Oleh Sari Isna
Seolah tak ingin berkesudahan, isu radikal kembali digaungkan. Dengan narasi sama yang mengarah kepada Islam. Tak tanggung-tanggung, isu ini dimunculkan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Beliau mengingatkan TNI dan Polri agar jangan sampai disusupi penceramah radikal dalam kegiatan beragama. Menurut Jokowi jangan sampai dengan mengatasnamakan demokrasi lantas mengundang penceramah radikal. Pernyataan ini Jokowi sampaikan saat menghadiri Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI, Jakarta, Selasa, 1 Maret 2022 yang lalu. Setali tiga uang, tenaga ahli utama kantor stat presiden Ali Mochtar Ngabalin memberikan pembenaran atas pernyataan presiden tersebut. Ngabalin mengatakan peringatan Jokowi sudah tepat. Menurutnya, penetrasi paham-paham radikal diibaratkan penyakit kanker yang sudah masuk pada stadium keempat alias sangat kritis. (suara.com, 06/03/2022).
Pemerintah terus memprovokasi publik agar waspada terhadap kelompok dan tokoh radikal yang dalam hal ini ditujukan kepada para penceramah. Terang saja peringatan ini menyakitkan umat Islam bahkan bisa menimbulkan kesalahpahaman. Jika dianggap radikal, kenapa harus “penceramah” yang dijadikan sasaran sehingga bisa jadi menimbulkan kecurigaan dan framing negatif terhadap para penceramah itu sendiri. Sedangkan kategori seperti apa radikal yang dimaksud presiden juga tidak jelas. Radikal versi siapa? Hal ini akan menyebabkan benturan dan kegaduhan.
Radikal adalah salah satu istilah yang bisa bermakna baik atau buruk. Radikal arti dalam bahasanya adalah secara mendasar, mengakar, dan kuat. Namun makna radikal yang sekarang beralih ke arah negatif bahkan membahayakan. Sedangkan secara agama kita tidak diperintahkan menjadi muslim yang radikal, melainkan menjadi muslim yang bertakwa yang sebenar-benarnya, yakni menjalankan segala yang Allah perintahkan dan menjauhi yang Allah larang. Dan juga kita diwajibkan menjadi seorang muslim yang kaffah (secara keseluruhan). Jika kita berusaha menjadi muslim yang sebenar-benarnya dan menjadi muslim yang kaffah, apakah ini yang dinamakan radikal?
Narasi radikal di tengah problem nyata yang mendera negeri ini mulai dari korupsi, buruknya distribusi kekayaan akibat liberalism ekonomi, semakin naiknya utang negara, kontroversi IKN, kesadisan KKB Papua, sampai masalah kelangkaan minyak goreng yang tak selesai juga; sampai kapanpun akan sulit diterima publik. Jika yang mereka tunjuk radikal adalah kelompok dan tokoh yang kritis terhadap kezaliman dan mengajukan solusi bagi perbaikan kondisi negeri, jelas ini sangat tidak tepat. Sebagai seorang muslim, kita mempunyai kewajiban untuk menyeru manusia ke dalam kebenaran (kepada tuhanmu) dengan hikmah, maknanya dengan hujjah (argumen). Sedangkan argumen yang kokoh dalam Islam yaitu argumen dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Semestinya kita bisa memahami kenapa seseorang bisa saja melakukan kritik terhadap pemerintah. Jadi semua karena kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Harus dipahami juga bahwa itu adalah bentuk kepedulian bahkan bentuk cinta kepada bangsa dan negera. Kritik adalah salah satu bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, bukan dipahami sebagai “anti”, melainkan demi perbaikan negara ini.
Isu radikal yang tidak masuk akal tidak seharusnya digaungkan. Jangan karena dianggap mengganggu stabilitas kedudukan akhirnya memberikan tudingan tanpa dasar. Masih banyak permasalahan negara yang belum terselesaikan, tapi kenapa selalu radikal yang dijadikan kambing hitam. Sampai-sampai pejabat-pejabat bahkan presiden mengangkat masalah ini. Seolah-olah segala permasalahan yang ada di negeri ini karena radikal. Seharusnya energi bangsa dan negara difokuskan pada persoalan konkrit yang ada, bukan mengangkat isu-isu yang tidak ada kejelasannya.
Tags
Opini