Oleh Salsabilla Al-Khoir
(Aktivis Muslimah Kalsel)
Bak simalakama, wacana penundaan pemilu menuai berbagai kontroversi di tengah para elit politik dan masyarakat. Wacana ini kian bergulir demi kepentingan memperbaiki ekonomi.
Sebagaimana dilansir oleh CNNIndonesia.com (3/3), wacana penundaan Pemilu 2024 berhembus baru-baru ini. Usulan datang dari Ketum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketum PAN Zulkifli Hasan. Sebagian besar partai di parlemen sudah menegaskan posisinya dalam wacana penundaan ini.
Adapun berbagai para elit politik juga menolak, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan bahwa penundaan pemilihan umum (pemilu) merupakan sesuatu yang melanggar konstitusi. Ia memandang, wacana tersebut digulirkan oleh pihak-pihak yang takut kehilangan kekuasaan. (Republika.co.id, 27/2/2022).
Hal ini telah nampak, meski alasannya untuk fokus perbaikan ekonomi akan tetapi banyak pengamat menyorot bahwa wacana yang digulirkan elit partai bukan demi maslahat publik tapi demi memperbanyak masa jabatan yang menguntungkan kelompoknya.
Sementara yang lain pihak oposisi menolak wacana tersebut karena tidak ingin kehilangan kesempatan meraih kursi di saat elektabilitas sedang tinggi. Inilah menjadi bukti watak asli sistem kapitalisme demokrasi yang telah mencetak para elit politik minim empati dan lebih peduli mengejar maslahat pribadi dan kelompoknya.
Kemaslahatan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan setiap aktivitas politisnya. Justru luput dari perhatian dan tidak lagi menjadi prioritas untuk di perjuangkan. Pemilu yang di topang oleh sistem kapitalisme demokrasi tak pernah melahirkan pemimpin yang amanah. Sehingga bisa dipastikan penjabat yang lahir di sistem pemilu demokrasi tidak akan pernah melayani umat kecuali sedikit yang hal itu pun hanya untuk politik pencitraan golongannya.
Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik. Sebab, politik dalam Islam bermakna mengurusi urusan umat. Pemilu dalam sistem Islam hanyalah cara (uslub) alternatif memilih kepala negara bukan sebagai metode baku untuk pengangkatan kepala negara.
Metode baku pengangkatan kepala negara adalah dengan bai’at syar'i. "Akad Imamah (khilafah) sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari Ahlul Halli wal Aqdi.. yang mudah untuk dikumpulkan". (Imam an-Nawawi, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, VII/390).
Walaupun pemilu sebagai cara (uslub) dalam Islam, akan tetapi pemilu wajib terikat dengan nas-nas syariah Islam tanpa menyelisihinya. Pemilu akan dilaksanakan jika dipandang tepat dan dibutuhkan dalam keadaan tertentu. Sebab, masa jabatan dalam sistem khilafah islamiyah tidak ada periodisasi. Namun digantinya seorang kepala negara (khalifah) jika melanggar syariah Islam atau berhalangan menegakkan syariah Islam. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, "(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah". (HR. Muslim).
Sementara dalam kondisi berbeda, ada cara lain untuk memilih kepala negara (khalifah), seperti melalui Ahlu Halli wal Aqdi. Fiqih Islam cukup rinci dalam mengatur pemilihan Khalifah dalam kitab-kitab muktabar para ulama. Adapun, calon khalifah harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh syariah. Maka, khalifah (kepala negara) harus memenuhi syarat antara lain ; laki-laki, Muslim, berakal sehat, baligh merdeka (tidak tergantung dengan siapa pun dan apapun), adil sesuai timbangan syariah, dan memiliki kapabilitas kemampuan dalam menjalani amanahnya.
Tugas dan amanah khalifah (kepala negara) dibatasi oleh syariah, ialah hanya untuk menerapkan hukum Allah Swt (syariah Islam) secara menyeluruh (kafah). Khalifah tidak punya wewenang untuk membuat hukum sendiri, sebab hak yang membuat hukum hanyalah Allah Swt.
Adapun wajar jika pemilu dalam Islam tidak memerlukan biaya fantastis dan penyelenggaraan cukup sederhana. Sebab, pemilu dalam Islam tidak perlu adanya dana kampanye, pasang baliho, dana relawan atau pemanis obral janji politik kepada masyarakat. Seperti sekolah gratis, kesehatan gratis, BBM murah, infrastruktur yang layak, harga sembako terjangkau, pembatasan impor dan lain sebagainya.
Hal ini semestinya memang kewajiban khalifah (kepala negara) siapa pun orangnya yang terpilih maka wajib untuk memenuhinya. Sebab, Islam sangat melarang adanya komersialisasi atas kebutuhan publik kepada masyarakat. Hal ini menjadi haram hukumnya karena khalifah akan benar-benar fokus menjalankan amanahnya dalam mengurusi urusan masyarakat, terlebih ketika pandemi seperti saat ini.
Sekalipun harus terjadi pemilihan kepala negara dengan alasan yang dibenarkan syariah, maka proses pemilihan berlangsung dengan sangat singkat dan maksimal tiga hari. Setelah pemilihan berlangsung, maka kepala negara yang terpilih akan langsung menjalankan amanahnya sebagai kepala negara yang menjalankan syariah Islam secara menyeluruh (kafah) dan mengurusi kemaslahatan masyarakatnya sekaligus menyelesaikan wabah jika terjadi.
Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Sebagaimana dalil Ijma Sahabat pada pembaiatan Abu Bakar As-Shiddiq ra yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah saw. Demikian pengaturan pemilihan kepala negara dalam sistem Islam yakni khilafah islamiyah.
Bukankah kita merindukan seperti ini?
Wallahu a'lam bishawwab