Membincang Keilmiahan Cara Kerja “Pawang Hujan”



Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga

Aksi Rara sang pawang hujan dalam ajang MotoGP 2022 di Sirkuit Mandalika, terus menjadi topik yang hangat di berbagai media. Ada yang menganggap aksi Rara tidak berarti bahkan dinyatakan syirik, tetapi ada yang menanggapi bahwa aksi Rara adalah hal luar biasa. Salah satu yang menyatakan pembelaan kepada pawang Rara adalah Kemendikbud. 

Pernyataan Kemdikbud itu bisa kita lihat dalam postingan di akun resmi Instagram @kemdikbud.ri, yang menyebutkan bahwa pawang hujan bekerja menggunakan gelombang otak Teta untuk 'berkomunikasi' dengan semesta ketika sedang melaksanakan tugasnya.

Komentar Kemendikbud tersebut langsung mengundang banyak pertanyaan dan nyinyiran. Bisa-bisanya lembaga pendidikan membenarkan praktik pawang hujan yang mematikan nalar dan jauh dari sains. Terlebih, praktik pawang hujan tidak bisa dipisahkan dari ritual kemusyrikan dan ini mengundang murka Allah Taala.

Bagi siapa saja, terutama kaum intelektual atau akademisi, penjelasan si pawang hujan saat diundang dalam berbagai acara, sungguh di luar nalar ilmu pengetahuan. Keberadaannya hanya menjadi bualan yang memalukan nama Indonesia di kancah internasional. Namun anehnya, institusi pendidikan tanah air malah seperti sedang mencari alasan untuk mengilmiahkan ritual ini dengan mengatakan bahwa pawang hujan bekerja menggunakan gelombang teta untuk berkomunikasi dengan semesta.

Tentu ini mengundang reaksi banyak pihak. Karena pernyataan sang menteri seperti mementahkan proses belajar – mengajar yang saat ini terjadi. Seakan mengesampingkan teori – teori yang ada di fisika, bilogi, sains, kimia, meteorologi dan lain sebagainya. 

Selain tidak ilmiah, aktivitas pawang hujan tidak bisa terpisahkan dengan ritual kemusyrikan. Ini sebagaimana penjelasan Rara bahwa ritual ini merupakan tradisi turun-temurun. Sejak usia 9 tahun, ia sudah menjadi pawang hujan, ilmunya diturunkan dari kakeknya yang merupakan paranormal alias dukun. Padahal, telah jelas dalam Islam, hukum memercayai dukun adalah haram.
“Barang siapa yang mendatangi tukang ramal, maka salatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR Muslim)

Sayangnya, alih-alih dihilangkan, pejabat negara malah seperti sedang melestarikan ritual ini. Buktinya, acara kenegaraan saja menggunakan pawang hujan sebagai ritual wajib agar acara berjalan lancar dan hujan tidak datang. Pembangunan infrastruktur dengan teknologi canggih pun masih menggunakan ritual ini demi kelancaran proyeknya.

 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisa: 48)

Inilah satu dari sekian banyak derita hidup di bawah payung sistem sekuler demokrasi. Sistem ini melahirkan para pejabat yang tidak paham agama dan mengatur negara berdasarkan hawa nafsu dunia. Praktik kemusyrikan yang dipertontonkan pemimpin negeri muslim ini merupakan suatu ironi besar. Kabar buruknya, kondisi ini akan terus tumbuh jika sistem sekuler demokrasi masih menjadi pijakan. Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak