Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Sebagaimana yang sudah kita pahami, sebuah negara yang didasari sistem kapitalis, dalam mengelola negara hanya ditopang oleh hutang dan pajak. Ketika hutang sudah melambung tinggi, maka pajak menjadi prioritas untuk diambil dari rakyatnya.
Demikianlah yang terjadi di negeri kita tercinta. Menaikkan tarif PPN tidak bisa lagi ditunda. Kebijakan pemerintah ini diambil untuk menyelamatkan keuangan negara yang kian mengkhawatirkan. PPN naik dari 10% menjadi 11 %. Kebijakan ini berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP) yang akan berlaku mulai dari 1 /4/2022.
Sementara itu, dalam menanggapi protes dari berbagai kalangan, Menkeu Sri Mulyani, menyatakan bahwa negara memang mebutuhkan pajak agara negara kuat. Dan pajak peruntukannya juga untuk rakyat, “Memangnya kita butuh pajak yang kuat untuk nyusahin rakyat? Enggak, karena pajak itu untuk membangun rakyat juga, mulai seperti membangun sekolah, rumah sakit, infrastruktur, bahkan listrik, LPG, dan lain sebagainya. Karena dalam hal – hal tersebut ada elemen subsidinya. Penyataan ini disampaikan saat Economy Outlook 2022 CNBC Indonesia. (Gelora, 22/3/2022).
Mungkin memang benar, menaikkan PPN ditempuh untuk menyehatkan ekonomi negara, tetapi kita tentu tidak bisa menutup mata, bahwa naiknya pajak akan menambah beban rakyat. Hal ini tentu sangat menyayat hati. Apalagi diketahui berbagai pihak memiliki kepentingan dan rasionalitas masing-masing di balik kenaikkan PPN.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Taz Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan, menaikkan tarif PPN memunculkan situasi dilematis. Pasalnya, jika tarif PPN naik, beban pajak bagi masyarakat akan bertambah meski penerimaan negara dapat meningkat. Jika tarif PPN tetap, beban bagi rakyat tetap, sedangkan kondisi keuangan negara dapat makin mengkhawatirkan karena utang terus bertambah. (kontan.co.id, 21/5/2021).
Ya, memang dilematis, pertanyaannya, kepentingan siapa kemudian yang akan dimenangkan? Jawabnnya pasti penguasa. Kondisi tarik ulur kepentingan selalu terjadi dalam sistem demokrasi. Pejabat negara sering menyampaikan bahwa kepentingan rakyat di atas segalanya, itu hanya sekadar janji, tidak perlu dilanjut dengan bukti. Ya, memang demikianlah adanya. Dalam sistem demokrasi akan selalu lahir kebijakan – kebijakan yang miskin empati.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan Islam, jika terjadi defisit anggaran yakni penerimaan negara lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran yang wajib dipenuhi maka kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim dalam bentuk pajak yang sifatnya sementara atau pinjaman. Khalifah akan menerapkan pajak pada masyarakat yang kaya.
Artinya, pajak tidak dibebankan pada masyarakat luas. Menurut Abdul Qadim Zalum, jika terjadi kekurangan pendapatan dari sumber pendapatan yang ditetapkan dalam Islam untuk membiayai pengeluaran, Khalifah dapat menerapkan pajak. Syaratnya, terdapat kebutuhan untuk menutupi kebutuhan dan kemaslahatan kaum muslim.
Masyarakat yang kaya akan membayar pajak untuk belanja yang hendak dibiayai baitulmal— sementara baitulmal dalam kekosongan keuangan—yaitu di antaranya pembiayaan jihad, industri militer, pemberian bantuan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, dan ibnu sabil, pembiayaan gaji orang yang diupah negara seperti tentara, pegawai, hakim, dan guru. Pun, pembiayaan untuk kemaslahatan yang dibutuhkan seperti bencana, gempa bumi, longsor, dan banjir.
Selain menerapkan pajak bagi orang kaya, Khalifah juga bisa melakukan pinjaman. Meminjam dengan cara mempercepat pembayaran zakat dan kharaj bagi warga Khilafah, yang nantinya kewajiban mereka yang jatuh tempo akan dikurangi sesuai dengan utang negara kepada mereka.
Negara pun mendorong rakyatnya untuk memberikan bantuan untuk membantu negara menangani masalah keuangan. Hal itu dilakukan rakyat dengan penuh ketaatan dan kelapangan hati.
Wallahua’lam bi ash showab.