Pembajakan Opini dalam Kasus Larangan Hijab di India




Oleh : Fahmiyah Tsaqofah Islamiy
(Anggota Divisi Empowering Muslimah, Institut Muslimah Negarawan)


Semenjak isu pelarangan hijab di India menjadi topik hangat di dunia, bukan hanya kecaman aktivis muslim terhadap kebijakan India yang ramai terpajang di berbagai media, bahkan aktivis pro moderasi dan kehidupan sekuleristik pun turut bersuara. 

Bukan untuk mengkritisi islamophobia yang tengah menjangkiti negara anak benua itu, namun lebih kepada upaya menghangatkan kembali isu intoleransi yang sejalan dengan proyek moderasi beragama di negeri bumi pertiwi.

Kasus yang hampir memiliki kesamaan dengan sebab lahirnya SKB 3 menteri tentang Seragam Sekolah di Indonesia –dilihat dari latar dan rentetan opini yang dikembangkan pasca kasus, walau agak berbeda dari segi korban– ini dinilai oleh pihak pro sekuler sebagai bentuk intoleransi tirani mayoritas. Mereka mengaitkan dengan kebijakan SKB tiga menteri yang lahir karena isu pemakaian hijab oleh siswi non muslim di SMKN 2 Padang setahun lalu, walau sebenarnya telah jelas tak ada paksaan dalam pemakaiannya bagi non muslim dengan dibuktikan dari penjelasan stakeholder setempat maupun oleh pengakuan pelajar non muslim yang mengenakan hijab selama di lingkungan pendidikan. 

Namun, isu ini di-framing hingga seolah tampak negatif, baik pada saat kasus itu terjadi hingga pasca pencabutan SKB ini dimana sebagian dari kalangan minoritas gelisah dan meminta pemerintah menerbitkan instrumen hukum lain. 

Tak pelak, mungkin dikarenakan adanya salah seorang tokoh masyarakat muslim yang berkomentar tentang isu ini menyampaikan agar jangan sampai pendidikan generasi muslim dikorbankan hanya untuk melayani minoritas, di saat yang bersamaan, berbagai media ramai menyampaikan pandangan tokoh HAM maupun HRW yang prihatin dengan aturan pemakaian hijab dan menilainya sebagai aturan diskriminatif dan intoleran, isu ini seolah membuka angin segar pihak yang pro ide sekuler untuk mengopinikan apa yang so called toleransi. 

Hasilnya, kita menyaksikan pasca kasus tersebut opini moderasi beragama deras digulirkan, tujuannya bisa dibaca, building moderate muslims network sebagaimana rancangan RAND Corporation, lembaga think tank kebijakan global Amerika Serikat. Sebuah agenda membentuk muslim moderat yang dibalut nuansa lokal khas nusantara dengan tajuk demi menjaga kebhinekaan.

Walau sudah jamak diketahui bahwa pakaian muslimah yang diwajibkan dalam Islam adalah hijab yang menutup aurat dengan berbagai kriteria khusus seperti yang diatur di dalam syariat, namun kewajiban berhijab bagi muslimah ini seolah tak menemukan ruang implementasi sesungguhnya dalam sistem sosial yang condong pada kebebasan seperti dalam demokrasi hari ini, apalagi diperparah dengan opini islamophobia yang tak kunjung berhenti. 

Apa yang terjadi pada para muslimah India berupa larangan hijab oleh kalangan Hindu radikal sesungguhnya adalah bagian dari rangkaian gelombang islamophobia di India yang memunculkan intoleransi. Parahnya, hal ini mendapat dukungan politik dari partai pimpinan rezim yang berkuasa, Narendra Modi. 

Bagi kalangan pro sekuler, kasus ini dimainkan di teater opini nusantara untuk menggambarkan betapa kaum minoritas perlu mendapat tempat untuk dihargai dan dirangkul, khususnya dalam hal ini kalangan minoritas di Indonesia. 

Mereka seolah buta literasi tentang bagaimana syariat agama mayoritas di Indonesia (baca: Islam) sesungguhnya memiliki konsep toleransi yang begitu komprehensif dan terbukti menciptakan suasana keberagaman yang diwarnai kedamaian selama berabad-abad lamanya.

Hari ini isu intoleransi sengaja ‘digoreng’ sebab syariat Islam dilihat dengan perspektif sekuleristik, yang dilegitimasi oleh sistem politik yang berlaku. Padahal hakikatnya adanya hijab dan aturan menutup aurat merupakan cara Islam memuliakan perempuan.

Itulah sebabnya dalam rentang sejarah keemasan peradaban Islam dahulu, para wanita non muslim juga turut menutup aurat dalam kehidupan publik mereka sebagaimana wanita muslimah, itu semua mereka kenakan tanpa paksaan dan dengan suka rela.

Itulah mengapa, dari kasus ini kita belajar, bahwa tak akan pernah kita temukan ruang jaminan penerapan Islam rahmatan lil 'alamin yang seutuhnya, baik dalam lingkup individu maupun masyarakat jika sistem demokrasi sekuler masih eksis diterapkan. 

Malahan, sistem ini melahirkan legitimasi diskriminasi terhadap kaum muslimin sekaligus upaya distorsi maupun penggambaran syariat Islam dengan wajah yang buruk, demi menghapuskan cita-cita formalisasi syariat Islam dalam kehidupan sosial hingga bernegara. WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. 

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak