Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Pemerintah , melalui Menteri BUMN, Erick Thohir, memberi sinyal kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax pada 1 April 2022 (tirto.id, 1/4/2022). Erick menyampaikan, Pertamax atau RON 92 tidak lagi diputuskan menjadi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). Pertamax nantinya akan mengikuti pergerakan harga minyak dunia atau tidak disubsidi oleh pemerintah. Sedangkan Pertalite mendapatkan subsidi.
Saat ini, harga minyak mentah dunia telah menembus 119 dolar AS per barel. Sedangkan, dalam asumsi APBN 2022 harga minyak dunia ditetapkan hanya sebesar 65 dolar AS per barel. Seketika ada banyak pendapat yang pro dan kontra.
Seperti misalnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, sebaiknya pemerintah menahan dahulu kenaikan harga Pertamax. Sebab menurutnya, masih banyak skema dana kompensasi dari APBN kepada Pertamina untuk menahan kenaikan harga BBM jenis non-subsidi. "Solusi terbaik adalah tambahan dana kompensasi dari APBN," kata Bima.
Sedangkan Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Arya Sinulingga jauh-jauh hari sudah mengimbau kepada pemilik mobil mewah untuk tidak menggunakan BBM jenis Pertalite. Sebab BBM jenis tersebut, merupakan bahan bakar yang disubsidi langsung oleh pemerintah.
Arya menambahkan, melonjaknya harga Pertamax dikhawatirkan akan ada migrasi, dimana masyarakat beralih menggunakan bensin jenis Pertalite, yang direncanakan akan disubsidi penuh oleh pemerintah. Pada akhirnya dampak beban untuk menanggung subsidi tersebut dari APBN akan bengkak.
Menteri Keuangan Indonesia (Periode 2014-2016), Bambang Brodjonegoro pun menyarankan agar subsidi untuk Pertalite berlangsung secara tertutup atau langsung menyasar kepada penerima manfaat. Pemerintah, menurut Bambang juga harus melihat secara menyeluruh. Pasalnya kenaikan harga minyak saat ini yang disebabkan perang antara Rusia dan Ukraina, dampaknya bukan hanya kepada kenaikan harga BBM. Namun juga kepada harga LPG dan harga tarif listrik (CNBC Indonesia, 1/4/2022).
Ada beberapa hal yang patut dicermati dari kebijakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah ini. Pertama, ada klasifikasi BBM, bersubsidi dan tidak. Orang kaya "tidak boleh" membeli Pertalite yang dikhususkan bagi menengah kebawah saja. Kedua, ketika harga BBM berkiblat kepada harga dunia, terlebih Indonesia masih bergantung pada impor BBM dunia karena "tak ada teknologi" yang memadai untuk mengeksplore SDAnya akhirnya negeri ini tak berdaya terimbas efek domino kapitalisme.
Indonesia adalah eksportir sekaligus importir minyak. Berdasarkan data BPS, nilai ekspor minyak Indonesia pada Agustus 2021 sebesar US$ 322,8 juta dengan rincian US$ 115,4 juta minyak mentah dan US$ 207,4 juta hasil minyak. Sementara Ketua Fraksi PKB DPR Cucun Ahmad Syamsurijal mengatakan Indonesia merupakan negara net-importir komoditas minyak dan gas. Meskipun Indonesia memproduksi minyak mentah beserta turunannya, tapi hal itu belum dapat memenuhi kebutuhan pemakaian dalam negeri. Sehingga bisa dipahami ketika harga BBM akan terus merangkak naik jika tidak ada perubahan pengaturan.
Kenaikan pertamax dengan jumlah atau prosentase besar menegaskan tata kelola migas yang sangat kapitalistik, pemerintah lebih menimbang harga keekonomian (agar bisa ekspor) dan mengabaikan kemaslahatan rakyat. Dengan alasan pemerintah sudah cukup memberi berbagai bantuan dan subsidi. Di sisi lain, efek domino akibat kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok, naiknya tarif pajak dan ditambah naiknya harga BBM sukses membuat beban rakyat semakin berat.
Dampaknya tidak saja pada kesulitan masyarakat mendapatkan berbagai kebutuhan pokok tersebut, namun secara sosial juga tak kalah parah. Banyak orang depresi, perkara sepele pun sudah membuat meradang hingga tega menghilangkan nyawa. Angka pengangguran meningkat, demikian pula kriminal. Jabret, copet, pencuri, penimbun dan lain sebagainya bermunculan, adu nasib mencari peluang demi dapur keluarga tetap mengepul.
Sementara penguasa? Kian kaya, harta bertambah secara signifikan. Sebab, berbagai proyek pribadi mereka mendapatkan peluang. Hanya dengan surat katabelece, atau bermodalkan namanya sebagai pemimpin instansi berplat merah, seoalah menjadi jaminan keprofesionalan seseorang. Padahal, jika penguasa sudah menjadi pengusaha, tunggu sajalah kehancuran urusan rakyat.
Mungkin kaum Muslim lupa, bagaimana ketika para sahabat melihat Abu Bakar memanggul sejumlah barang dagangan ke pasar. Ketika berpapasan dengan para sahabat mereka bertanya," Hendak kemana wahai Amirul Mukminin?". Abu bakar menjawab mereka hendak mencari nafkah bagi keluarganya, sebab meskipun kini ia seorang Khalifah ia juga masih menjadi seorang kepala keluarga yang punya kewajiban menafkahi keluarga.
Para sahabat berpikir, jika Abu Bakar disibukkan dengan urusan maisyah ( mencar nafkah) bagaiamana dengan urusan rakyat? Padahal Rasulullah Saw mengingatkan dalam sebuah hadis bahwa pemimpin adalah Ro'in (pelayan urusan umat). Akhirnya mereka meminta Abu Bakar kembali, dan sejak itu menjadi ijma' sahabat bahwa penguasa di santuni dari Baitul Mal. Sehingga dia bisa fokus pada urusan rakyat. Keadilan dan kesejahteraan bisa benar-benar terwujud.
Masalah kenaikan BBM terus berulang, menandakan ada yang tidak beres dalam pengaturannya. Lantas bagaimana Islam memandang persoalan ini, adakah solusi dari Islam? Dalam pandangan Islam, BBM adalah barang publik yang harus dikelola negara demi maslahat rakyat. Arti menjadi barang publik adalah jika memenuhi tiga syarat, pertama merupakan fasilitas umum yang jika tidak terpenuhi masyarakat akan bersengketa dalam mendapatkannya, kedua berupa barang tambag yang jumlahnya besar dan tidak terputus. Sehingga berlaku hadis Rasulullah ada hak berserikat bagi seluruh kaum Muslim atas tambang tersebut.
Ketiga, benda yang secara sifat dan benpentukannya tidak bisa dimiliki oleh individu. Maka jika sesuatu memenuhi salah satu dari kriteria di atas, maka negara boleh turut campur, namun tidak menzalimi. Islam memerintahkan negara memberlakuan sistem ekonomi Islam , dimana pengelolaan SDA berdasarkan syariat, yaitu aturan yang berasal dari Allah SWT.
Negara haram menerima investasi atau kerjasama dengan negara di luar daulah dalam hal mengelola SDA. Sebaliknya, negara akan menegakkan industri yang nantinya mengelola semua SDA, baik itu minyak, emas, perak dan lainnya kemudian didistribusikan kepada rakyat bisa dalam bentuk langsung maupun tidak. Bentuk langsung adalah dengan pemberian langsung, baik berbayar murah maupun gratis. Yang jelas, negara akan menjamin setiap warganya, kaya atau miskin, menikmati hasil dari pengelolaan SDA tersebut
Sedang tidak langsung adalah untuk pembiayaan fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dan lain-lainnya. Dan mekanisme ini tidak bisa diterapkan jika aturan yang dipakai masih berazas sekulerisme atau mendua, menjadikan manusia sebagai pembuat aturan dan meninggalkan Allah SWT Sang Khalik, Al Muddabir (Maha Pengatur). Wallahu a'lam bish showab
Tags
Opini