Penceramah Radikal, Bagaimana Menyikapinya?

Oleh : Lina Herlina, S.IP
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)


Dilansir suara.com, Minggu, 6 Maret 2022: "Presiden Joko Widodo mengingatkan TNI dan Polri agar jangan sampai disusupi penceramah Radikal dalam kegiatan agama. Mintanya jangan sampai dengan mengatasnamakan demokrasi lantas mengundang penceramah Radikal". Presiden memberikan arahan pula bahwa aktivitas ibu ibu keluarga besar TNI Polri, harus terkoordinir jangan sampai mengundang penceramah Radikal. 


Tidak lama setelah Presiden Jokowi memberikan arahan dihadapan para pejabat militer dan Polri, kemudian munculah 180 daftar nama penceramah Radikal, yang dirilis oleh BNPT, dilengkapi 5 indikator ciri - ciri penceramah radikal yang patut diwaspadai. Hal ini tentu saja menuai polemik di berbagai media dan syarat memancing emosi. Mengapa demikian karena imbas dari beredarnya list nama tersebut, sudah ada penceramah yang dicoret dari tempatnya biasa berceramah, bahkan sempat membuat kegaduhan prasangka dari para jamaahnya.


Setelah ramai dibicarakan di media publik, Rumadi Ahmad (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden) mengatakan: "Tidak tahu dari mana asalnya nama nama tersebut, yang jelas pemerintah tidak pernah menyebutkan soal nama jelasnnya". Pun demikian dengan BNPT, tidak pernah mengklarifikasi dari mana mendapat daftar nama2 tersebut hanya menerbitkan saja, sungguh aneh.
Lalu bagaimana kita menyikapi isu ini?. Kita harus memahami secara cerdas menghadapi berbagai hoax. Pertama haruslah diamati apakah sumber berita ini resmi atau tidak?
Baik pemerintah maupun BNPT yang berstatus sebagai lembaga otoritas tidak bisa memberikan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.


Pemerintah dan jajarannya pasti sudah memiliki definisi jelas mengenai kelompok/ tokoh radikal sebagaimana pengalaman mempelajari bagaimana upaya/ cara kelompok/ tokoh tersebut melakukan penyusupan. Namun yang sampai kepada masyarakat adalah, seolah - olah pemerintah terus memprovokasi agar waspada terhadap kelompok/ tokoh radikal tersebut kepada seluruh rakyat tanpa ada kejelasan di masyarakat tentang definisi" radikal" ini tanpa parameter adil objektif. Bisa saja radikal diartikan, syarat dengan/ dari berbagai kepentingan demi memuluskan kepentingan tertentu. Atau yang mereka tunjuk hanyalah kelompok dan tokoh yang kritis terhadap kezaliman dan bermaksud baik untuk mengajukan solusi bagi perbaikan kondisi negeri. Maka muncul tandingan dari berbagai pendapat tersebut " tudingan pemerintah kepada pihak yang dicap radikal ini karena menggangu kepentingan siapa?


Sebagaimana Ustaz Ismail Yusanto (salah satu tokoh cendekiawan muslim) mengatakan: "kategori radikal itu bukan berdasarkan agama, tetapi soal kepentingan politik". Hasil wawancara live di TVONE, Selasa 8 Maret 2022. Jadi versi ustaz Ismail, radikal itu sejatinya kata yang netral lalu bisa berkonotasi negatif ataupun positif. Itu dipengaruhi oleh adanya kepentingan politik. Akhirnya berbagai narasi muncul.

Masyarakat berhasil merasakan kegaduhan ini. Ketidakjelasan makna radikal itu sendiri seperti apa, masing-masing pihak memiliki versi sendiri, termasuk BNPT sebagai lembaga otoritas pun sangat subjektif tentang batasan definisi tersebut. Akhirnya menciptakan stigma di masyarakat " hati hati jangan mengundang penceramah ini, berbahaya! Nama - nama yang beredar viral tersebut, hingga hari ini belum ada klarifikasi. Apakah ada statement tegas bahwa ke 180 nama tersebut benar benar radikal atau kalaupun tidak radikal tidak ada upaya membersihkan nama baik yang sudah tercemar.


Sekali lagi bagaimana kita menyikapi isu ini. Kita harus pahami pembelahan umat Islam masih terus berlangsung. Dengan adanya narasi ini keamanan rakyat dibuat gaduh. Sudah dibahas di media-media dari berbagai ahli bahwa daftar ilegal yang beredar ini dan tidak jelasnya kriteria ukuran yang dirilis BNPT, seharusnya distop terlebih dahulu, dicegah jangan sampai dikonsumsi masyarakat. Mengapa demikian karena dapat menimbulkan polemik perpecahan di masyarakat. Terjadi polarisasi dan pengkotak-kotakan penceramah, kenapa hanya dibawa ke ranah penceramah saja, sedangkan tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab atas hal ini. 


Dalam sistem aturan Islam, negara wajib hadir berperan. Negara tabayyun melakukan konfromi bersama orang orang yang berkepentingan, rekonsiliasi seluruh tokoh bangsa agama dan masyarakat dengan itikad baik menyelesaikan, bersikap sebagai negara berdaulat. Dalam sistem Islam dengan kekuatan aqidah Islam sebagai pondasi tidak mungkin terjadi radikalisasi penceramah yang ada hanya memuliakan penceramah.Merekalah penopang utama yang melakukan amar makruf nahi mungkar. Ini hanya dapat terwujud dalam bingkai negara yang menerapkan syariah khilafah.

Wallahu a'lam bisshowab.

Bogor, 12 Maret 2022

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak