Oleh : Dahlia
Kelangkaan minyak goreng yang seolah menghilang di pasaran menjadi persoalan di masyarakat belakangan ini. Kelangkaan minyak goreng ini sangat dirasakan oleh masyarakat, khususnya ibu rumah tangga.
Perburuan mendapatkan minyak goreng untuk kebutuhan harian rumah tangga membuat warga putus asa. Saking sulitnya, membuat seorang ibu menangis meminta dicarikan minyak goreng.
Roberta (52) warga Bojong Sempu, Parung, Bogor, mengaku lelah lantaran tak kunjung mendapatkan minyak goreng meski telah berkeliling dari satu minimarket ke minimarket lainnya. Sedari pagi perburuan minyak goreng ia lakukan namun pahit harus ditelan, pulang dengan tangan kosong.
Stok minyak goreng sebenarnya tersedia di warung sekitar rumah Roberta. Namun, warung tersebut mematok harga yang tinggi jauh dari ketetapan pemerintah.
Sebentar lagi kita memasuki bulan Ramadan. Potensi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sangat besar. Sepertinya sudah menjadi tradisi. Maka ketersediaan barang menjadi sangat krusial. Dalam konteks ini, hukum ekonomi bakal berlaku.
Saat kelangkaan barang, selalu muncul spekulan bermental jahat.
Ombudsman RI (ORI) menyebutkan ada tiga faktor yang menyebabkan minyak goreng langka dan mahal di pasaran, yaitu penimbunan, pengalihan penjualan minyak goreng dari ritel modern ke pasar tradisional agar harganya lebih mahal, dan panic buying oleh masyarakat.
Terkait penimbunan, terdapat banyak temuan yang mencengangkan. Seperti yang terjadi di Sumatera Utara, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan pasokan minyak goreng surplus hingga 33 juta liter. Namun, minyak goreng tetap langka dan mahal, diduga karena penimbunan.
Benar saja, kepolisian menemukan penimbunan 1,1 juta liter lebih minyak goreng di gudang di Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara. Pemiliknya adalah adalah PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), anak usaha PT Indofood Sukses Makmur Tbk.
Dugaan penimbunan minyak goreng terjadi merata. Satgas Pangan Polri telah mengungkap dugaan penimbunan minyak goreng oleh pelaku usaha di berbagai wilayah.
Ditambah adanya praktik kartel minyak goreng. Perusahaan bermaksud memengaruhi harga minyak goreng dengan menahan pasokan ke pasar. Perusahaan sengaja memanfaatkan kenaikan harga CPO untuk mengerek harga minyak goreng demi meraup cuan berlipat-lipat.
Dan pada tata kelola minyak goreng pada aspek distribusi di Indonesia ternyata dikuasai oleh segelintir konglomerat pengusaha.
KPPU mencatat, berdasarkan data Concentration Ratio (CR), 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia dikuasai oleh empat konglomerat. Mereka adalah Anthony Salim, Sukanto Tanoto, Martua Sitorus, dan Bachtiar Karim. (tempo.co, 28/1/2022).
Akibat penguasaan minyak goreng dari hulu hingga hilir, pengusaha leluasa mengatur harga minyak goreng. Inilah potret hubungan penguasa dan pengusaha dalam sistem kapitalisme, pengusaha mampu mengatur kebijakan negara, sementara penguasa tidak bisa berbuat apa-apa.
Lalu Bagaimana Islam Mengatur?
Keruwetan tata kelola minyak goreng ini berpangkal pada sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan. Pengusaha menentukan kebijakan negara demi keuntungannya.
Hal yang demikian tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Praktik penimbunan mungkin ada dalam Khilafah, sebagaimana dulu pada masa Rasulullah juga terjadi penimbunan. Namun, Khilafah mengatur ekonomi sesuai dengan syariat Islam, sedangkan penimbunan merupakan praktik terlarang dalam Islam.
Adapun untuk mengatasi melonjaknya harga adalah dengan menambah pasokan, jika perlu dengan mendatangkan barang dari wilayah lain.
Islam juga melarang praktik permainan harga oleh kartel yaitu menjual barang di luar harga pasar sehingga mampu mengendalikan harga. Ini adalah praktik yang diharamkan.
Selain aspek distribusi ini, Khilafah juga akan mengatur aspek hulu, yaitu perkebunan kelapa sawit. Mulai dari aturan penguasaan lahan, prioritas produksi untuk kebutuhan dalam negeri, mencegah monopoli dan oligopoli, tidak tunduk pada ketentuan internasional yang merugikan rakyat, dan lain-lain.
Tampak nyata bahwa tata kelola minyak goreng ini bukan semata kegagalan Kemendag atau pemerintah, tetapi juga kegagalan sistem kapitalisme dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat, yaitu pangan.
Sudah saatnya sistem gagal ini ambruk dan diganti dengan sistem Islam yang memiliki solusi efektif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan mewujudkan kesejahteraan.
Wallahu'alam.