Minyak Goreng Langka, Ada Apa?




Oleh Ummu Syifa


Minyak goreng, sudah beberapa bulan ini menjadi barang langka bahkan seolah-seolah lenyap dipermukaan. Yang tadinya merupakan barang yang murah dan bisa dengan mudah ditemukan, namun saat ini keberadaanya sangat sulit terdeteksi. Ada apa gerangan dengan minyak goreng yang saat ini menjadi barang langka?

Artikel Banjarmasinbpost juga menyebutkan kelangkaan minyak goreng saat ini ”Minyak goreng di Kalsel sudah menjadi barang yang langka. Di pasar tradisional hingga retail modern juga selalu habis. Nurul, warga di Loktabat mengaku sulit dan selalu habis jika mau belanja ke indomaret. "Pasti habis terus," cetusnya. Bukan hanya di Banjarbaru, menurut Saleh penjual minyak goreng di pasar lima Banjarmasin mengaku sulit mencari minyak goreng ini stoknya. " Sales nya kadang ada bawa barang, kadang tidak ada. Kalau Bawa paling 3 dus. Jadi memang langsung habis dibeli warga. Jadi makin tak lancar pengiriman, " jelas Saleh. “ (Senin, 28 Februari 2022).” Minyak goreng langka di lumbung peghasil sawit terbesar di Asia Tenggara sungguh sesuatu yang membingungkan bahkan aneh.

Hampir semua pemerintah provinsi di Indonesia memberlakukan operasi pasar murah. Mereka bekerja sama dengan pihak swasta, terutama perusahaan atau distributor minyak goreng untuk menggelar operasi ini. Harga jual rerata Rp14.000 per liter. Per orang dibatasi membeli dua liter saja. Memang benar, bagi masyarakat menengah ke bawah, opsi pasar murah layaknya oase di tengah gurun. Keberadaannya sangat dibutuhkan sehingga tidak heran jika masyarakat sangat antusias terhadap kemunculan pasar murah ini.

Namun, yang perlu digarisbawahi, jika memang pemerintah serius mengurusi hajat hidup orang banyak, pasar murah ini seharusnya tidak hanya ada ketika bahan pokok berada di titik kritis saja. Sebab, kebutuhan pokok itu bersifat konsisten dan jangka panjang, akan terus dibutuhkan demi kelangsungan hidup manusia. Bukankah menjadi salah satu tugas penguasa mengurusi urusan rakyatnya dengan sebaik-baiknya, termasuk menyediakan kebutuhan pokok masyarakat dengan harga terjangkau/murah?

Kenaikan harga minyak goreng perlu mendapat perhatian dan fokus utama dalam agenda kerja pemerintah. Sebab, ini berhubungan dengan hajat hidup masyarakat. Tidak ada jaminan operasi pasar murah bisa menekan laju harga dan mencukupi kebutuhan minyak goreng warga. Kenaikan harga yang terus berulang menunjukkan ada kekeliruan pengurusan oleh penguasa.

Dari sini, muatan kapitalisme bisa tercium. Betapa tidak, pemerintah menggandeng pihak ketiga, yakni korporasi dalam menggelar operasi pasar murah minyak goreng. Alih-alih membantu menaikkan daya beli masyarakat, pemerintah malah menguntungkan para korporasi. Masyarakat pun seyogianya menyadari bahwa masalah lonjakan harga bersumber dari lemahnya fungsi riayah negara akibat paradigma kapitalisme neoliberal.

Lagi-lagi kapitaisme lah yang menjadi biang keroknya. Bagaimana tidak? Momen kelangkaan ini akhirnya banyak dimafaatkan oleh para koorporasi dengan meniscayakan penguasaan pasar oleh sekelompok kecil pemilik modal besar. Alhasil, mereka akan mengendalikan harga sesuai kepentingannya. Negara tak bisa mengendalikan mereka. Para pengusaha berdalih mahalnya harga minyak goreng dipicu naiknya harga CPO dunia. Padahal Indonesia adalah negeri penghasil minyak kelapa sawit nomor 1 di dunia, tapi kenapa rakyatnya kesulitan memperoleh minyak goreng?

Menelisik kenaikan harga minyak goreng yang tidak wajar, patut kita duga ada praktik kartel di dalamnya, yakni kongkalikong antara pengusaha dan produsen minyak kelapa sawit. Pasalnya, agak ganjil jika Indonesia dengan gelar produsen CPO (crude palm oil/minyak kelapa sawit) terbesar di dunia menyediakan minyak goreng dengan harga mahal kepada masyarakatnya dalam sebulanan ini. Momentum Natal dan Tahun Baru sudah berlalu, tetapi harga minyak goreng masih mengalami melonjak.

Dugaan kuat adanya praktik kartel tersebut dilatarbelakangi oleh tiga hal. Pertama, produsen minyak goreng kompak menaikkan harga dengan alasan CPO internasional tengah tinggi. Padahal, biaya produksi kelapa sawit tidak ada kenaikan. Komisioner KPPU Ukay Karyadi membenarkan dugaan ini. (detik.com, 21/1/2022).

Kedua, terintegrasinya produsen CPO yang juga memiliki pabrik minyak goreng. Mereka bertindak sebagai produsen minyak kelapa sawit sekaligus produsen minyak goreng. Artinya, jika CPO milik sendiri, harga minyak goreng tidak akan naik secara bersama-sama. Adapun alasan kenaikan harga CPO internasional memang masuk akal, tetapi kalau kebunnya milik sendiri, pabrik minyak gorengnya pun akan turut mendulang keuntungan. Tidak bisa kita mungkiri bahwa sinyal kartel ini terdorong oleh sebaran industri CPO maupun pabrik minyak goreng di Indonesia yang tidak merata, kebanyakan berada di Jawa. Industri oligopoli ini meniscayakan sebaran industrinya sedikit, tetapi pangsa pasarnya sangat luas.

Ketiga, produsen CPO cenderung mementingkan ekspor karena harga minyak yang sedang tinggi. Tampaknya, pernyataan bahwa produsen dalam negeri mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku saat CPO internasional tinggi tidak sepenuhnya bisa dipercaya. Sebab, ada beberapa produsen minyak goreng yang masih satu kubu dengan perusahaan yang memiliki perkebunan kelapa sawit. Itulah yang mendorong para pengusaha tersebut cenderung mengutamakan ekspor ketika harga CPO internasional sedang bagus seperti sekarang, mengingat hal itu dapat meningkatkan keuntungan mereka.

Dari sini lah kita melihat, ketika peraturan tidak diserahkan kepada alhinya, maka akan selalu muncul kedzoliman terhadap masyarakat. Kebijakan distribusi minyak goring saja sudah sangat terlihat sekali dzolimnya.
Islam punya seperangkat aturan terkait dengan kepemilikan harta untuk individu, masyarakat umum dan negara. Islam juga punya sanksi hukum terkait dengan para pedagang yang curang dan menipu pada para pembelinya.

Bahkan dalam hal menstabilkan harga dalam Islam, Rasul menolak adanya intervensi pasar atau pematokan harga oleh pemerintah. Meski begitu, harga yang terbentuk oleh pasar mengharuskan adanya prinsip moralitas (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparency) dan keadilan (justice).
Untuk menjaga stabilitas harga di pasaran dapat menempuh dua cara. Pertama, menghilangkan mekanisme pasar yang tidak sesuai syariat, seperti penimbunan, intervensi harga, dan sebagainya. Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah saw. melarang penimbunan makanan.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Jika pedagang, importir, atau siapa pun yang menimbun, ia akan dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, pelakunya bisa mendapat sanksi tambahan sesuai kebijakan pemerintah dengan mempertimbangkan dampak dari kejahatan ia lakukan.

Kedua, Islam tidak membenarkan adanya intervensi atau pematokan harga. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslim untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak.” (HR Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).
Beda dengan sistem kapitalis yang ikut campur dalam penetuan harga, namun tidak memberikan solusi tuntas dalam menghadapinya. Karena itulah kita perlu islam sebagai agama sekaligus peraturan untuk menyelesaikan semua masalah yang terjadi saat ini. Wallahu’allam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak