Oleh Nasywa Adzkiya
(Aktivis Muslimah Kalsel)
Belum lama ini publik khususnya umat Islam di Indonesia dihebohkan dengan pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menganalogikan suara azan dengan gonggongan suara hewan tertentu. Pernyataan Menteri Agama ini seiring dengan keluarnya peraturan terkait dengan pengaturan pengeras suara di rumah-rumah ibadah umat Islam yang dinilai telah mengganggu.
Sontak pernyataan Menag ini menuai kritik dari berbagai pihak dan menyulut kemarahan umat Islam di Indonesia. Bagaimana tidak, suara azan yang sejatinya adalah seruan mulia yang dikumandangkan untuk mengingatkan masuknya waktu salat justru dianalogikan dengan gonggongan suara hewan tertentu.
Sebelumnya melalui Menag pemerintah mengeluarkan peraturan terkait dengan pengaturan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah umat Islam.
Dalam surat edaran itu tertulis bahwa volume pengeras suara hanya boleh diatur sesuai kebutuhan paling besar yaitu 100 desible. Dituliskan pula beberapa aturan diantaranya Sebelum azan tiba, pembacaan Al-Qur'an atau shalawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) menit. Pelaksanaan salat Subuh, doa, zikir, dan kuliah Subuh menggunakan pengeras suara dalam.Waktu Salat Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya Sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Qur'an atau shalawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama lima menit. Sesudah azan dikumandangkan, gunakan pengeras suara dalam.
Berdalih Toleransi
Pengaturan pengeras suara ini dinilai sebagai bentuk toleransi terhadap umat lainnya. Ia menyatakan pada saat yang bersamaan masyarakat Indonesia juga beragam, baik dari sisi agama, keyakinan, hingga latar belakang. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmoni sosial. Salah satunya dengan menertibkan penggunaan pengeras suara masjid atau toa masjid , khususnya pengeras suara ke arah luar. "Pedoman ini agar menjadi pedoman dalam penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola (takmir) masjid dan musala dan pihak terkait lainnya,” kata dia dikutip dari keterangan resmi, Senin, 21 Februari 2022.(tempo.co, 21/2/2022)
Pertanyaannya apakah benar bahwa selama ini umat agama lain terganggu dengan suara azan? Apakah kehidupan umat antar beragama di Indonesia menjadi tidak harmonis karena permasalahan azan? Fakta di lapangan tentu tidak demikian.
Jika kita mencermati sesungguhnya kehidupan antar umat beragama di Indonesia tidaklah terganggu dengan persoalan pengeras suara di masjid. Masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim tentu telah menyatu dengan kebudayaan Islam. Di mana faktanya jika ada umat lain yang merasa terganggu dengan suara azan tersebut? Alih-alih berdalih toleransi justru pengaturan ini menghambat syiar Islam.
Pemerintah menyatakan pengaturan ini sebagai bentuk toleransi seolah umat Islam di Indonesia adalah umat yang intoleran. Bagaimana tidak, framing negatif terhadap Islam acap kali dilakukan oleh pemerintah. Sebelumnya, BNPT juga membuat framing teroris dengan sosok yang bercelana cingkrang, berjenggot, bertasbih, serta membawa Al-Qur’an. Sedangkan perempuannya, berjilbab lebar dan bercadar. Bahkan ide khilafah didudukkan sebagai ajaran yang akan memecah persatuan bangsa, hingga ratusan buku berkonten jihad dan khilafah ditarik dari sekolah dan madrasah
Akibat Sekularisme dan Islamphobia
Jika kita cermati secara global sesungguhnya kebencian terhadap islam sangat lah besar dari orang-orang kafir Barat. Kebencian terhadap Islam bukan hanya di satu wilayah. Hampir di setiap wilayah di mana kaum Muslim berada, tindak kriminalisasi terhadap ajaran Islam terjadi. Terlepas negeri tersebut penduduknya mayoritas Muslim atau bukan. Contohnya yang baru-baru ini terjadi di India seorang muslimah mengalami perundungan hanya karena ia menggunakan jilbabnya ke kampus. Ataupun penderitaan rakyat Palestina yang tidak kunjung usai.
Mengutip pernyataan pengamat kebijakan publik Ir. Retno Sukmaningrum, M.T. dalam muslimah.net (24/02/22) Ia menilai Islamofobia ini mendunia tidak lain karena merupakan agenda global Barat yang dikomandani AS. “Peradaban Barat dengan Islam tak mungkin bersatu. Ada perbedaan yang fundamental antara peradaban Islam dan Barat. Ketakutan akut Barat akan munculnya New Caliphate di abad 21, sebagaimana prediksi intelejennya, mendorong Barat mengkaji secara serius terhadap Islam dan kekuatan kaum muslimin,” kupasnya.
Apalagi, lanjutnya, hancurnya dua menara WTC yang mereka desain menjadi momen digaungkannya War on Terrorism (WoT). "Pemerintah negeri -negeri Muslim yang terpasung kepentingannya oleh Barat, turut meneriakkan agenda WoT di negeri-negeri mereka. Mereka menangkapi warganya yang membahayakan kepentingan rezim dan Barat dengan tuduhan teroris. Seiring dengan itu kriminalisasi terhadap ajaran Islam dilakukan, hingga membuat seorang Muslim fobia terhadapa agamanya sendiri,” tegasnya.
Sesungguhnya segala persoalan umat Islam di dunia hari ini dikarenakan sekularisme ala Barat yang menjadi agenda penghancuran Islam. Oleh karena itu sudah saatnya umat sadar bahwa kekuatan yang mampu melawan kebencian Barat kafir terhadap Islam hanyalah dengan menegakan institusi yang menjadi junnah umat yaitu dengan menegakan system pemerintahan Islam yang akan mengembalikan kemuliaan umat Islam yaitu khilafah islamiyah.
Wallahu a'lam bishawab