagaimana sejarah mengabarkan, ketika aturan Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara. Misalnya, 
di era kepemimpinan  Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, Khalifah dari Dinasti Umayyah, mengutus seorang petugas pengumpul zakat, Yahya bin Said untuk memungut zakat ke Afrika. ‘’Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun,’’ ujar Yahya.


Pada era itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan. Semua rakyatnya hidup berkecukupan. ‘’Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya,’’ kisah Yahya bin Said. Kemakmuran umat, ketika itu,  tak hanya terjadi  di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah kekuasaan Islam, seperti Irak dan Basrah.


Abu Ubaid mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di provinsi itu. ‘’Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitul Mal masih terdapat banyak uang,’’ tutur sang gubernur dalam surat balasannya.


Khalifah Umar lalu mengutus pegawainya untuk mencari orang yang berutang namun tidak boros, para lajang yang ingin menikah namun belum cukup akan uang maharnya, juga rakyatnya yang sedang mencari tambahan modal untuk usahanya. Namun, semua itu tidak ditemukan. 


Begitulah gambarannya, jika negara kaya karena tepat dalam pengelolaan SDA tanpa campur tangan pihak swasta ataupun asing. Sehingga, kesejahteraan dapat dirasakan bersama. Tidak ditemukan lagi peminta-peminta. Waallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak