Oleh: Ummu Diar
Sosial media diwarnai oleh maraknya opini pro kontra kasus muslimah menikah dengan lelaki beda agama. Pihak yang kontra tentu menjadikan landasan Islam dalam menjelaskan dan mendudukkan persoalan. Sedangkan pihak ya pro, beranggapan agama jadi penghalang cinta.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa pernikahan seperti ini sekarang dinyatakan terang-terangan? Bahkan dilakukan di negeri yang banyak penduduk muslimnya? Bukankah sebelumnya pernikahan beda agama diselenggarakan di kalangan terbatas?
Menyikapi menggeliatnya fenomena ini, memicu munculnya banyak pendapat. Di antaranya adalah yang menduga bahwa aktivitas show up pernikahan muslimah dengan selain Islam kental dengan propaganda liberalisasi dalam pernikahan.
Upaya liberalisasi ini memang lazim tumbuh di lingkungan yang menganut pemisahan agama dari kehidupan. Agama sangat ditaati dalam urusan ibadah ritual, namun selain urusan itu dianggap tidak mengapa mengikuti tren kekinian. Walaupun kadang tren itu justru tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Sekulerisme menjadikan agama dipandang cukup mengatur urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya. Keterikatan agama dengan selainnya, secara langsung ataupun tidak, berusaha dieleminir. Pada saat yang sama liberalisasi terus dipasarkan. Muslim pun tak lepas dari tawarannya.
Diberikan konsep dan teori yang intinya memberikan kebebasan berperilaku dan berpendapat, termasuk ketika menyelisihi larangan agama. Asalkan tidak ada yang terganggu atau merasa dirugikan, mereka tidak bisa dilarang mau berbuat apa atau menikah dengan siapa.
Atas nama cinta akhirnya banyak yang akidahnya tergadai. Memang awalnya seolah mengikuti jalan muslimah, namun setelah akad terjadi, kembali ke agama semula. Hingga akhirnya rumah tangga yang harusnya dihiasi dengan bersatunya misi akhirat, harus diwarnai kenyataan yang berkebalikan. Memang benar ketika di dunia bisa berkumpul dan terlihat bahagia, tapi setelah kehidupan dunia? Siapa yang tahu.
Di sisi lain, bila ada Muslim berusaha mengikuti aturan agama dengan taat justru harus berhadapan dengan stigma negatif. Dituding fanatik, ndak toleran, bahkan tak jarang dibumbui dengan label radikal atau sejenisnya.
Akibatnya mereka yang berusaha taat secara tidak sedikit yang melakukannya hanya untuk pribadinya. Jika melihat sesuatu yang salah kurang berani mengingatkan lantaran menghindari sanksi sosial.
Padahal seharusnya menjalankan keyakinan agama, dan menyampaikan kebenarannya kepada yang seiman adalah bagian dari amar makruf nahi mungkar. Upaya ini selayaknya justru mendapat dukungan, sebab hakikat ada aturan agama adalah untuk kemaslahatan kehidupan.
Dalam pandangan Islam, terkait urusan nikah beda agama, maka ada bagian penjagaan akidah yang harus diutamakan. Jika keluarga individu belum cukup kuat, maka perlu melibatkan level di atasnya, masyarakat sekaligus negara.
Sebab dalam surat Albaqarah ayat 221 sebenarnya sudah diingatkan, bahwa Allah saja yang akan mengajak ke surga dan ampunan. Sehingga upaya yang dimungkinkan mengajak pada jalan sebaliknya, dicegah betul dari kaum muslimin. Termasuk dari generasi mudanya, baik yang akan berhadapan dengan urusan pernikahan ataupun urusan lainnya. Bagaimana nasib dan kelanjutan generasi muslim jika sampai terseret pada jalan hidup selain menuju surga-Nya?
Inilah mengapa, sudah seharusnya liberalisasi itu perlu dicegah agar tak sampai ranah pernikahan atau bahkan ranah kehidupan muslim lainnya. Jalannya adalah dengan menguatkan iman dan pemahaman Islam bagi penganutnya. Dan akan lebih besar peluang suksesnya jika lingkungan dihidupkan dengan aturan dari-Nya semata.[]