Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Bebarapa kalangan telah mengusulkan agar pemilu 2024 ditunda, tak terkecuali dari kalangan para petinggi partai politik. Sebagaimana diketahui, sejumlah petinggi partai politik menggulirkan wacana penundaan pemilu 2024 agar momentum perbaikan ekonomi tidak terjadi stagnasi usai pandemi menghajar tanah air dua tahun terakhir ini.
Namun banyak pihak yang menolak terkait wacana penundaan tersebut.
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan, bahwa penundaan pemilihan umum (pemilu) merupakan sesuatu yang melanggar konstitusi. Ia memandang, wacana tersebut digulirkan oleh pihak-pihak yang takut kehilangan kekuasaan.
"Ada mereka yang ingin melanggengkan kekuasaannya dan mereka takut kehilangan kekuasaan. Negeri kita mau dibawa ke mana kalau diisi, diawaki, dipimpin oleh orang-orang seperti itu?" ujar AHY lewat keterangan tertulisnya, Ahad (27/2).
Sementara Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan,
"Dari pernyataan ketua-ketua partai baik Golkar, PAN, PKB dalam menyampaikan upaya-upaya perpanjangan masa jabatan ini adalah terlalu nyaman di dalam lingkaran kekuasaan bagi partai-partai ini," kata Feri Amsari dalam diskusi bertajuk Tolak Penundaan Pemilu 2024 secara daring, Sabtu (26/2/2022).
Dari sini sangat nampak bahwa meski alasan agar fokus perbaikan ekonomi dikemukakan, namun banyak pengamat menyorot wacana ini yang digulirkan para elit partai bukan untuk kemaslahatan publik, tetapi demi memperbanyak atau memperpanjan masa jabatan yang menguntungkan mereka dan sekaligus menambah waktu menyiapkan diri berkontestasi untuk kursi kekuasaan berikutnya.
Sementara itu, pihak oposisi menolak wacana tersebut karena tidak ingin kehilangan kesempatan meraih kursi di saat elektabilitas sedang tinggi.
Inilah watak asli sistem demokrasi yang mencetak para elit politik minim empati dan lebih besar mengejar maslahat pribadi dan kelompoknya.
Kemaslahatan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan setiap aktifitas politis justru luput dari perhatian dan bukan lagi prioritas untuk diperjuangkan oleh penguasa.
Pemilu yang ditopang oleh sistem demokrasi tak pernah melahirkan pemimpin yang amanah, sehingga bisa dipastikan pejabat yang dihasilkan dari pemilu demokrasi tidak akan melayani umat kecuali hanya sedikit yang itu pun sekedar untuk politik pencitraan.
Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik. Sebab politik dalam Islam bermakna mengurusi urusan umat. Pemilu sendiri dalam sistem Islam, hanyalah cara alternatif untuk memilih kepala negara bukan metode baku pengangkatan kepala negara. Karena di dalam Islam metode baku pengangkatan kepala negara adalah bai'at syar'i. Imam an-Nawawi di dalam kitabnya, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (VII/300) telah berkata : "Akad Imamah/Khilafah sah dengan adanya bai'at, lebih tepatnya bai'at dari Ahlul Halli wal Aqdi..yang mudah untuk dikumpulkan,"
Sebagai sebuah cara atau uslub, tetap saja
pemilu wajib terikat dengan nas-nas syariat tanpa menyelisihinya. Pemilu akan dilaksanakan bila dipandang tepat dan dibutuhkan pada keadaan tertentu, sebab masa jabatan dalam Khilafah tidak ada periodeisasi, akan diganti hanya ketika melanggar syariat atau berhalangan menegakkan syariat.
Rasulullah Saw Bersabda : "Selama ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah," (HR.Muslim).
Dalam kondisi berbeda, ada cara lain untuk memilih kepala negara (khalifah), seperti melalui ahlu halli wal aqdi. Fikih Islam cukup rinci mengatur pemilihan khalifah dan hal ini bisa dipelajari dari kitab-kitab muktabar para ulama. Calon khalifah harus memenuhi syarat yang ditetapkan syariat. Kepala negara harus laki-laki, muslim, berakal sehat, baligh, merdeka, adil, dan memiliki kapabilitas mengemban amanah sebagai khalifah. Yakni memahami bagaimana menerapkan syariat dengan benar. Tugas dan wewenang khalifah juga dibatasi oleh syariat hanya untuk menerapkan hukum Allah (syariat Islam) secara kaffah.
Khalifah tidak punya wewenang untuk membuat hukum, sebab hak membuat hukum hanya milik Allah subhanahu wa ta'ala, sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah Qs.al-Anam : 57, "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah,".
Maka sangat wajar, pemilu dalam Islam tak memerlukan biaya fantastis dan penyelenggaraanya sangat sederhana, tidak perlu ada biaya kampanye pasang baliho, dana relawan, serta obral janji ini dan itu.
Sekolah gratis, kesehatan gratis, BBM murah, infrastruktur yang layak bahkan memadai, harga sembako terjangkau, pembatasan impor dan lainnya memang kewajiban khalifah siapapun orangnya.
Mengkomersialkan kebutuhan publik kepada rakyat adalah haram dan merupakan sebuah kezaliman. khalifah yang sedang menjabat akan benar-benar fokus mengurusi urusan rakyat.
Apalagi ketika terjadi pandemi sebagaimana yang terjadi hari ini.
Kalaupun harus terjadi pergantian pemimpin di tengah wabah dengan alasan yang dibenarkan syariat, maka proses pemilihan berlangsung sangat singkat maksimal tiga hari, setelah itu khalifah terpilih akan langsung menjalankan tugasnya mengurusi kemaslahatan rakyat dan menyelesaikan wabah jika terjadi.
Sebab Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari, dalilnya adalah berdasarkan ijma sahabat pada pembaiatan Abu Bakar radhiyallahu anhu yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah Saw.
Inilah yang menjadikan pemilu di dalam Khilafah mampu menghasilkan pemimpin berkualitas dan amanah. Yakni pemimpin yang akan menerapkan seluruh aturan Allah secara kaffah dan akan membawa berkah rahmat bagi seluruh alam semesta.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini