Ulama Radikal yang Dicintai Umat



Oleh: Ita Mumtaz

Isu radikal kembali dihembuskan. Bahasan radikalisme semakin bergulir setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pesan kepada jajaran TNI dan Polri tentang larangan mengundang penceramah radikal. Hal itu disampaikan saat memberi sambutan pada pembukaan rapat pimpinan TNI-Polri 2022 yang diadakan di Markas Besar TNI pada Selasa (01/03/2022). Ia juga menyatakan bahwa disiplin TNI dan Polri itu berbeda dari disiplin masyarakat. Bahkan tidak ada demokrasi bagi TNI dan Polri, tandasnya, sebagaimana dilansir dari kompas.com (02/03/2022).

Pidato presiden ini diikuti dengan penetapan kriteria radikal yang dibuat oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Di antaranya, pertama mengajarkan ajaran anti-Pancasila. Kedua, mengajarkan paham takfiri. Ketiga, menanamkan sikap antipemimpin atau antipemerintahan yang sah. Dengan sikap membenci dan membangun sikap ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba dan ujaran kebencian dan sebaran hoaks. Keempat, memiliki sikap ekslusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman. Kelima, memiliki pandangan antibudaya dan ataupun antikearifan lokal keagamaan.

Tak lama setelah penetapan 5 ciri penceramah radikal itu, muncullah daftar nama-nama penceramah radikal yang tidak diketahui sumbernya. Hal ini semakin ramai diperbincangkan di media sosial. 

Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, menyebutkan bahwa ini adalah pembunuhan karakter yang dilakukan oleh pihak tak bertanggung jawab terhadap para ulama. Hal ini disampaikan pada acara Catatan Demokrasi TVone (08/03/2022). Beliau pun menekankan bahwa Kapolda harus mencari siapa yang membuat dan menyebarkan daftar penceramah radikal yang sudah terlanjur beredar. 

Jika diperhatikan, ternyata ulama-ulama yang dianggap radikal adalah ulama yang bersikap kritis dan seringkali memberikan kritikan, koreksi dan masukan terbaik kepada pemerintah. Mereka adalah ulama yang mencerahkan dan mengajak umat untuk berpikir jernih, membawa umat pada level berpikir yang lebih tinggi. Karena mereka selama ini mengajarkan tentang Islam kaffah. Bahwa Islam tak sekadar agama ritual, tapi juga mengatur seluruh aspek kehidupan. Termasuk bagaimana seorang pemimpin harus menjadikan kepentingan rakyat sebagai perhatian utama. Bukan sebaliknya, lebih mengutamakan kepentingan oligarki daripada rakyat. 

Mungkin karena ketritisan itulah,  penguasa akhirnya jengah dan merasa terancam kedudukannya. Padahal para ustaz seringkali menyampaikan solusi dari Islam atas perkara yang membelit negeri. 

Para ulama yang ada dalam daftar penceramah radikal justru sangat  dicintai umat karena mereka adalah ulama yang santun, berilmu, wawasannya luas, cara berpikirnya mustanir dan juga sangat mencintai umat serta agama ini. Tapi sayang sekali penguasa di negeri ini justru merasa terancam bagai digoyang kedudukannya. 

Padahal semua kritik dan masukan sejatinya adalah amar ma'ruf nahi munkar yang merupakan kewajiban setiap muslim. Jika ada kemaksiatan di depan mata, maka menjadi kewajiban kita untuk mengingatkannya. Termasuk mengingatkan kepada penguasa jika dalam menjalankan kepemimpinannya ada yang tidak sesuai syariat. 

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 110.
كنتم خير أمة أخرجت للناس تئمرن بالمعروف و تنهون عن المنكر وتؤمنون با الله
Artinya : ” Kamu umat Islam adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kamu menyuruh berbuat baik dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”

Alih-alih memberikan apresiasi dan penhormatan kepada para pewaris nabi, pemimpin negeri ini justru memberikan cap radikal dan stigma negatif. Hal ini benar-benar merupakan pembunuhan karakter. 

Kata radikal maknanya adalah akar, sumber atau asal mula. Dalam makna yang lebih luas secara istilah radikal bermaksud pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala atau bisa bermakna “tidak biasanya”. 

Sebenarnya istilah ini memiliki  konotasi yang positif. Namun oleh penguasa diplintir dan dihubungkan dengan sesuatu yang buruk semisal teroris, anti Pancasila, tidak toleran, dan lain-lain. Jika individu maupun kelompok dicap dengan radikal, maka hal ini bisa menjadi framing buruk terhadap masyarakat. Bisa jadi mereka akan ketakutan, bahkan bersikap acuh dan menjauh dengan syariat Islam yang dihubungkan dengan istilah radikal, yaitu Khilafah dan Jihad. 

Sebagai seorang muslim tentu harus memahami mengapa seorang pemimpin tiba-tiba menggaungkan kembali istilah radikal di saat negeri ini harus berjibaku dengan permasalahan negeri yang menggunung. 

Sedangkan apa yang disampaikan para ulama tidak ada satupun yang keluar dari syariat Islam. Mulai dari akidah, ibadah, akhlak, hingga dakwah, semuanya merupakan ajaran Islam nan mulia yang wajib disampaikan ke umat agar umat semakin memahami ajaran agamanya. 

Sebagai penduduk agama mayoritas, maka rakyat memiliki hak untuk mendapatkan pengajaran dan pembinaan Islam. Mereka adalah ulama mumpuni yang justru bisa memberikan ilmu yang dibutuhkan umat sebagai cahaya untuk menerangi gelapnya kehidupan kapitalis saat ini. 

Sejatinya penguasa memang sengaja membuat gaduh, menakuti umat karena ketakutan akan kebangkitan umat. Jika ulama akhirat sudah mengisi benak umat dengan ideologi Islam, maka musuh Islam sangat memahaminya bahwa semua itu akan memberikan spirit keimanan bagi mereka untuk bangkit. Bangkit dari keterpurukan menjadi ketinggian level berpikir menuju sebuah tatanan peradaban yang mulia yang akan memberangus semua musuh Islam. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak