Saat Harga Kedelai Tidak Bersahabat




Oleh: Ummu Fairuz

           Bagi masyarakat Indonesia, tempe adalah salah satu jenis makanan pelengkap atau lauk yang sangat digemari.
Berita gembira dari Nusantara, saat Tagar #TempeGoesToUNESCO ramai di jagad raya (19/02/2022).  Dukungan masyarakat menggelora demi tempe bisa terangkat di mata dunia dan Indonesia bangga karenanya. Karena tempe akan menjadi salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia setelah masuk dalam daftar ICH-UNESCO (kbknews.id, 20/02/2022).

Berita duka datang di bulan yang sama. Saat tempe mulai langka dipasaran. Dan banyaknya pengrajin tempe yang mogok berjualan. 

Mengutip dalam Kompas.com (23/02/2022) Kasudin KPKP Jakarta, menyatakan hasil pantau di tujuh pasar menunjukkan banyak pedagang yang tidak menjual tempe dan tahu. Pedagang memilih mogok sementara dari pada  terus merugi, karena tingginya harga kedelai. Tidak hanya di Jakarta, pengrajin di Surabaya pun ikutan mogok setelah paguyuban pengrajin mengedarkan surat nomor 01/PPT/Jatim/II/2022 (detik.com, 21/02/2022).

Mengapa kedelai bisa mahal? Pemerintah berdalih, hal tersebut disebabkan karena tingginya harga kedelai dunia imbas gagal panennya negara Argentina akibat La Nina. Harga menjadi naik dari 12 dolar AS menjadi 18 dolar AS (Kompas.com, 19/02/2022). Selain itu akibat Cina memborong 100 juta ton atau setara dengan 60% pasokan kedelai dunia untuk kebutuhan dalam negerinya, termasuk untuk pakan babi yang jumlahnya nyaris lima miliar (cnbcindonesia.com, 22/02/2022).

Inilah fakta yang ada. Ketika Indonesia yang dikenal sebagai negeri agraris,tapi masih bergantung pada pangan impor. Bahkan RI didaulat menjadi negara importir kedelai terbesar di dunia setelah Cina (Kompas.com/05/01/2021). Pasalnya, negeri ini mengandalkan impor sebanyak 90% untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri (cnbcindonesia.com/23/02/2022). Kisaran 2,5 juta ton pertahun dan pemasok terbesarnya dari Amerika Serikat (Kompas.com,18/02/2022).

Menteri Pertanian mengklaim kesulitan menggenjot produksi kedelai dalam negeri karena dipangkasnya anggaran imbas kebijakan refocusing karena pandemi Covid-19 (suara.com/14/02/2022). Padahal tahun ini Kementerian pertanian menargetkan bisa memproduksi satu juta ton kedelai. Tapi sayangnya petani dalam negeri tidak terlalu tertarik menanam kedelai karena harga jual yang murah (suara.com/14/02/2022).  Disisi lain konsumen lebih suka membeli kedelai impor yang memiliki kualitas lebih bagus. 

Transformasi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian juga menyumbang angka penurunan produksi. Sebagaimana mengutip laporan kementan, luasan lahan panen terus menyusut menjadi 285,3 ribu ha di tahun 2019 dari 660,8 ribu ha tahun 2010 (dpr.go.id, 14/02/2022)

Ujung-ujungnya swasembada pangan dalam nawacita (kedelai salah satu komoditas pangan prioritas) untuk kemandirian pangan tak bisa terwujud dalam waktu 3 tahun (money.kompas.com, 18/02/2022). 

Padahal telah ada ancaman Bapak Presiden dipenghujung 2014 silam. Yang menyatakan akan memecat Menteri Pertanian jika tidak mampu melakukan swasembada. 

Jika ditelusuri, sesungguhnya sulit terwujudnya kedaulatan pangan disebabkan adanya jebakan kapitalisme global.  Hal ini disampaikan oleh ketua umum serikat perani Indonesia (SPI) Henry Saragih, tentang salah arah kebijakan ekonomi dan pertanian (spi.or.id, 05/09/2013). Bermula semenjak adanya perdagangan bebas IMF dan World Bank pada pertemuan Bretton Woods tahun 1944. Juga perjanjian pengurangan hambatan tarif dan nortarif (GATT) dan terbentuknya WTO saat disetujuannya The Agreement of Agriculture (AoA) pada 1994 yang kemudian diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU 7/1994. Sejak itulah kedaulatan pangan  RI sulit didapatkan karena masifnya liberalisasi sektor pertanain dan pangan di Indonesia.

Konsekuensinya, peran bulog sebagai pengelola persediaan kebutuhan pokok harus dilepaskan.  Pemerintah harus mengurangi dan meniadakan proteksi bidang pertanian. Termasuk reformasi  dalam AoA yang berisi komitmen spesifisk untuk mengurangi subsidi domestik, subsisdi impor, dan meningkatkan akses pasar produk pertanian.  Wajar saja jika produk dalam negeri kalah besaing dengan pasar internasional yang lebih unggul dalam penguasaan teknologi.

Sebagaimana disampaikan oleh Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta yang menyatakan setelah Orde Baru tata kelola kedelai diserahkan kepada swasta, sehingga minim kontrol dari pemerintah (ekonomi.bisnis.com, 23/02/2022). 

Seharusnya saat pandemi, pemerintah serius menguatkan sektor pangan. Bukan malah sibuk mengurus IKN dan membangun infrastruktur yang menghabiskan dana APBN. 

Pemerintah harus berpikir mandiri tidak tercengkram kapitalisme global. Membuat kebijakan penyokong pertanian dan memutus ketergantungan impor. Terus melakukan berbagai cara agar kisruh soalan produksi, suplai, kualitas kedelai, harga pangan tidak berulang terjadi. Mulai dari pemetaan wilayah tanam, perbaikan kebijakan pertanahan, konsolidasi dan pembinaan, subsisdi sarana produksi, optimasi peran bulog, penegakan hukum atas kecurangan.  Tidak pro pada kepentingan pemodal dan para kartel. Sebab dengan semua potensi yang ada, seharusnya negeri ini mampu berdaulat pangan.

Munculnya permasalahan ini dikarenakan tidak diterapkannya sebuah aturan kehidupan yang bisa mengantarkan masyarakat pada keberkahan. Oleh karena itu, saatnya kembali pada syari'at Ilahi sebagai solusi. 

Wallahu a'lam bishshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak