Oleh: Atik Hermawati
Invasi Rusia terhadap Ukraina benar-benar telah menyita perhatian dunia. Hal itu resmi diumumkan Vladimir Putin pada 24 Februari 2022 lalu, dimulai dengan ledakan di sejumlah kota di Ukraina, termasuk Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupol. Hingga saat ini ratusan jiwa telah menjadi korban. Negara-negara lainnya menyikapi ini dengan pro-Rusia, pro-Ukraina, maupun usulan diplomasi. Tak terkecuali di tengah kaum muslim, seperti Chechnya yang menjadi sorotan karena ikut andil dalam invasi ini dengan mengirimkan pasukan militernya untuk membantu Rusia. Pun tidak sedikit yang membela Ukraina. Lalu bagaimanakah seharusnya kaum muslimin menyikapi hal ini?
Latar Belakang Invasi Rusia ke Ukraina
Setidaknya ada delapan hal yang disampaikan Syekh 'Atha bin Khalil Abu Ar-Rasytah dalam Soal-Jawab (22/12/2021) yang melatarbelakangi serangan Rusia ke Ukraina saat ini.
1. Kekaisaran Rusia menguasai wilayah Ukraina selama abad keenam belas. Kemudian orang-orang Ukraina terlibat dalam imperialisme Rusia di wilayah-wilayah lainnya dan membantu mereka menjajah bangsa lain. Bahkan orang-orang yang dijajah, jarang membedakan antara orang Rusia dan Ukraina, terutama karena mereka termasuk ras Slavik.
Ketika Uni Soviet bubar pada tahun 1991, kemudian Ukraina memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1991, Ukraina menjadi negara kedua di ruang angkasa “Uni Soviet” dengan lokasi di utara Laut Hitam dan dengan populasi besar sebanyak 40 juta orang. Serta dengan struktur industri tidak kurang dari Rusia dan persenjataan nuklir yang mewakili sepertiga dari warisan Soviet. Hal itu sebelum dilucuti berdasarkan perjanjian Amerika dan Rusia dengan Ukraina, sebagai imbalan atas janji Amerika-Rusia untuk menjaga integritas teritorial dan kemerdekaan Ukraina. Khususnya Ukraina melakukan negosiasi panjang dengan Rusia mengenai Armada Laut Hitam Soviet yang sebagian besarnya diwarisi oleh Rusia, yang tetap bermarkas di pelabuhan Sevastopol dengan perjanjian sewa, di Semenanjung Krimea yang masuk dalam wilayah Ukraina.
2. Kekuatan Rusia gagal membawa Ukraina kembali ke pelukannya dalam setiap konflik dengan Ukraina, baik itu dalam hal pembagian Armada Laut Hitam pada awal tahun 90-an maupun dalam masalah jaringan pipa gas yang panjang dan lebar yang dibangun oleh Uni Soviet di wilayah Ukraina untuk mengalirkan gas dari wilayah Rusia ke Eropa.
Setelah masalah tersebut, muncullah kebutuhan Rusia atas jalur alternatif (seperti jalur “Aliran Turki” melalui Laut Hitam atau “North Stream/ Aliran Utara” melalui Laut Baltik ke Jerman), ataupun dalam masalah perdagangan yang mana pasar Rusia sangat membutuhkan gula dan minyak yang diproduksi oleh tanah Ukraina yang subur. Serta masalah keanggotaan Ukraina di berbagai badan yang didirikan oleh Rusia untuk negara-negara bekas Soviet. Pun munculnya orientasi politik Ukraina ke Uni Eropa dan NATO. Semua pertikaian Rusia dengan Ukraina ini, tidak memungkinkan Rusia untuk mengembalikan hegemoni terhadap Ukraina selama tiga dekade terakhir meskipun Rusia memiliki keunggulan militer.
3. Ukraina seolah seperti taman depan rumah bagi Rusia. Ukraina tidak seperti Asia Tengah yang sebagai taman belakang dalam hal lokasi, saling keterkaitan suku, agama, dan sejarah. Ukraina merupakan ujung depan Rusia dan posisi internasionalnya, karena menghadap ke Laut Hitam dan mengontrolnya lebih dari pandangannya atas wilayah Kaukasia islami yang dianeksasi oleh Rusia sepanjang sejarah. Dari tanah subur Ukraina, Rusia menemukan ketahanan pangannya dalam komoditas dasar yang melindunginya dari fluktuasi hubungannya dengan Barat. Dan dari situ menyeberang ke Eropa Timur, baik melalui pipa gas atau lainnya.
Di atas semua ini, Ukraina hari ini merupakan zona penyangga terakhir untuk menyelesaikan simpul historis Rusia, yang tercermin dalam kekhawatirannya terhadap Eropa. Dimana Rusia pernah diserbu sebanyak dua kali (oleh Napoleon dan Hitler). Dan jika kelemahan negara Soviet memaksanya untuk meninggalkan Eropa Timur sebagai zona penyangga, maka di depan ialah kemajuan NATO ke Eropa Timur. Rusia ingin tetangganya yakni Ukraina dan Belarus menyediakan area yang mampu mengisolasinya dari bahaya NATO dan kemajuan mesin militernya ke arah timur.
Rusia hari ini ingin mencegah Ukraina bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), atau mendukungnya. “Dan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov menganggap dukungan militer AS ke Ukraina sebagai “tantangan serius bagi keamanan Rusia”… (Al-‘Ain Al-Ikhbariyah, 13/04/2021).
4. Barat, terutama AS, menyadari realitas simpul Ukraina ini dalam politik Rusia. Ukraina mewakili sisi terlemah Rusia, terutama setelah kebangkitan gerakan nasionalis di Ukraina meningkat dan permusuhannya dengan Rusia berakar. Oleh karena itu, Ukraina sejak dua dekade lalu, menjadi fokus gesekan AS dan Eropa dengan Rusia. Menyusul Revolusi Oranye yang menggulingkan Presiden Ukraina Yanukovych yang pro-Rusia pada tahun 2014. Moskow merespons pada tahun yang sama dengan memotong Semenanjung Krimea di selatan dari Ukraina dan menggabungkannya ke Rusia. Dimana Rusia memiliki pangkalan militer strategis dan besar di semenanjung itu.
Tidak cukup dengan itu, tetapi Rusia juga mendorong separatis Rusia di Ukraina untuk menyalakan wilayah timur dan mendeklarasikan kemerdekaan dua provinsi (Donetsk dan Lugansk) untuk disebut oleh Rusia sebagai “Rusia Kecil”. Dan Rusia memberikan dukungan kepadanya secara militer.
Semua itu mendorong Ukraina ke dekapan Barat. Setelah itu, Ukraina menuntut dan bersikeras untuk bergabung dengan NATO dengan harapan akan melindunginya dari agresi Rusia. Barat pun mulai mendekatinya dan tampil dengan penampilan sebagai pembela Ukraina. Ukraina diundang ke pertemuan Eropa dan NATO khususnya ketika krisis dengan Rusia meningkat, tanpa menjadi anggota Uni Eropa atau NATO itu sendiri. AS mulai mempersenjatai dan memberikan bantuan militer miliaran dolar, serta mulai melatih tentara Ukraina.
5. Rusia telah berada di bawah sanksi keras Barat (Eropa dan AS) sejak aneksasinya ke Krimea. Maka Rusia mencoba untuk mengimbanginya dengan meningkatkan hubungan ekonominya dengan China. Rusia juga membuka koridor darat (jalur kereta api) bagi China untuk mengangkut barang-barang China langsung ke Eropa. Artinya, Rusia bekerja sama dengan China dalam rangka proyek besar China “Jalur Sutra”.
Selain itu, Rusia juga mulai melepaskan cadangan devisanya berupa obligasi dan dolar AS dan membebaskan perdagangannya secara besar dari dolar. Meski Rusia bukanlah raksasa secara perdagangan seperti Eropa atau China, namun AS melihat Rusia menentang hegemoni ekonominya dan dengan berani menghasut negara lain untuk melakukan hal itu. Hal itu mencuat pada sebagian besar kontrak komersial Rusia, terutama dengan China, dengan bersandar pada mata uang lokal sebagai pengganti dolar. Ini merupakan ancaman bagi AS. Ditambah lagi, baru-baru ini Rusia dituduh menaikkan harga gas, agar menjadi dilema ekonomi baru bagi Eropa.
6. Rusia memandang dimensi besar dan keistimewaan besar Ukraina dari sisi sejarah, hegemoni, ekonomi, dan keamanan yakni merupakan zona penyangga dari NATO. Begitulah, Rusia menganggap Ukraina sebagai garis merah dan memperingatkan NATO agar tidak menyebarkan pasukan dan senjatanya di sana. Di sisi lain, Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa dia tidak menghormati garis merah pihak mana pun terkait Ukraina.
Lebih dari itu, Rusia melihat bahwa kesibukan utama AS hari ini adalah menghadapi China. Dengan makna AS tidak akan memasukkan Ukraina sebagai anggota NATO disebabkan hal itu memerlukan sumber dayanya untuk mempertahankan Ukraina, yang justru akan melemahkan persiapan AS untuk menghadapi China.
Pun Rusia tidak menghargai Eropa, yang lebih kecil kekuatannya secara militer dan bergantung pada Rusia dalam hal pasokan energi. Rusia merasa bahwa situasi internasional menguntungkan bagi Rusia untuk mencapai kesuksesan di Ukraina. Oleh karena itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan kepada mitranya dari Amerika, Anthony Blinken, bahwa Moskow membutuhkan jaminan keamanan jangka panjang di perbatasan baratnya yang akan menghentikan perluasan Pakta Atlantik Utara – NATO – ke arah timur.
7. Rusia berpandangan bahwa Barat meningkatkan suplai persenjataannya ke Ukraina dan dapat mendorong Ukraina setelah memperkuat pasukannya untuk membasmi separatis Rusia di Ukraina Timur, dan setelah itu dapat mendorongnya ke perang di Krimea. Semua ini merupakan bahaya bagi Rusia.
Rusia bertujuan untuk menghilangkan keraguan dalam kelangsungan Krimea tetap sebagai bagian dari Rusia dan menginginkan hal itu sebagai perkara yang faktual dengan pengakuan internasional AS dan Eropa. Selanjutnya adalah agar Ukraina Timur menjadi di luar otoritas Ukraina, melainkan sebagai bagian dari Rusia. Rusia pun bertujuan untuk mencegah bergabungnya Ukraina ke NATO dan Rusia perlu jaminan untuk itu, terutama setelah manuver latihan militer bersama antara NATO dan Ukraina di Laut Hitam.
8. AS menanggapi tuntutan Rusia untuk mengadakan KTT antara Presiden Rusia Putin dan Presiden Amerika Biden. KTT itu diadakan pada 7 Desember 2021. Krisis Ukraina merupakan topik utamanya, tetapi itu bukan satu-satunya. Selama KTT, tampak bahwa Rusia meminta AS untuk mengakui garis merah yang dirumuskannya di Ukraina.
Juga tampak bahwa AS memperingatkan Rusia tentang sanksi ekonomi jika menyerang Ukraina. AS menegaskan pada hari berikutnya setelah KTT, bahwa intervensi militer AS dalam keadaan terjadi invasi Rusia ke Ukraina adalah tidak ada. Menjelang KTT, AS mengancam melalui para pejabatnya dengan ancaman sanksi-sanksi yang belum pernah dilihat oleh Rusia sebelumnya.
AS berbicara tentang penghentian aliran gas Rusia di jaringan pipa “North Stream -Aliran Utara-” ke Jerman. AS berbicara dengan Jerman dalam hal ini, bahwa opsi paling jauh yang dimiliki Amerika adalah memotong Rusia dan bank-bank utamanya dari sistem pengiriman uang asing. Padahal sebagian besar perdagangan Rusia sudah tidak lagi menggunakan dolar.
Itulah yang melatarbelakangi invasi Rusia terhadap Ukraina, yakni terkait geopolitik dan ekonomi dengan tujuan Rusia ingin berpengaruh kuat di tingkat global. Ukraina yang strategis dari segi populasi, SDA, geografis, dan posisinya ialah garis pertahanan bagi Rusia. Dimana Rusia tidak menginginkan adanya intervensi AS, NATO, dan Eropa di garis merah tersebut. Invasi secara resmi dilakukan sebagai bentuk pertahanan terakhir, tanpa mempedulikan lagi sanksi yang diterima dari Barat.
Strategi Politik AS terhadap Rusia
Amerika Serikat, seperti negara-negara Barat lainnya, mengirim jutaan dolar senjata seperti rudal anti-pesawat dan anti-tank ke Ukraina, serta berbagi intelijen. Pentagon memperingatkan NATO untuk tidak mengirimkan jet tempur ke Ukraina. Sampai saat ini, NATO tidak mengirimkan pasukan untuk membantu Ukraina. Sehingga Presiden Ukraina V. Zelensky merasa kecewa.
Melansir dari cnbcindonesia.com (11/03/2022), Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO Jens Stoltenberg dalam sela-sela kunjungannya di Turki pada Jumat (11/3), mengatakan saat ini pihaknya masih terus berusaha agar perang ini tidak membesar. Salah satunya adalah dengan menolak permintaan Ukraina terkait zona bebas udara, yang sebenarnya dapat menahan laju serangan udara Moskow. Pihaknya memiliki tanggung jawab untuk mencegah konflik ini meningkat di luar perbatasan Ukraina menjadi perang penuh antara Rusia dan NATO. Dalam kesempatan yang sama, ia meminta agar Presiden Rusia Vladimir Putin mau menghentikan agresinya ke Ukraina dan kembali duduk dalam perundingan dengan kepala dingin.
Syekh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah menganalisis terkait krisis Ukraina ini. Bahwa Rusia telah mengumpulkan dirinya sendiri ke dalam krisis yang dapat berbalik terhadapnya. AS dapat mendorong presiden Ukraina untuk memprovokasi Rusia, sehingga Rusia tidak punya pilihan selain menyerang Ukraina. Sehingga Rusia pun terlibat dalam badai Ukraina dan terlibat dengan Eropa. Ukraina bukan negara anggota NATO sehingga Amerika harus datang untuk membelanya. Jika Rusia melakukan kesalahan dan menginvasi Ukraina, itu akan memberi Amerika semua pembenaran untuk menundukkan negara-negara Eropa dan membawa mereka kembali di bawah jubah Amerika dengan dalih melawan agresi Rusia. Satu perkara yang tidak sesuai dengan multipolaritas internasional yang diserukan oleh Rusia.
