Oleh: Hamnah B. Lin
Terus berulang kasus penistaan agama yang ditujukan kepada Islam. Rasanya tak pernah habis penistaan datang silih berganti dari para pembenci Islam. Sungguh renungan yang wajib dijawab dan dicari solusinya. Ada apa dan kenapa dibalik ini, karena seperti ada pembiaran terhadap terus bermunculannya penista agama.
Kami lansir dari suara.com, 17/3/2022, telah viral video usulan penghapusan 300 ayat Alquran oleh seorang pendeta bernama Syaefudin Ibrahim. Bahkan dia mengatakan bahwa pesantren adalah sumber radikalisme, maka ganti sajaj kurikulumnya bahkan guru-gurunya yang mengajarkan membenci agama lain.
Merespon viralnya pernyataan pendeta ini, Stafsus Menteri Agama ( Menag ), Ishfah Abidal Aziz meminta seluruh masyarakat menghormati keyakinan agama lain. Serta terus mendorong kerja sama, kerukunan dan saling tenggang rasa umat beragama (sindonews.com, 3/2022).
Sungguh miris, di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun taring-taring para pembenci Islam kian tajam dan runcing untuk merobek mayoritas kaum muslim. Sedangkan kaum muslim yang mayoritas ini, makin melemah dan tak berdaya hingga terlihat lunglai dan bingung dengan agamanya sendiri.
Di negara penganut sistem demokrasi, kebebasan menjadi pilar terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar kebebasan, yakni kebebasan beragama, berekspresi, berpendapat, dan tingkah laku, yang sering diagung-agungkan tidak menjadikan masyarakatnya terdidik dengan nilai toleransi tinggi. Kebebasan berekspresi justru menyemai benih sentimen dan kebencian terhadap Islam.
Kebebasan berekspresi menyerukan agar umat antaragama saling menghormati dan menjunjung tinggi toleransi. Padahal faktanya, kebebasan inilah yang sesungguhnya memicu lahirnya para penista agama. Dengan mengolok-olok agama, para penganut kebebasan ini merasa benar sendiri.
Atas nama kebebasan pula, umat Islam selalu diminta tidak mudah tersulut emosi manakala ada kasus penodaan agama. Memang, hal tersebut tidak salah. Hanya saja, terdapat perbedaan perlakuan bila menyangkut identitas agama pelaku penistaan. Jika pelaku penista dari kalangan muslim, mereka buru-buru mengecap pelaku memiliki pemahaman radikal, intoleran, dan antikeberagaman. Sebaliknya, jika pelaku dari kalangan nonmuslim, narasi radikal dan intoleran tiba-tiba menghilang.
Jika berharap kepada sistem pada saat ini, tentu penistaan agama tidak akan pernah selesai. Pelaku tidak akan pernah diberikan hukuman setimpal, atau justru hanya sekedar diberikan sanksi agar tindakan tidak akan berlanjut pada kasus penistaan agama lainnya. Namun, pada faktanya, hari ini tiada hukum yang berpihak pada kaum Muslim yang menuntut tindakan tegas terhadap para penghina Islam. Umat Islam hanya mampu melihat, dan tidak boleh memberikan tindakan apapun, hingga kasus akan terus berulang, tanpa ujung.
Aturan negara yang tidak berdasarkan Islam, tentu tidak akan mampu menangani kasus penistaan agama. Bahkan tak akan bisa dituntaskan sampai kasus-kasus lain juga ikut berdatangan. Maka, berharap dengan sistem sekarang, adalah seperti berharap pada harapan palsu, tidak ada ujung penyelesain.
Untuk menyelesaikan kasus penistaan agama tidak cukup hanya dengan membuat regulasi semata. Tetapi diperlukan perubahan secara sistematik. Menganti sistem sekuler yang nyata menumbuh suburkan pelaku penistaan agama dengan sistem yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Mengembalikan peran agama dalam kehidupan sehingga bisa dijadikan sebagai sumber rujukan dalam mengatur kehidupan. Termasuk kehidupan bernegara. Ketika syariat Islam diterapkan maka sanksi tegas menanti para penista agama. Hal ini akan menimbulkan efek jera sehingga kasus penistaan tidak akan terus berulang.
Adalah Negara Khilafah, negara yang menerapkan sistem Islam, negagra khilafah bukanlah negara homogen. Di bawah kepemimpinan sistem Khilafah, kesucian agama benar-benar terjaga. Toleransi dan saling menghormati antarumat beragama menjadi tabiat masyarakat yang hidup dengan aturan Islam yang paripurna.
Kehidupan beragama sangat dijamin dalam Islam. Warga nonmuslim yang tinggal di negara Khilafah disebut dengan kafir zimi atau ahlu dzimmah. Kata Adz-dzimmi berasal dari adz-dzimmah yang artinya janji. Mereka hidup berdampingan dengan muslim dan mendapatkan perlindungan dari negara. Perlakuan Islam terhadap kafir zimi menunjukkan bahwa Islam mampu memberi keadilan dan jaminan bagi setiap warganegara.
Jaminan tersebut meliputi:
Pertama, jaminan kebebasan beribadah. Dalam hal ini, seorang kafir zimi memperoleh kebebasan menjalankan agama sesuai keyakinannya. Khilafah akan menjamin pelaksanaan ibadah tanpa diskriminasi, pemaksaan, ataupun tindakan intoleran. Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk Islam.
Mereka bebas melaksanakan proses ibadah sesuai ajaran agamanya. Rasulullah ﷺ pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, ”Siapa saja yang tetap memeluk agama Nasrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya,….” (HR Abu Ubaid)
Kedua, jaminan memilih dan memeluk agama. Allah Swt. berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)..…” (TQS Al Baqarah: 256). Islam tidak akan memaksa nonmuslim untuk memeluk Islam. Islam mengajarkan agar hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Ini sebagaimana gambaran Shalahuddin al-Ayyubi menaklukkan Palestina. Saat itu, tiga agama, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup berdampingan dengan damai. Hal itu juga terjadi saat Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, beliau tidak serta-merta menyingkirkan umat Nasrani. Bahkan, beliau menjamin hak beragama mereka dengan baik.
Ketiga, perlakuan yang baik secara umum. Islam mengajarkan agar kaum muslim memperlakukan kafir zimi dengan baik dan memperhatikan kepentingannya. Kaum muslim bahkan wajib menjaga keselamatan jiwa, harta dan kehormatan mereka. Mereka terjaga makanan, tempat tinggalnya, juga pakaiannya.
Rasulullahﷺ, “Saya berwasiat untuk khalifah sesudahku begini dan begitu. Saya juga berwasiat kepadanya untuk melakukan dzimmah (janji) Allah dan Rasul-Nya agar perjanjian dengan mereka ditunaikan, sehingga mereka berada di belakang (mendukung) ketika berperang dan agar tidak membebani mereka di luar kemampuan mereka.” (HR Bukhari)
Keempat, kebolehan bermuamalah dengan kaum muslim. Kaum muslim boleh melakukan berbagai transaksi muamalah dengan kafir zimi, seperti jual beli, sewa, perserikatan, dan sebagainya tanpa diskriminasi.
Kelima, Khilafah menjaga akidah umat Islam dengan mekanisme berikut: (1) menanamkan dasar-dasar akidah Islam, baik melalui kurikulum pendidikan maupun pembinaan umum pada masyarakat; (2) melarang segala bentuk penyebaran ajaran lain selain Islam; (3) memberlakukan sanksi tegas pada pelaku murtad atau penista agama, yaitu hukuman mati. Hanya saja, pemberlakuan hukuman ini ditetapkan ketika mereka menolak setelah sebelumnya diajak kembali pada Islam dan bertobat.
Maka sungguh fitnah yang nyata jika kaum muslim dikatakan radikal, dikatakan intoleransi, bahkan dikatakan Alquran adalah sebagai sumber radikal.
Maka, betapa indah dan akan tercipta kebahagiaan ditengah manusia jika Islam kaffah diterapkan seluruhnya dalam bingkai negara khilafah Islamiyah. Turutlah ambil andil untuk tegaknya sistem Islam diatas muka bumi ini.
Wallahu a'lam biasshawab.