Perang Rusia- Ukraina, Sejarah yang Berulang

 



Oleh Irohima

Krisis Ukraina kembali terjadi setelah Presiden Rusia, Vladimir Putin melakukan invasi di wilayah Ukraina pada Kamis ( 24/2/2022). Serangan Rusia menyasar kota besar seperti Kyiv, Odessa, Kharkiv, dan Mariupol.

Dalam pidatonya di televisi pemerintah Rusia, Putin mengatakan bahwa invasi ini dilakukan karena pihaknya tidak merasa aman, berkembang, dan eksis dengan ancaman konstan yang berasal dari wilayah Ukraina modern. Maka dari itu Putin memulai “Operasi Militer Khusus “ di Ukraina, yang tujuannya untuk “ demiliterisasi “ tapi tidak untuk menduduki Ukraina (Kompas.com)

Konflik Rusia – Ukraina telah berlangsung sejak lama. Melihat dari sejarah, sekitar 1.200 tahun lalu, Rusia, Ukraina dan Belarusia merupakan wilayah yang lahir di tepi Sungai Dnieper di Kievan Rus. Sebuah negara adidaya di abad pertengahan yang luas daerahnya mencakup sebagian besar Eropa Timur. Putin selalu mengklaim jika Rusia  dan Ukraina adalah satu bagian dari peradaban Rusia. Namun Ukraina membantah klaim tersebut meski kedua negara ini berasal dari tanah yang sama, namun keduanya memiliki perbedaan yang menonjol dari segi bahasa, sejarah dan kehidupan politiknya.

Konflik mereka adalah konfrontasi militer yang dimulai pada 3 Maret  2021. Konflik ini juga dipicu oleh keinginan Ukraina menyusul Lithuania. Estonia, dan Latvia yang sama-sama merupakan negara bekas Uni Soviet untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization atau NATO. Konflik pun kian memanas saat Putin mengakui kemerdekaan dua wilayah separatis pro – Rusia di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk.

NATO sendiri adalah organisasi pertahanan dan keamanan di kawasan Atlantik Utara yang meliputi negara – negara Eropa, Kanada dan Amerika Serikat.

Tentu keinginan Ukraina bergabung dengan NATO merupakan halangan bagi Putin yang ingin mengembalikan masa-masa dimana Rusia mendominasi zona keamanan yang menyerupai Moskow di masa Uni Soviet. Putin ingin menarik Ukraina kembali ke orbit Rusia, namun sejak Ukraina merdeka secara de jure ( berdasarkan hukum ), Ukraina lebih cenderung mendekat ke Uni Eropa meski pemerintahan Ukraina mengalami konflik internal dan terbagi menjadi dua kubu yakni pendukung Uni Eropa ( masyarakat dan politisi Ukraina daratan ) dan pendukung Rusia  ( masyarakat  dan politikus Krimea, sebuah semenanjung di kawasan Laut Hitam).

Krisis Ukraina menyebabkan berbagai reaksi di masyarakat khususnya dunia internasional. Ada yang mengecam Rusia , namun tak sedikit yang mendukung Vladimir Putin. Belarusia, Venezuela, Kuba, Korea Utara, Myanmar, Suriah dan Eritrea adalah negara-negara yang  mendukung invasi Rusia.

Bagaimanapun perseturuan Rusia dan Ukraina telah berimbas ke kondisi politik masyarakat dunia. Tak terkecuali negeri-negeri Muslim. Seperti yang dikatakan Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, beliau menduga kuat konflik Rusia – Ukraina tak hanya sekadar perang militer namun juga mulai disusupi bumbu identitas keagamaan dengan menyebar propaganda ( terkini.id ).

Hal ini bukan isapan jempol belaka, Vladimir Putin dan Rusia nampaknya sedikit berhasil mengambil simpati kaum Muslim. Terlihat di beberapa media sosial , tak sedikit umat Islam yang bersimpati pada Rusia karena melihat kedekatan Putin dengan Islam, terlebih Putin pernah mengatakan bahwa Rusia tak pernah takut dan mempermasalahkan perkembangan Islam yang begitu pesat di Rusia, apalagi ditambah  kedekatan Putin dengan Ramzan Kadyrov, presiden Chechnya, salah satu negara  yang mayoritasnya berpenduduk Muslim  dan menjadi sekutu Rusia. Sebanyak 12 ribu tentara Chechnya ikut ambil bagian dalam invasi Rusia ke Ukraina. Padahal Chechnya mempunyai sejarah kelam bersama Rusia.

Keterlibatan negara Muslim dalam krisis Rusia- Ukraina patut disayangkan, mengingat saat ini Ukraina juga mempunyai penduduk Muslim yang jumlahnya mencapai 2 juta jiwa. Namun kita tak bisa juga membela Rusia meski Putin memperlihatkan keramahannya pada dunia Muslim. Selain itu sikap dunia Islam yang netral dan lebih mendorong pada penyelesaian damai dalam menyikapi krisis Ukraina juga merupakan langkah yang kurang tepat.

Sebagai Muslim sepatutnya kita merujuk pada Islam untuk menyikapinya dengan membongkar rahasia apa yang ada dibalik krisis ini. Karena sesungguhnya krisis Ukraina bukan hanya sekedar masalah invasi tapi krisis ini lebih menjurus pada kepentingan ( ekonomi-politik ) negara besar ( Rusia dan Amerika ). Kita juga mesti memikirkan dampak bagi rakyat kedua belah pihak khususnya bagi Muslim.

Sejatinya kriris Rusia – Ukraina adalah pertarungan merebut pengaruh dan kekuasaan. Ukraina bagi Rusia merupakan benteng sekaligus garis terdepan yang bisa melindunginya dari ancaman Uni Eropa dan Nato ( Amerika ). Sementara Ukraina dengan segala kekayaan sumber alamnya serta mempunyai posisi sebagai jalur pipa gas ke Eropa adalah incaran para pesaing politik Rusia hingga tak heran jika krisis Ukraina menjadi ajang perebutan tahta kekuasaan para negara adidaya.

Saling berebut kekuasaan  dan kekayaan alam di negeri-negeri  lain menjadi perilaku yang lumrah dalam Ideologi kapitalisme. Landasan ideologi kapitalisme yang mengusung kebebasan dan asas manfaat, yaitu meraih keuntungan sebanyak-banyaknya telah meniscayakan segala cara agar dapat dilakukan meski harus menciptakan konflik yang menimbulkan penderitaan rakyat. Ukraina tak sendiri, konflik di Timur Tengah, Afrika, Asia Tengah dan Asia Tenggara adalah deretan drama konflik yng tercipta dengan produser dan aktor yang terkadang sama atau berganti tergantung seberapa kuat dan lemahnya posisi politik mereka di kancah internasional.

Krisis  Ukraina dan Rusia tidak berhubungan langsung dengan umat Islam. Namun sebagai Muslim kita tak boleh terlibat atau mendukung salah satunya, sayangnya para pemimpin negeri Muslim lebih mengambil sikap mencari aman, menjadi pengikut dan cenderung menggantungkan nasib kepemimpinan dan negara dalam cengkraman negara adidaya.
Hal ini merupakan efek racun kapitalisme sekuler yang telah menjalar dalam tubuh mereka dan membuat mereka mabuk akan kekuasaan dan berbagai urusan yang sama sekali tidak menyentuh kepentingan rakyat.

Pemimpin-pemimpin yang terlahir dari sistem sekuler kapitalis sangat berbeda jauh dengan pemimpin-pemimpin yang terlahir dari sistem Islam. Pemimpin dalam Islam mempunyai kewajiban menegakkan kewibawaan Islam dan menjadikan ideologi Islam  sebagai satu-satunya landasan dalam mengatur seluruh urusan rakyat.

Pemimpin dalam Islam berfungsi sebagai periayah dan perisai atau pelindung rakyatnya dari segala bentuk kezaliman, ancaman penjajahan negara kafir musuh Islam. Negara dalam Islam adalah pemberi solusi terbaik dalam setiap masalah. Negara juga akan memiliki kekuatan serta ketahanan politik dan militer hingga mampu menjadi pembebas bagi negara- negara yang menderita akibat kezaliman kekuasaan politik para penguasa yang rakus akan kekuasaan.

Wallahu a'lam bisshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak