Oleh: Hamnah B. Lin
Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden ( Inpres ) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Kesehatan Nasional. Dalam Instruksi yang dikeluarkan pada 6 Januari 2022 itu, Presiden meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia menyempurnakan regulasi untuk permohonan SIM, STNK, dan SKCK menyertakan syarat kartu BPJS Kesehatan ( Sumber: CNNIndonesia.com, 21/2/2022).
Padahal tidak semua warga mampu menjadi anggota BPJS Kesehatan karena terkendala besaran iurannya. Rincian lengkap iuran BPJS Kesehatan terbaru: Peserta Mandiri Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP): Kelas I: Rp 150.000 Kelas II: Rp 100.000 Kelas III: Rp 35.000 ( Kompas.com, 22/2/2022 ). Tentu uang senilai 35.000 amatlah banyak, apalagi jika dalam satu keluarga ada lebih dari dua jiwa.
Terkait PCR pun, Indonesia pada awal pandemi layanan tes PCR mencapai jutaan rupiah, turun Rp 900.000, turun lagi 450.000 dan setelah banyak diprotes dari masyarakat, harganya turun 275.000. Ini sesuai dengan Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI nomor HK.02.02/I/4198/2021 tentang Pelaksanaan Ketentuan Atas Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan COVID-19. Batas tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR adalah Rp. 275 ribu untuk pulau Jawa dan Bali, serta sebesar Rp.300 ribu untuk luar pulau Jawa dan Bali (SehatNegeriku, 2/12/2021).
Mahalnya biaya layanan kesehatan, sebenarnya akibat dari pengelolaan layanan kesehatan yang diserahkan kepada swasta atau (Corporate Based Management) dengan paradigma bisnis. Hal ini muncul dari sistem ekonomi kapitalis ditambah dengan perilaku para pejabat yang tidak memiliki nurani. Mereka bekerjasama dengan para kapitalis untuk meraup keuntungan dengan menjadikan layanan kesehatan sebagai obyek bisnis. Pasalnya, dalam pandangan sistem ekonomi kapitalis dan politik liberal, hubungan antara rakyat dan negara adalah hubungan bisnis; yaitu hubungan antara pembeli dan penjual. Karena itulah, selalu digembar gemborkan subsidi terhadap rakyat merupakan beban yang harus dihapus.
Karena itu jika pengelolaannya oleh swasta akan menciptakan pasar monopoli yang menyebabkan harga dikendalikan oleh para pengusaha atau para kapitalis.
Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini, termasuk pengelolaan alat kesehatan untuk mengatasi pandemi Covid-19. Importir alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan Rapid Test Antigen didominasi sepenuhnya oleh kelompok perseorangan atau korporasi nonPemerintah. Berdasarkan dokumen impor, kelompok korporasi non-Pemerintah memegang 77,16 persen aktivitas impor alat kesehatan yang diperuntukkan untuk penanganan Pandemi Corona di Tanah Air. Pemerintah hanya memegang 16,67 persen dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan penanganan Covid-19 itu. Sisanya, 6,18 persen pengadaan barang dari luar negeri dilakukan oleh lembaga non-profit. Importir itu didominasi oleh 10 importir besar. Ironisnya, ada importir yang sebenarnya bukan perusahaan yang bergerak di bidang kesehtan seperti perusahaan ketel uap dan alat kecantikan.
Kondisi ini diperparah lagi oleh para pejabat yang didominasi pengusaha atau mereka menjadi pejabat dibiayai oleh pengusaha. Semua biaya politik yang mereka keluarkan merupakan modal yang harus kembali dan mendapatkan keuntungan. Karena itu pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir bahwa kebijakan penentuan harga hingga pelaksanan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) ditetapkan secara transparan. Kebijakan itu, kata Erick, dibahas dalam rapat terbatas antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sejumlah Menteri di Kabinet Indonesia Maju. Pernyatakan ini tidak usah diragukan lagi. Yang perlu diragukan bahkan diduga bohong adalah pernyataan Erick Tohir yang mengatakan tidak mungkin saya mengambil keuntungan karena faktanya yang mendominasi impor alat kesehatan untuk tes PCR itu adalah para pengusaha yang tujuan kegiatannya mencari keuntungan.
Badan yang sehat merupakan dambaan setiap Muslim. Badan yang sehat, selain merupakan nikmat yang besar, juga bisa menjadi sarana bagi seorang Muslim untuk bisa optimal dalam melaksanakan fungsi sebagai hamba Allah SWT. Karena itulah besarnya nikmat kesehatan dinyatakan oleh Rasulullah saw. dalam sabda beliau yang artinya: “Siapa saja di antara kalian yang masuk waktu pagi dalam keadaan sehat badannya, aman dalam rumahnya dan punya makanan pokok pada hari itu maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuk dirinya” (HR Ibnu Majah).
Islam pun memerintahkan kaum Muslim untuk menjaga kesehatan. Jangan sampai seorang Muslim mengabaikan kesehatan walaupun dengan alasan ibadah kepada Allah SWT. Rasulullah saw. pernah menegur Sahabat Abdullah bin Amru bin al-Ash ra. yang beribadah terus-menerus, yang artinya,” Sungguh jika kamu melakukan hal itu terusmenerus maka nanti matamu letih dan jiwamu lemah. Sungguh untuk dirimu ada haknya. Keluargamu juga punya hak. Karena itu berpuasalah dan berbukalah; bangunlah (untuk shalat malam) dan tidurlah” (HR al-Bukhari).
Ketika sakit kaum Muslim diperintahkan untuk berobat. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Sungguh Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dia telah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Karena itu berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram!” (HR Abu Dawud).
Namun faktanya tidak semua rakyat memiliki kemampuan finansial untuk berobat, apalagi dalam sistem kapitalis sekarang. Karena itulah dalam politik ekonomi Islam, Negara atau Pemimpin wajib secara langsung menjamin kesehatan seluruh warga negara (Muslim dan non-Muslim). Negara wajib menyediakan sarana pengobatan dan kesehatan secara murah bahkan gratis. Negara wajib mengelola layanan kesehatan dengan Paradigma Ri’ayah, bukan Paradigma Bisnis. Negara wajib menyediakan layanan kesehatan dengan sumber dana langsung dari Baitul Mal, bukan dengan Sistem Asuransi seperti yang ada dalam sistem kapitalis. Dalam pandangan Islam haram menyerahkan penguasaan dan pengelolan layanan kesehatan sepenuhnya kepada swasta baik lokal apalagi asing. Ini sesuai dengan sabda Rasul saw., yang artinya: “Pemimpin Negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).
Salah satu tanggung jawab pemimpin negara adalah menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan bagi rakyatnya secara cuma-cuma alias gratis. Dalilnya adalah kebijakan Nabi Muhammad saw.—dalam posisi beliau sebagai kepala negara—yang pernah mengirim dokter gratis untuk mengobati salah satu warganya, yakni Ubay bin Kaab, yang sakit. Diriwayatkan, ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat umum (HR Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan, serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim). Kebijakan ini pun dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Sepeninggal Khulafaur Rasyidin, perhatian Negara Islam pada layanan kesehatan, pengobatan, juga riset kesehatan dan obat-obatan semakin pesat. Misalnya sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermic. Dengan itu dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata. Ada pula Abu al-Qasim azZahrawi. Ia dianggap bapak ilmu bedah modern. Pasalnya, ia menemukan berbagai hal yang dibutuhkan dalam bidang pembedahan, termasuk plester dan 200 alat bedah. Sepanjang sejarahnya Khilafah Islam juga membangun banyak rumah sakit yang berkualitas untuk melayani rakyat secara gratis. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walid (705-715 M) pada era Khilafah Bani Umayah.
Jaminan kesehatan dalam Islam memiliki empat sifat:
Pertama: Universal. Artinya, tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat.
Kedua: Bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan.
Ketiga: Seluruh rakyat bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah.
Keempat: Pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon seperti halnya JKN atau BPJS. Negara menanggung semua biaya pengobatan warganya.
Pemberian jaminan layanan kesehatan oleh negara sepenuhya tentu membutuhkan dana yang sangat besar. Sistem layanan Kesehatan ini mengharuskan pengelolaan APBN sesuai dengan sistem eknomi islam. Sumber utama APBN dalam sistem ekonomi islam berasal dari pengelolaan harta kekayaan umum seperti hasil hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya dan pungutan lain dari masyarakat sesuai dengan syariah seperti kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya.
Semua itu lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai, berkualitas dan gratis untuk seluruh rakyat. Syariah Islam tegas melarang para pejabat negara dan kerabatnya berbisnis ketika mereka menjadi penguasa. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah merampas kambing-kambing harta perniagaan milik putranya, Abdullah, karena digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal. Hewan-hewan itu lalu dijual. Lalu sebagian hasilnya dimasukkan ke Baitul Mal. Khalifah Umar menilai itu sebagai tindakan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Semua itu tentu merupakan tuntunan sekaligus tuntutan syariah Islam. Karena itu penerapan seluruh syariah Islam, termasuk di bidang layanan kesehatan, adalah harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi saw., lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan dan sekaligus menjadi tanggung jawab bagi seluruh umat Islam.
Wallahu a'lam bisshawab.