Oleh : Mauli Azzura
Ekonom menyesalkan pernyataan Kementerian Perdagangan yang menyalahkan panic buying masyarakat atas kisruh ketersediaan minyak goreng belakangan ini.
Ekonom INDEF Rusli Abdullah mengatakan ketimbang menyalahkan masyarakat, pemerintah harusnya melakukan evaluasi diri. Pasalnya, langkanya ketersediaan minyak goreng belakangan ini terjadi karena pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan belum melihat permasalahan intinya.
Menurutnya, adanya panic buying justru dipicu kelangkaan pasokan minyak goreng curah. Kelangkaan itu mendorong masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah beralih ke minyak goreng kemasan. (cnnindonesia.com 08/03/2022)
Terkait kecurigaan Kemendag soal warga yang 'menimbun' minyak goreng ini, politikus Partai Demokrat, Yan Harahap, turut berkomentar. Dalam keterangan tertulis, Yan Harahap beranggapan bahwa jika benar warga menimbun minyak goreng, maka seharusnya mereka tak mengantre panjang seperti yang belakangan sering terjadi di berbagai daerah. (pikiranrakyat.com 08/03/2022)
Belum bisa mengatasi kelangkaan minyak goreng, kini rakyat pun dicurigai, namun akan terlihat berbeda bila ibu rumah tangga nyetok pasokan minyak goreng yang terbilang langka, namun memiliki cadangan minyak goreng, mana bisa dikatakan menimbun.
Sudah menjadi rahasia umum, kelangkaan minyak goreng masih saja menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Entah apa yang menjadikan pemerintah mencurigai rakyat, sedang kita ketahui bahwa harga minyak goreng yang melonjak naik pun turut membuat masyarakat mengeluh.
Jika ada dari beberapa nyetok minyak goreng karena kelangkaan nya, maka hal itu masih wajar, namun bila menimbun dalam jumlah besar di gudang dengan harapan keuntungan besar pula, maka itulah ulah kapitalis. Seolah tidak memberikan solusi, malah mencurigai rakyat nya. Sungguh hal yang patut membuat kesal sebagian masyarakat.
Kalaupun ada sebagian perusahaan atau individu yang melakukan penimbunan, harusnya pemerintah melakukan penyelidikan dengan seksama, tanpa mencurigai masyarakat kecil.
Inilah era kapitalis, dimana para pemimpin memutar balikkan fakta dengan menyalahkan rakyat nya untuk menutupi kebobrokanya yang gagal dalam mengatasi masalah sebenarnya.
Sungguh berbeda dengan kepemimpinan kala sistem Islam ditegakkan. Dalam negara Islam melalui pemimpin tertingginya yaitu seorang khalifah, adalah sosok junnah dan ra'in yaitu pihak yang mendapatkan mandat untuk menjaga, melindungi, mengayomi dan menjamin kesejehteraan rakyatnya. Khalifah-lah yang akan menerapkan syariah Islam secara keseluruhan, terutama dalam urusan pengaturan masyarakat seperti sistem ekonomi, kehidupan rumah tangga, kesehatan, pendidikan dan lainnya. Lantas tidak inginkah kita kembali merasakan nikmat nya kepemimpinan yang penuh amanah itu ada?.
Wallahu A'lam Bishowab