Lanjutnya, ada juga cakrawala yang tidak dilihat Rusia. Dari bagian tekanan Amerika terhadap Rusia dalam kondisi terjadi invasi Rusia ke Ukraina, AS akan memiliki alat baru untuk membongkar aliansi yang muncul antara Rusia dan China. Sebab hal itu memungkinan Amerika menekan China dan mengancamnya dengan perdagangannya dengan Amerika untuk menjauhkan China dari Rusia yang menyerang Ukraina. Jika China tunduk dan menjauhkan diri dari Rusia, maka Amerika akan mencapai tujuan yang besar. Dan jika Rusia tunduk pada berbagai jenis sanksi dan menarik diri dari Ukraina setelah invasinya, maka tuntutan Amerika akan mengejarnya di Ukraina Timur, dan bahkan di Semenanjung Krimea, yang akan mengharamkan Rusia dari raihan apapun dari serangannya ke Ukraina, bahkan akan menjerumuskan Rusia ke dalam musibah. Ini selain Amerika mengobarkan negara-negara Eropa Timur dan mendorong mereka memberikan dukungan militer yang efektif dan berpengaruh untuk memukul Rusia di Ukraina. Mungkin pengalaman kelelahan Rusia di Afghanistan tidak jauh dari ingatan. Karena semua itu, Rusia sedang memainkan permainan berbahaya di sekitar Ukraina yang mungkin menjadi jebakan besar untuknya dan menjadi bumerang baginya, yaitu seperti orang bodoh yang tidak menyadari konsekuensi dari tindakannya. (Soal-Jawab bersama Syekh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah, 22/12/2021)
AS sebagai negara adidaya, tentunya tidak ingin satu negara pun menyainginya. AS tidak akan mengabaikan sejarah ketegangan Perang Dingin bersama Uni Soviet. AS akan senantiasa menjadikan Rusia agar tidak memiliki pengaruh baik secara regional maupun global. Terbukti dengan mendekatnya Ukraina terhadap AS dan NATO-nya, telah membuat Rusia kewalahan dan sibuk menyelesaikan urusan regionalnya. NATO dengan jelas membelenggu Rusia dengan membuka politik pintu terbuka terhadap non-Eropa Barat yakni mengepakkan sayapnya ke wilayah-wilayah bekas Uni Soviet tersebut.
Bantuan militer dan ekonomi menjadikan pintu masuk pengaruh AS terhadap negara tetangga Rusia. AS hanya akan membuat Rusia terjebak dalam provokasi yang dimainkan. Sehingga hubungan yang sedang terjalin antara Rusia-China tidak menggeliat menjadi "pesaing" AS di tingkat global. Adapun diplomasi yang kompromistis, ditawarkan semata-mata demi kepentingan AS pula.
Pun jika Rusia tetap menginvasi Ukraina, maka kerugian materi tak terelakkan. AS sengaja menyibukkan Rusia dengan hal itu. Sehingga di satu sisi, AS menggunakan konvensi internasional untuk menyalahkan Rusia di mata dunia. Sanksi yang diberikan AS berupa blok ekspor pada teknologi akan membatasi Rusia dalam sektor militer. Termasuk sanksi pada 13 perusahaan besar milik Rusia akan melemahkan ekonominya.
AS pun tidak keberatan jika harus berbagi dengan Rusia dengan diplomasi yang lebih menguntungkan AS. Selanjutnya China yang saat ini dekat dengan Rusia, akan selalu diupayakan oleh AS sebagai lahan perdagangan besar tanpa pengaruhnya dalam politik global.
Terjerumus dalam Agenda Asing
Keterlibatan satu kubu Chechnya dengan mengirimkan pasukan untuk membantu Rusia, menimbulkan sejuta tanya. Bagaimanapun Rusia adalah musuh nyata kaum muslimin. Jejak sadisnya begitu nyata dalam mempertahankan rezim Bashar Al-Assad dan menyengsarakan serta menumpahkan darah kaum muslimin di Suriah.
Tak dipungkiri Vladimir Putin saat ini begitu memperhitungkan potensi umat Islam yang tersebar di negaranya maupun di negara tetangganya untuk kepentingannya. Dalam pidatonya di pertemuan KTT Liga Arab di Mesir (28/03/2015), ia berjanji bahwa Rusia akan memperjuangkan negara Palestina yang merdeka, serta terus menyerukan isu-isu Timur Tengah yang harus diselesaikan melalui jalan damai.
