Oleh : Lina Herlina, S.IP
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Dilansir berita CNBC Indonesia, hari Minggu, 06/03/2022, "Rusia akhirnya benar-benar menyerang Ukraina. Presiden Vladimir Putin mengumumkan hal itu secara resmi sejak 24 Februari lalu. Serangan Rusia dimulai dengan ledakan di sejumlah kota di Ukraina, termasuk Kyiv, Odessa, Kharkiv, dan Mariupol. Hingga saat ini ketegangan masih berlangsung". Sejumlah negara mengkritik keras tindakan ini, tidak terkecuali Indonesia dengan politik luar negri bebas aktifnya. Krisis Ukraina ini disikapi dunia Islam hanya dengan menunjukkan sikap netral dan dorongan penyelesaian damai saja. Padahal seharusnya, jika merujuk pada Islam, bagaimana umat muslim sepatutnya menyikapi yakni dengan membongkar apa kepentingan ekonomi-politik negara besar Rusia dan Amerika Serikat (AS) dalam konflik ini. Karena berdampak bagi rakyat khususnya kaum muslimin.
Pada hakikatnya perang di Ukraina adalah perang antara Rusia-AS yang sama-sama memiliki watak imprealis (penjajah). Bagaimana dampaknya bagi rakyat khususnya warga muslim, maka akan dibiarkan terjadi invasi - invasi yang menelan jumlah nyawa sebagai korbannya. Sedangkan dalam pandangan Islam, menghilangkan satu nyawa saja sangat diharamkan. Mereka saling berseteru menancapkan pengaruh dalam konstelasi politik global. Tidak peduli atas kerusakan yang terjadi, baik itu menelan korban nyawa, harta, sumber daya alam dst. Atas dalih untuk kepentingan, negara berhak mengeksekusi dan melakukan invasi besar besaran.
Kita simak pengakuan kedua negara besar tersebut: Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, 16 Februari 2022, Duta besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Georgieuna Vorobiesa, mengatakan," Rusia tidak pernah berniat menyerang tetangganya itu, ia menyebut isu ini muncul setelah dihembuskan AS, NATO, dan para aliansinya. Pada situasi ini, Ukraina hanya dijadikan alat untuk mengobarkan informasi perang terhadap Rusia. Sementara negara kami, tengah mengupayakan diplomasi, pihak barat terus mengobarkan informasi perang dan menciptakan ketegangan di perbatasan Rusia- Ukraina".
Sementara dalam pertemuan dengan media yang dihadiri CNBC Indonesia, dua pekan lalu, seorang pejabat senior kedutaan barat AS di Jakarta. mengatakan," Pelanggaran terang terangan Rusia terhadap hukum Internasional menjadi tantangan langsung terhadap tatanan berbasis aturan internasional. Ukraina sendiri merupakan anggota PBB, yang aslinya negara merdeka dan berdaulat. Dan pelanggaran Rusia mengancam perdamaian dan stabilitas di benua Eropa". Walaupun awalnya Rusia menyangkal, tetapi di tanggal 24/02/2022, Presiden Rusia tiba-tiba mengumumkan operasi militernya pada Ukraina ( CNBC, Indonesia, 03/03/2022".
Sikap muslim tidak boleh terkecoh, hendak menyikapinya secara cerdas. Jelas sudah alasan Rusia menyerang Ukraina karena rezim Ukraina saat ini lebih condong merapat ke pertahanan barat yakni ke NATO dan Uni Eropa. Sikap politik demikian tentu saja membuat murka Rusia, karena baginya Ukraina adalah bagian depan yang secara langsung bisa berhadapan dengan Eropa. Rusia tidak boleh kehilangan Ukraina demi menjaga keamanan negaranya. Belum lagi sebelumnya pecahan Uni Soviet seperti Polandia dan negara Balkan banyak yang akhirnya bergabung dengan NATO, padahal sebagai negara raksasa di Asia Utara, Rusia membutuhkan negara negara pecahan tersebut untuk membangun kembali kekuatannya untuk menandingi AS.
Kemudian secara historis pada masa Hitler, Jerman pernah mengancam Rusia. Untuk pengamanan dari serangan Eropa tersebut, Rusia membutuhkan Ukraina sebagai penahan serangan dan hantaman militer. Inilah mengapa Rusia menginvasi Ukraina.
Namun Ukraina kini telah porak-poranda. Presiden Ukraina Volodymyr merasa negaranya telah ditinggalkan dan dibiarkan sendiri menghadapi serangan Rusia. AS yang diharapkan membantu Ukraina telah menyatakan sikapnya untuk tidak mengirimkan pasukannya. Presiden AS Joe Biden, juga menyatakan hanya akan mengirimkan tentara pada anggota NATO, sedangkan Ukraina belum menjadi anggota NATO ( Tempo, 03/03/2022).
Lalu siapakah yang diuntungkan dalam peperangan ini?. Tentu saja AS, negara super power ini memiliki kepentingan politik terhadap konflik ini. Gerakannya dimulai dari memprovokasi Ukraina untuk reaktif terhadap Rusia dengan cara mengirimkan pasukan dan pasokan senjata, sehingga Ukraina dengan berani menegaskan keinginannya untuk bergabung dengan NATO. Inilah pemicu murkanya Rusia dan menjadi alasan kuat melakukan invasi. Sementara Invasi Rusia ke Ukraina ini mendongkrak ancaman Rusia pada Eropa. Kondisi ini tentu semakin membuat NATO merasa dibutuhkan. Padahal NATO adalah kekuatan militer bentukan AS yang terdiri dari Negara Amerika Utara dan beberapa Negara Eropa sebagai penjaga perdamaian di kawasan Atlantik Utara dari pengaruh komunis ( Blok Timur). Pada akhirnya NATO mendesak dibutuhkan dalam situasi ini.Sebagaimana diketahui, hubungan yang semakin erat antara Rusia dan Eropa melalui jalur proyek gas Jerman-Rusia mempengaruhi peta politik Eropa dan ini jelas mengancam kepentingan AS. Akhirnya AS perlu menciptakan konflik agar hubungan Eropa-Rusia terganggu. Maka diguncanglah Rusia. Sangat jelas siapa yang berkepentingan di konflik ini.
Bangsa Ukraina menjadi korban atas peperangan kedua negara besar ini. Lantas apakah akan selesai dengan masuknya Ukraina ke NATO?. Tentu saja mustahil. Mengingat jejak AS dan NATO sebagai dalang yang paling bertanggungjawab terhadap kejadian kejadian invasi di Irak, Afganistan, dan Suriah. Mengatas namakan keamanan dan perdamaian dunia, sikap dasar penjajahannya, telah membunuh jutaan manusia/ rakyat yang tidak berdosa, demi memuluskan kepentingannya.
Lantas bagaimana dengan PBB, OKI, dan lembaga internasional lainnya?. Hingga detik ini, lemahnya kedudukan mereka hanya sebatas mampu membuat resolusi- resolusi tak bisa menghentikan peperangan. Padahal sebagai Lembaga Organisasi Internasional Utama. Apalagi mengingat anggota tetap PBB ( AS, Rusia, Inggris, Perancis, RRC) memiliki hak veto, dan mereka semua adalah negara imprealis kapitalis, yang tidak bisa diganggu gugat terbelenggu aturan internasional. Demikian pun negara anggota OKI dan lembaga lainnya, berada di bawah ketiak negara besar tersebut. Olehnya berharap kepada mereka bukan solusi hakiki bahkan semakin mengokohkan kepentingan negara adidaya.
Sesungguhnya disinilah peran politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, sebenarnya mampu secara netral tidak mencampuri urusan kedua negara tersebut. Indonesia bisa focus tidak hanya sekedar memberi saran/ imbauan, tapi lebih bisa mengambil tindakan nyata sebagai juru damai, namun...lagi lagi Indonesia ternyata bukan negara berideologi kuat di mata dunia. Peran dan kedudukan idelogi kita condong kemana patut dipertanyakan.
Akhirnya dunia membutuhkan sosok negara yang berpihak kepada keselamatan umat manusia. Dunia membutuhkan sistem negara yang sesuai fitrah manusia mampu mewujudkan kedamaian di seluruh muka bumi. Dunia sangat membutuhkan negara yang menerapkan aturan syariat Islam kaffah, dan semuanya telah ditorehkan dari kedigdayaan Islam dulu dalam Negara Khilafah yang super power menggunakan jihad sebagai politik luar negerinya yang telah mampu menebar perdamaian ke hampir 2/3 bagian dunia.
Wallahu a'lam bisshowab.
Bogor, 11 Maret 2022
Tags
Opini