Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Sikap seseorang dipengaruhi oleh apa yang dipahami. Ketika seseorang meyakini bahwa yang dihadapi akan membawa kebaikan, tentulah akan bergembira. Tetapi sebaliknya, kalau orang itu meyakini yang dihadapi akan membawa mudarat atau merugikan, tentu bersedih. Maka, bagaimana seorang muslim melihat kedatangan bulan ramadhan, itulah yang akan terwujud dalam sikapnya. Tentu saja disini tidak hanya tentang keyakinan atau aqidah seseorang. Tapi juga didukung oleh pengetahuan dan pemahaman Islamnya.
Di dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang mencantumkan untung dan rugi yang terkait dengan akhirat. Orang yang merugi adalah yang merugikan diri mereka, keluarga mereka, dan di hari kiamat. Misalnya, ketika seseorang ditawari harta yang melimpah untuk keluar dari Islam dan ia mau, maka meskipun ia memperoleh harta yang banyak, ia menjadi orang merugi. Demikian pula dalam hal ibadah, seperti meninggalkan ibadah untuk keuntungan materi, maka merugi.
Karenanya, ketika seseorang sudah berperspektif akhirat yang yakin dengan hari pembalasan dan memikirkan keuntungan pahala yang akan didapatkannya di syahrul mubarak ini, maka ia sudah pasti bergembira. “Mengapa demikian? Karena Ramadan itu luar biasa. Di bulan tersebut, diwajibkan puasa sehingga di sepanjang waktu akan terus berpahala. Doa orang yang berpuasa akan dikabulkan, meskipun tidak saat itu juga. Puasa juga akan mendapatkan balasan langsung dari Allah yang tidak terhingga. Ibadah sunah atau nafilah, pahalanya dinaikkan seperti ibadah wajib. Sedangkan, pahala ibadah wajib, dinaikkan juga berkali lipat.
Sementara itu, untuk menumbuhkan motivasi dan semangat melakukan ibadah selama ramadhan, adalah dengan mengingat janji Allah. Seperti firman Allah dalam Ali Imran ayat 133 yang menyatakan “bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”. Maka ramadhan adalah waktu terbaik untuk meminta ampun kepada Allah. Sehingga kalau mau bersemangat, bayangkan surga-Nya, bayangkan pahalanya. Hal itu juga yang membuat para sahabat bersemangat, contohnya dalam berjihad yang dijanjikan surga. Terlebih berjihad di bulan Ramadan. Begitu pula keluarga Yasir yang diminta bersabar menghadapi siksaan sedemikian rupa karena akan mendapat surga, maka mereka pun menjawab kami akan bersabar karena surga itu sudah tampak di depan mata. Memang, jelasnya, di bulan Ramadan tubuh akan lebih lemas, tetapi ada semangat lain dari kemauan yang dilandasi keyakinan atas pahala, rida Allah, dan surga.
Selanjutnya, yang tak kalah berpengaruh adalah kondisi masyarakat dan negara. Jika ketaqwaan masyarakat juga terbangun, dan negara pun memfasilitasi segala bentuk ibadah selama ramadhan, tentu rasa gembira itu akan semakin mebuncah. Apalagi, ketakwaan itu tidak bisa hanya sekadar dorongan individu atau internal, melainkan perlu dorongan eksternal. Dorongan eksternal paling kuat adalah negara. Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan kerusakan rakyat adalah akibat kerusakan penguasa—yang menerapkan aturan atau sistem. Kemudian kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama yang cinta harta dan kedudukan. Maka disinilah pentingnya kita menambah pemahaman tentang Islam, da kemudian mengajak masyarakat secara umum untuk melakukan hal yang sama dengan kita, dan tak terkecuali kita berharap negara mau menerapkan seluruh hukum syari’at Islam yang akan membawa ketenangan tidak hanya pada muslim, tapi juga non muslim.
Wallahu a’lam bi ash showab.