Hal inilah yang tentu menarik perasaan sebagian kaum muslimin, salah satunya Chechnya dari kubu Ramzan Kadyrov, mendukung invasi Rusia terhadap Ukraina. Berharap kemerdekaan Palestina dan Timur Tengah sebagai imbal balik atas solidaritasnya. Belum lagi narasi Putin yang menggambarkan perang melawan Ukraina sebagai perang melawan neo-Nazi Ukraina (Yahudi). Dimana hal ini memanfaatkan fakta bahwa Volodymyr Zelensky ialah keturunan Yahudi dan dengan terang meminta Israel sebagai penengah.
Di sisi lain tidak sedikit di tengah umat Islam yang pro-Ukraina. Termasuk kubu Akhmed Zakayev dari Chechnya yang memilih dukungan untuk membela Ukraina. Mereka tak lepas dari sejarah berdarah yakni pelepasan diri dari Rusia dalam sebuah perang.
Namun, semua ini menyebabkan umat muslim yang pro-Rusia maupun pro-Ukraina terjerumus dalam perang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Keterlibatannya hanya dimanfaatkan dalam kepentingan asing yang sejatinya merugikan umat Islam itu sendiri. Politik militer yang kontradiktif sengaja dimainkan untuk menipu kaum muslimin. Padahal mereka ialah serigala berbulu domba.
Sikap Kaum Muslimin Seharusnya
Krisis multidimensi yang menimpa negeri muslim saat ini, meniscayakan keinginan yang kuat pada kaum muslimin untuk berubah lebih baik bahkan mengambil kembali gelar umat terbaik. Perubahan harus ditempuh dengan mengubah kondisi keterpurukan kita saat ini agar kembali pada syariat Islam seluruhnya. Allah SWT berfirman, "...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..." (QS. Ar-Ra'd [13]: 11)
Kaum muslimin harus memandang situasi politik di negara mana pun, dengan sudut pandang yang menyeluruh sesuai akidah Islam. Melihatnya dalam kacamata ideologi Islam. Jangan sampai memandang situasi yang terjadi secara parsial dan berujung pada perjuangan semu.
Pada konflik Rusia dan Ukraina sama sekali tidak ada kepentingan Islam. Dua negara yang berseteru ini tak lepas dari permainan kepentingan AS dan Eropa. Keduanya adalah pendukung kebatilan, Rusia jelas memusuhi Islam. Maka kaum muslimin tidak boleh sama sekali mendukung keduanya.
Umat Islam harus mempunyai agenda besar, yakni melanjutkan kehidupan Islam. Sebab tanpa mempunyai agenda besar, maka senantiasa ditunggangi dan terjerumus dalam agenda besar negeri-negeri kafir. Umat harus meletakkan semua dinamika politik untuk kepentingan Islam. Memperjuangkan kembali tegaknya institusi Khilafah yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah, pun yang akan menghapuskan cengkeraman imperialisme penjajah atas negeri-negeri muslim.
Agenda besar itu hanya bisa ditempuh dengan mengikuti thariqah Rasulullah saw. dalam mengemban dakwah, menegakkan Khilafah, dan jihad. Umat muslim harus turut andil dalam perjuangan politik. Dimana hal itu sama sekali tidak memerlukan bantuan dari negara asing. Melainkan independen dengan menyadari strategi politik penjajah serta berbagai caranya, sehingga dapat membongkar makar mereka. Selanjutnya mendakwahkan yang haq sebagai bentuk perlawanan terhadap perang pemikiran saat ini dan menciptakan kesadaran politik yang benar di tengah umat.
Semua itu mengharuskan persatuan dan wadah politik yang berideologi Islam. Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali 'Imran [3]: 104)
Dengan berpegang teguh pada ideologi Islam, yakni Islam sebagai akidah ruhiyah dan akidah siyasiyah, tentu pertolongan Allah dan kemenangan akan datang. Allah SWT berfirman, "Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang." (QS. Al-Ma'idah [5]: 56)
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini