Oleh: Hamnah B. Lin
Direktur Lembaga Pemilu dan Demokrasi PB PMII, Yayan Hidayat menyatakan wacana perpanjangan masa jabatan presiden merupakan hal aneh. Hal itu ia sampaikan merespons usulan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin agar Pemilu dan Pilpres 2024 ditunda dengan alasan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Yayan menilai, dalih pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 sebagai alasan perpanjangan masa jabatan presiden tak dapat dibenarkan. Ia lantas membandingkan dengan seluruh negara di dunia yang juga tengah mengalami pandemi Covid-19. Menurutnya, tak ada satupun negara yang menggunakan pandemi untuk mengubah konstitusi (CNNIndonesia, 24/2/2022).
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden kian santer suaranya. Beberapa partai politik pun mendukungnya. Dengan daih karena membutuhkan biaya yang besar, sedangkan negara belum pulih ekonominya, maka penundaan ini wajar dilakukan. Belakangan ada dugaan bahwa pemunduran jadwal Pemilu digagas justru oleh salah seorang menteri koordinator, yakni Luhut Binsar Pandjaitan.
Sikap Presiden Jokowi sendiri, yang semula menentang keras wacana perpanjangan masa jabatan presiden, mulai melunak. Kepada wartawan ia berkata, “Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi."
Nikmat dunia berupa kekuasaan memang nyata banyak dicintai banyak manusia. Karena dengan berkuasa, seseorang akan bisa melakukan apapun sesuai keinginan dan kepentingannya. Apalagi dalam sistem politik demokrasi yang diterapkan oleh negeri ini, tipu daya dan kebohongan sering menghiasinya. Mulai dari pemungutan suara, perhitungan suara hingga pengumuman sang pemenang, penuh intrik dan manipulatif.
Maka Islam mengingatkan kaum Muslim akan bahaya hubb ar-ri’âsah (cinta kekuasaan). Apalagi jika kekuasaan itu ternyata dicapai dengan jalan manipulasi dan untuk kepentingan segelintir orang saja.
Di antara bahaya tersebut adalah: Pertama, mendatangkan kerusakan pada agama para pelakunya. Nabi saw. bersabda: "Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor domba tidak lebih parah kerusakannya bagi domba itu dibandingkan dengan ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan dalam merusak agamanya "(HR at-Tirmidzi).
Ibnu Rajab menjelaskan, “Nabi saw. mengabarkan bahwa ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan bisa merusak agamanya dan tidak lebih kecil dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan dua serigala lapar terhadap kawanan domba. Bahkan bisa jadi setara atau lebih banyak lagi. Ini mengisyaratkan bahwa tidak akan selamat agama seseorang jika dia tamak terhadap harta dan kedudukan dunia, kecuali sangat sedikit (yang bisa selamat darinya). Sebagaimana pula halnya seekor domba tidak akan selamat dari keberingasan dua ekor serigala yang sedang lapar, kecuali sangat sedikit sekali.”
Apa yang disampaikan Ibnu Rajab ini patut direnungi. Tidak sedikit kasus, karena jabatan dan kekuasaan, orang menghalalkan segala cara; melakukan politik uang, mengiming-iming jabatan kepada pendukungnya; membangun pencitraan sebagai ahli ibadah, peduli rakyat, dsb. Padahal semua demi memuluskan jabatan dan kekuasaan.
Kedua, para pemburu kekuasaan itu tidak sadar bahwa jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang menyusahkan di dunia dan bisa mendatangkan siksa bagi para pemikulnya pada Hari Akhir. Nabi saw. bersabda: "Kepemimpinan itu awalnya cacian, kedua penyesalan dan ketiga azab dari Allah pada Hari Kiamat nanti; kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil" (HR ath-Thabarani).
Rasulullah saw. mengingatkan dalam hadis di atas bahwa hanya para pemimpin yang punya sifat kasih sayang kepada rakyat dan adil yang akan selamat di Pengadilan Allah. Dengan kasih sayangnya seorang pemimpin akan memudahkan urusan rakyat, menggembirakan mereka dan tidak menakut-nakuti mereka dengan kekuatan aparat dan hukum. Sikap adil pemimpin ditunjukkan dengan menegakkan syariah Islam di tengah umat. Sebabnya, tidak ada keadilan tanpa penerapan dan penegakan syariah Islam. Hukum buatan manusia terbukti sering tumpul kepada kaum kaya dan penguasa, tetapi tajam kepada rakyat jelata. Koruptor triliunan rupiah sering dihukum ringan. Sebaliknya, rakyat yang mencuri makanan karena kelaparan seketika dihukum tanpa pertimbangan.
Ketiga, Nabi saw. mengancam dan mendoakan para pemangku jabatan dan kekuasaan yang menipu dan menyusahkan rakyat. Beliau bersabda: "Tidaklah seorang hamba—yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat—mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan bagi dirinya surga" (HR al-Bukhari).
Bahkan Nabi saw. mendoakan para pemimpin yang tidak amanah, yang menyusahkan umat, dengan doa yang buruk untuk mereka: "Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lantas dia membuat mereka susah, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lantas dia mengasihi mereka, maka kasihilah dia" (HR Muslim).
Dalam Islam kekuasaan itu dibutuhkan demi kemaslahatan agama dan umat. Ini sebagaimana permintaan Rasul saw. kepada Allah SWT yang artinya, "Berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (TQS al-Isra’ [17]: 80).
Qatadah, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, menyatakan, “Nabi saw. amat menyadari bahwa beliau tidak memiliki daya untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau meminta kekuasaan agar bisa menolong Kitabullah, menegakkan hudûd Allah, menjalankan berbagai kefardhuan Allah dan menegakkan agama Allah.” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, hlm. 1134).
Pentingnya kekuasaan juga ditegaskan oleh para ulama. Imam al-Ghazali menyatakan, “Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 199).
Kekuasaan dalam Islam terwujud hanya dalam bentuk pemerintahan Imamah/Khilafah yang menerapkan syariah Islam, bukan dalam wujud negara demokrasi atau kerajaan. Karena itulah sepeninggal Nabi saw. para Sahabat bersegera mengangkat khalifah untuk mengurus maslahat kaum Muslim. Lalu dipilih dan diangkatlah Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama bagi umat.
Kekuasaan yang disyariatkan Islam bertujuan:
Pertama, mengatur urusan dunia kaum Muslim dan seluruh warga negara dengan syariah Islam; seperti menjamin kebutuhan hidup mereka, menyelenggarakan pendidikan yang terbaik dan terjangkau, menyediakan fasilitas kesehatan yang layak dan cuma-cuma untuk semua warga tanpa memandang kelas ekonomi.
Dengan kekuasaan, Khalifah akan mengelola sumber daya alam agar bermanfaat bagi segenap warga, tidak dikuasai swasta apalagi jatuh dikuasai asing, seperti tambang migas, batubara, mineral, dll. Khilafah juga akan mencegah pasokan listrik dicengkram swasta seperti yang sekarang terjadi. Menurut catatan mantan Ketua Serikat Pekerja PLN, Ahmad Daryoko, hari ini aset PLN daerah Jawa-Bali 85% telah dikuasai swasta, termasuk dikuasai perusahaan milik pejabat negara.
Kedua, kekuasaan juga dibutuhkan untuk menjaga dan melaksanakan urusan agama seperti melaksanakan hudûd untuk melindungi kehormatan, harta dan jiwa masyarakat. Khalifah bersama aparat keamanan dan para hakim akan menjaga perdagangan di tengah masyarakat agar terhindar dari kecurangan, juga mencegah muamalah ribawi.
Dengan kekuasaan pula, Islam akan disebarkan ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad. Dengan itu tidak ada satu pun negeri yang tidak mengenal Islam, dan tidak diterapkan syariah Islam.
Oleh karena itu, khilafah adalah kebutuhan mendasar untuk bisa menjaga agama dan pemenuhan ri'ayah terhadap seluruh umat manusia, muslim maupun non muslim. Jadikan diri umtuk bisa berkontribusi mewujudkannya.
Wallahu a'lam biasshawab.