Penguasa Dzalim; Kaum Buruh Semakin Nelangsa Dibuatnya



Oleh : Rosmawati
 (Pengamat Kebijakan Publik) 


Kaum buruh kembali merasakan pahitnya kebijakan penguasa, belum juga usai perjuangan buruh memprotes Undang-Undang Cipta Kerja. Kini sudah dihadapkan lagi dengan persoalan baru, terkait dengan kisruh penangguhan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT). Kebijakan ini dinilai sangat merugikan kaum buruh. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, seperti itulah peribahasa yang menggambarkan kondisi kaum buruh saat ini.

Kaum buruh kini seolah-olah tidak berhak mendapatkan jaminan hidup yang layak. Pasalnya bukan kali ini saja, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dirasa tidak berpihak pada kaum buruh. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa waktu kebelakang, terkait minimnya upah pekerja yang ditetapkan oleh pemangku kebijakan. Upah yang sungguh tidak sebanding dengan biaya hidup yang serba sulit saat ini.

Kebutuhan dasar dan kebutuhan pokok yang tinggi, ditambah dengan minimnya gaji yang diterima pekerja harus dipotong lagi untuk membayar jaminan sosial. Yang salah satunya yaitu Jaminan Hari Tua (JHT), yang mana semakin memberikan himpitan beban hidup para pekerja.

Pada beberapa waktu lalu, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan aturan baru terkait pencairan dana JHT. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa dana JHT baru dapat dicairkan disaat pekerja berusia 56 tahun. Dan ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia No.2 Tahun 2022. Tentang tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat jaminan hari tua. (Kumparan News)

Keputusan tersebut sontak saja menuai banyak ktitikan dari berbagai kalangan. Mulai dari sejumlah petisi di media sosial, penolakan dari anggota DPR hingga ancaman demontrasi besar-besaran apabila kebijakan ini tidak dibatalkan.

meskipun aturan permenaker ini kemudian dibatalkan. Namun hal tersebut tidak menunjukkan apa-apa selain metidakkonsistenan dan ketidakmampuan pemerintah membendung gelombang penolakan dari rakyat. JHT merupakan hak para pekerja. Jadi sudah seharusnya mereka bisa mendapatkan hal tersebut saat mereka harus keluar dari pekerjaannya. Bukan justru ditahan untuk kemudian dimanfaatkan terlebih dahulu sebelum akhirnya diberikan kepada pekerja ketika berusia 56 tahun.

Adapun terkait program JHT, program tersebut tak lain adalah program perlindungan para tenaga kerja yang saat ini dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan. Mulanya program ini bertujuan untuk menjamin peserta Jamsostek akan menerima uang tunai apabila pekerja memasuki masa pensiun, mengalami kecelakaan kerja sehingga menyebabkan cacat total tetap, meninggal dunia, serta mengundurkan diri atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Adapun terkait dana JHT ini dapat diambil secara presentase dari gaji pekerja. Dana tersebut boleh dicairkan setelah satu bulan pekerja mengundurkan diri atau di-PHK, pencairan dana JHT tersebut adalah hak pekerja. Sehingga dana ini diharapkan bisa menjadi penunjang saat pekerja dalam keadaan menganggur. Namun ironisnya pencairan dana JHT kini harus ditangguhkan sampai usia 56 tahun. Jelas ini sangat menyulitkan dan menambah penderitaan para buruh.

Tak dipungkiri inilah realitas buruknya pengaturan ketenagakerjaan dalam sistem kapitalis yang menghiasi negeri ini. Sistem yang sudah cacat bawaan sejak lahir. Karena sebetulnya jaminan sosial untuk tenaga kerja ini adalah regulasi (pengatur) yang dibuat pemangku kekuasaan. Dimana penguasa dan pengusaha bekerja sama untuk mengatur dana tersebut, sehingga diklaim sebagai jaminan. Padahal dananya dari pekerja itu sendiri dan pada hakikatnya tidak ada jaminan yang diberikan oleh pemangku kekuasaan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya peran penguasa dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya. Negara hanya berfungsi sebagai pengatur kebijakan yang kerap kali tidak berpihak pada rakyat. Negara berlepas tangan dalam memenuhi hak-hak rakyatnya, dan selalu menguntungkan segelintir pihak. Adapun para kapital nyatanya hanya bisa mengekspoitasi kaum pekerja. Mereka hanya mementingkan segala urusan dan keinginannya, tanpa pernah berfikir terkait kebutuhan para pekerja tersebut.

Pemangku kekuasaan dan para kapital yang menikmati hasil dari keringat para pekerja ketika saat masih produktif ini, nyatanya abai dalam menjamin kebutuhan mereka disaat sudah tidak produktif.

Tentunya hal ini amat berbeda dengan pengaturan dalam Islam. Pemangku kekuasaan dalam Islam adalah orang yang mendapat amanah untuk menempatkan segala urusan diatas dasar syari'at Islam. Artinya, mereka tidaklah berkuasa untuk membuat peraturan dan kebijakan, melainkan menjalankan segala roda kekuasaan tersebut agar sejalan dengan apa-apa yang telah Allah tetapkan dalam pedoman Alquran dan hadits. 

Para penguasa ini berkuasa dibawah legalitas syari'at. Mereka mampu untuk mengorganisasi dan mengatur rakyatnya, menjaga jangan sampai mereka tersesat hingga terjatuh ke dalam jurang. Serta mengarahkan rakyatnya menuju satu tujuan yang benar.

Penguasa atau pemimpin dalam Islam harus peduli dengan urusan rakyatnya, memikirkan masalah mereka, mengurusi, memberikan solusi serta mampu bertanggung jawab untuk menjamin hak-hak rakyatnya. Dalam sistem Islam, tidak perlu lagi adanya jaminan hari tua untuk para pekerja. Karena semua itu sudah menjadi bagian dari peran negara sebagai penanggung jawab atas terpenuhinya kebutuhan hidup rakyatnya.

Mulai dari kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, air, listrik beserta BBM itu semua dijamin oleh negara dan diberikan gratis kepada rakyat. Sedangkan untuk kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan itu pun tersedia karena rakyat difasilitasi dengan lapangan pekerjaan yang luas sehingga memudahkan rakyat untuk mendapatkan penghasilan.

Kalaupun upah pekerja tidak mencukupi untuk memenuhi biaya kehidupan diri dan keluarganya dikarenakan pekerja mengalami cacat atau hal lainnya. Maka itu merupakan tanggungan negara melalui mekanisme yang berlaku, bukan pihak perusahaan (pemberi kerja). Berkaitan dengan tunjangan dalam Islam tetap ada, namun bukan dalam bentuk jaminan yang bersifat parsial.

Salah satu contohnya pada masa Kekhalifahan Umar bin Khaththab, beliau memberikan tunjangan rata-rata sebesar 50 dinar atau setara dengan 200 juta pertahun. Tunjangan ini diberikan kepada yang membutuhkan. Yang mana tunjangan tersebut diambil dari kas negara (Baitulmaal), sebuah lembaga keuangan negara Islam yang tahan dari defisit.

Kebijakan tersebut dikeluarkan khalifah Umar untuk mengembangkan perekonomian negara sebab dari sisi kebutuhan dasar dan kebutuhan pokok sudah dipenuhi oleh negara. Alhasil, setelah diberikan tunjangan daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga perputaran ekonomi makin cepat. Yang tentunya hal tersebut begitu berdampak untuk kemajuan perekonomian negara.

Tentunya untuk mengimplementasikan pengaturan ketenagakerjaan yang baik, harus ada peran negara dimana hanya dalam sistem Islam bisa tercapai. Yang mampu memberikan kesejahteraan untuk para pekerja dan seluruh rakyat yang berada dalam naungan khilafah. Namun selama sistem yang diterapkan bukan sistem Islam, jaminan kesejahteraan untuk rakyat itu hanya khayalan belaka. Karena realitasnya sistem tersebut hanya menambah penderitaan rakyat saja.

Wallahu A'lam bis Shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak