Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan keluarga
Dunia Pendidikan kembali disorot. Kali ini terkait penyusunan draf awal RUU Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang tidak mencantumkan kata madrasah.
Sebagaimana diketahui, revisi UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 ditargetkan selesai pada tahun 2023. RUU ini dinilai sangat penting oleh pihak pemerintah. Terutama untuk menyesuaikan dengan dampak pandemi Covid-19, sekaligus menyelaraskan dengan kemajuan teknologi digital yang berjalan sangat pesat.
RUU ini juga dibuat untuk mengharmonisasi tiga UU yang mengatur sistem pendidikan nasional. Yakni UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Ketiga UU ini dinilai saling tumpang tindih dan tidak relevan lagi dengan perkembangan situasi dan arus modernisasi. Melalui upaya harmonisasi ini, pihak pemerintah berharap Indonesia akan memiliki satu aturan tentang sistem pendidikan nasional. Sekaligus memiliki payung hukum terhadap berbagai inovasi sektor pendidikan, demi merespons dan mengantisipasi perubahan.
Namun masyarakat dikejutkan ketika mengetahui draf awal RUU Sisdiknas terbaru, menghapus kata madrasah dan hanya menyebutkan bahwa jenjang pendidikan dasar dilaksanakan sebelum jenjang pendidikan menengah. Jenjang ini dilaksanakan melalui sub Jalur Pendidikan persekolahan, Pendidikan persekolahan mandiri, atau Pendidikan kesetaraan.
Berbagai pihak memandang penghapusan nama madrasah dalam draf pasal-pasal RUU Sisdiknas justru dikhawatirkan akan menimbulkan problem baru. Antara lain, mempertajam dikotomi sistem pendidikan nasional, memperlebar kesenjangan mutu pendidikan, dan memicu disintegrasi bangsa. Apalagi selama ini madrasah seringkali dipandang sebelah mata. Madrasah dianggap sebagai sekolah masyarakat kelas bawah. Kualitas pendidikannya rendah, sarana prasarana apa adanya, dan kualifikasi lulusannya pun alakadarnya.
Menanggapi hal ini, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, menyatakan bahwa kata madrasah memang tidak dicantumkan lewat pasal dalam draf awal RUU Sisdiknas. Akan tetapi di bagian bawah atau bagian penjelasan, nama satuan pendidikan madrasah ini dicantumkan bersama nomenklatur satuan pendidikan lainnya.
Kekhawatiran berbagai pihak ini bukan tanpa dasar. Di lapangan memang kita jumpai, meski madrasah dinyatakan sebagai salah satu sarana penting pendidikan formal masyarakat hingga keberadaannya diakui dalam UU Sisdiknas 2003, perhatian pemerintah tampak tidak sebagaimana perhatian mereka pada satuan pendidikan formal lainnya. Khususnya dalam hal akses pendanaan dan berbagai sarana – prasarana Pendidikan. Dan sekarang, pemerintah melalui Kemendikbudristek justru melemahkan dengan menghapus penyebutannya madrasah dalam UU.
Kalau kita mau cermati lebih jauh, sejatinya persoalan pendidikan bukan semata soal ketertinggalan di bidang teknologi dan bagaimana menjawab tantangan persaingan di era global. Akan tetapi bagaimana pendidikan bisa memelihara fitrah manusia agar senantiasa ada dalam kebaikan di tengah ancaman krisis moral akibat dominasi budaya sekuler dan liberal yang menghancurkan sisi-sisi kemanusiaan.
Kita lihat selama ini, visi pendidikan nasional sudah berubah menjadi alat memproduksi tenaga kerja dan didedikasikan untuk mendukung mesin besar ekonomi kapitalisme yang mengukuhkan penjajahan. Kurikulum yang diterapkan pun kian sarat dengan nilai-nilai material seraya memarginalkan nilai-nilai agama dan moral.
Pelajaran agama, akhlak, dan sejarah Islam dipandang tidak relevan dengan perkembangan zaman. Tidak heran jika porsinya makin minimal. Bahkan dilepaskan dari perspektif ilmu pengetahuan umum dan diseret ke arah yang terpisah dari kehidupan. Ilmu agama hanya wilayah pesantren dan madrasah. Sementara ilmu dunia ada di sisi lainnya.
Sebaik apa pun narasi yang dilontarkan, asas sekularisme tidak akan membawa kebaikan dan keberkahan. Apalah arti kemajuan material jika tidak berfondasikan agama yang mengajarkan nilai-nilai moral? Yang terjadi justru muncul masyarakat yang maju secara material, tetapi rapuh secara moral dan kemanusiaan.
Sungguh hanya sistem pendidikan Islam yang terbukti mampu menyelaraskan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dengan target membangun peradaban cemerlang. Sebuah peradaban yang menyejahterakan sekaligus memelihara nilai-nilai luhur kehidupan. Ini bukan hanya teori yang terpampang di buku – buku atau pun ungkapan berbusa – busa dalam ujian kelulusan sarjana. Namun ini adalah bukti nyata sejarah yang terpampang selama 3,5 abad lamanya.
Maka, kita sebagai umat Islam harusnya memiliki pandangan lebih luas dan visi lebih jauh. Kehadiran RUU Sisdiknas jangan hanya dipandang sebagai penyingkiran lembaga pendidikan Islam (madrasah). Kehadiran RUU sekuler ini semestinya memunculkan kesadaran bahwa dominasi sistem sekuler tidak bisa dibiarkan. Sistem rusak ini bukan hanya tidak menghendaki adanyua simbolisasi Islam, tetapi juga tidak mau Islam mengatur urusan kehidupan. Bahkan kalau perlu, menjauhkan umat dari jalan kebangkitan
Wallahu a’lam bi ash showab.