Oleh: Wiji Nur Hidayati
(Mompreneur)
Keluhan para ibu rumah tangga berseliweran di berbagai media sosial. Mungkin mereka tak lagi sanggup membendung uneg-uneg di hati, perihal melonjaknya harga berbagai kebutuhan pokok yang kian melampau tinggi. Setiap hari harus memeras otak agar dapur tetap ngepul dan keluarga tetap kumpul. Tak sedikit, para ibu justru memilih bekerja dan terpaksa meninggalkan buah hati demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pada dasarnya kita juga sudah sama-sama tau, bagaimana "permainan dagang" di negeri kita tercinta ini, yang berujung pada melonjaknya harga kebutuhan pangan yang kian menjadi-jadi. Tak ayal, para netizen pun jauh lebih kritis nan cerdas, akan kemana issue ini akan dibawa dan seperti apa alurnya? Tentu hanya akan menguntungkan para kapitalis sejati. Ujung-ujungnya rakyat miskin lagi yang harus tersakiti.
Sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini, hanya fokus memikirkan pertumbuhan ekonomi. Saat melihat potensi ibu sang multitasking alias serba bisa, potensinya justru dimanfaatkan dan didorong agar menjadi women karir yang mandiri, dengan dalih emansipasi. Inilah makna kesetaraan gender dalam pengertian yang lebih sempit, tak lain adalah bagaimana caranya agar wanita mampu berdaya dan mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tanpa sadar, justru aktivitas barunya di luar rumah telah menggerus perannya sebagai Ibu pendidik generasi. Ibu tak lagi hadir mendampingi sang buah hati, ia sibuk menghasilkan rupiah tanpa henti. Tak dipungkiri, kelalaiannya justru memicu pada rusaknya generasi.
Kembalilah Pada Peranmu, Wahai Ibu!
Kita sering berdalih;
"Kan ada tempat penitipan anak mbak, yang lebih banyak fasilitasnya."
"Saya kerja juga buat anak mbak untuk menyekolahkan mereka di tempat terbaik agar menjadi generasi terbaik pula."
Wahai Ibu pendidik generasi, memang sulit untuk bertahan dalam kondisi seperti ini, bahkan saya pun sempat goyah berkali-kali. Namun jika kita gali kembali lebih dalam persoalan ini, mari bertanya pada diri sendiri.
"Generasi seperti apa yang ingin kita raih?"
"Dampak apa yang akan terjadi jika kita tidak membimbing mereka sejak dini?
"Sanggupkah kita tegar saat melihat rusaknya generasi kita sendiri?"
Memanglah tak mudah hidup di alam kapitalis seperti ini. Sebagai ibu kita harus berjuang dan bertahan untuk membantu perekonomian para suami, mengurus rumah dan mendidik generasi. Jika kita memilih bekerja, maka pilihlah pekerjaan yang memungkinkan kita masih mampu membimbing sang buah hati. Menjadi mompreneur sekaligus ibu pendidik generasi adalah perjuangan mulia. Karenanya jangan tinggalkan tugas mulia, sekaligus kewajiban yang utama ini, yakni peran ibu sebagai Al Ummu Madrasatul Ula.
"Ibu adalah Madrasah pertama bagi anak-anaknya"
Sebuah tanggung jawab besar seorang Ibu, agar mempu mencetak generasi yang berkepribadian Islam, memiliki keimanan ketaqwaan yang sekokoh karang, berakhlaqul karimah dan tangguh dalam menghadapi setiap ujian kehidupan. Tentu prestasi jika ingin mendapatkan generasi emas yang demikian, harus diraih dengan penuh perjuangan dan kesungguhan. Meski dengan kondisi yang serba sulit di alam kapitalis pada saat ini, kita tetap harus bertahan, terus berjuang dan menjadi ibu pembelajar. Wallahu a’lam bi Ash showab.