Oleh: Hamnah B. Lin
Pemilu tahun 2024 masih dua tahun lagi, namun wacana penundaan pelaksanaanya sudah santer terdengar.
Sejumlah petinggi partai politik mengaku mengusulkan Pemilu 2024 ditunda atas arahan dari seorang menteri koordinator di Kabinet Indonesia Maju. Menurut sumber CNN Indonesia 2/3/2022, empat pejabat teras Partai Amanat Nasional (PAN) datang ke rumah dinas Zulkifli Hasan di kompleks Widya Chandra, Jakarta pada 13 Februari lalu. Mereka diundang untuk membicarakan topik yang sangat serius: penundaan pemilu 2024 atas arahan seorang menteri koordinator di Kabinet Indonesia Maju.
Zulhas mengaku diundang Luhut khusus membicarakan usulan penundaan pemilu dan pilpres 2024. PAN diminta untuk mendukung dan harus disampaikan ke publik oleh ketua umum dalam Rapat Koordinasi Nasional Pemenangan Pemilu PAN yang digelar 15 Februari lalu. Luhut mengklaim Presiden Jokowi sudah setuju.
Mereka berpandangan perlunya wacana penundaan pemilu 2024 dengan tujuan agar momentum perbaikan ekonomi tidak terjadi stagnasi. Mereka menyatakan itu adalah aspirasi rakyat karena perekonomian belum stabil akibat covid-19. Mereka menilai pemerintah harus lebih konsentrasi untuk memulihkan kondisi perekonomian.
Namun, banyak juga pihak yang mengingatkan untuk berhati-hati terhadap wacana penundaan ini. Salah satunya tanggapan dari Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ia menegaskan bahwa usulan itu tidak logis karena bertentangan dengan konstitusi. Lebih lanjut, AHY menilai ada segelintir orang yang ingin melanggengkan atau takut kehilangan kekuasaan (CNN Indonesia, 27/2/2022).
Sementara, pakar hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, dari pernyataan petinggi partai yang menyampaikan upaya-upaya perpanjangan masa jabatan ini adalah pelanggaran konstitusi yang bisa mengarah ke sistem monarki (26/2/2022).
Peringatan juga datang dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia mengatakan, penundaan pemilu dari waktu yang ditentukan akan melanggar konstitusi dan sangat rawan memicu konflik (www.Tempo.com, 4/3/2022).
Rasanya sulit dipercaya, bahwa alasan penundaan pemilu adalah untuk perbaikan ekonomi bangsa. Karena watak penguasa kapitalis adalah menjaga keberadaannya agar tetap bisa berkuasa demi meraup sebanyak-banyaknya kekayaan. Penguasa kapitalis akan melakukan segala cara bahkan sampai melanggar konstitusi, demi terwujud ambisinya.
Pemilu yang ditopang oleh sistem demokrasi saat ini hanya akan melahirkan pemimpin yang tidak amanah. Dapat dipastikan, pejabat yang lahir dari sistem pemilu demokrasi ini tidak akan pernah terpikir untuk melayani umat, kecuali hanya sedikit yang itu pun hanya untuk politik pencitraan.
Salah satu alasan wacana penundaan Pemilu 2024 adalah agar fokus memperbaiki ekonomi Indonesia dinilai para pengamat, bukanlah demi maslahat publik, melainkan demi memperpanjang masa jabatan yang menguntungkan mereka. Selain itu, juga untuk menambah waktu menyiapkan diri dalam kontestasi meraih kursi kekuasaan berikutnya.
Di sisi lain, tim oposisi menolak tegas wacana tersebut karena mereka tidak ingin kehilangan kesempatan meraih kursi saat elektabilitas sedang tinggi.
Nyata terlihat bahwa penundaan pemilu adalah untuk kepentingan penguasa yang sedang berkuasa, bukan untuk kepentingan masyarakat.
Sungguh sangat berbeda dalam Islam, Islam mengharuskan politik sebagai jalan untuk melayani kepentingan publik. Sebab, politik dalam Islam bermakna mengurusi urusan umat. Sementara, pemilu hanyalah cara alternatif untuk memilih kepala negara, bukan metode baku pengangkatan kepala negara.
Ibnu Qatadah pernah mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahumullah, “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan, dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang, dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam, tiangnya adalah kekuasaan, tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.” (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 1, hlm. 54).
Kekuasaan memang ditujukan untuk menegakkan Islam dan memberikan kemaslahatan kepada siapa saja yang bernaung di bawahnya. Kekuasaan bukanlah perkara yang harus diperebutkan ataupun menjadi ajang untuk meraup keuntungan dan kepentingan tertentu seperti yang terjadi dalam demokrasi.
Tugas penguasa ialah menjamin segala urusan rakyatnya, bukan sibuk memperpanjang masa jabatan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Ingatlah, Rasulullah saw. mengancam penguasa yang tidak bersungguh-sungguh mengurusi rakyat. “Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslim kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali ia tidak akan masuk surga bersama mereka.” (HR Muslim)
Kepala negara yang sedang menjabat benar-benar fokus mengurusi urusan rakyat. Apalagi ketika terjadi pandemi seperti sekarang. Jika kepala negara tidak mampu mengurus rakyatnya, harus diganti. Asalkan alasan penggantian pemimpin dibenarkan syariat.
Proses pemilihan berlangsung sangat singkat maksimal 3 hari. Setelah itu, pemimpin terpilih akan langsung menjalankan tanggung jawabnya mengurusi kemaslahatan rakyat dan menyelesaikan wabah jika terjadi. Sebab, Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah 3 hari. Dalilnya adalah ijma’ sahabat pada pembaiatan Abu Bakar yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah.
Inilah yang menjadikan pemilu di dalam kepemimpinan Islam mampu menghasilkan pemimpin berkualitas. Pemimpin yang akan menerapkan aturan Allah dan akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Masyarakat terjaga kesejahteraannya hingga merasa nyaman hidup dalam naungan Islam yakni dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam bisshawab.