Korupsi, Mungkinkah Berakhir dari Negeri Ini?



Oleh. Ummu Ayyasy BZ

Kasus korupsi di Indonesia seolah sudah menjadi hal biasa sampai saat ini. Mulai dari kalangan pejabat bawah sampai pejabat tingkat atas. Padahal dalam hal apapun korupsi itu jelas tidak bisa dibenarkan. Terlebih untuk saat ini keseriusan pemberantasan korupsi menjadi hal yang perlu dipertanyakan ulang. Benarkah negara ingin memberantas tindak pidana korupsi? 

Yang terbaru kita saksikan kasus yang menimpa Nurhayati, mantan Bendahara Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat yang melaporkan dugaan tindak korupsi yang dilakukan oleh atasannya, berinisial S, Kepala Desa Citemu. S diduga telah melakukan korupsi sehingga merugikan negara sebesar 818 juta rupiah dari tahun 2018-2020. Namun alih-alih mendapatkan  apresiasi karena telah membongkar korupsi, justru Nurhayati juga ditetapkan sebagai tersangka.

Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Maneger Nasution, mengatakan seharusnya Nurhayati mendapat perlindungan dan apresiasi. Penetapan tersangka terhadap pelapor dikhawatirkan menghambat upaya pemberantasan tindak korupsi dan menjadi preseden buruk. Status tersangka terhadap pelapor kasus korupsi mencederai akal sehat, keadilan hukum dan keadilan publik.
Jika benar Nurhayati telah menjalankan tugasnya sebagai bendahara Desa sesuai tupoksi, dimana dalam mencairkan uang (dana Desa) di Bank BJB sudah mendapatkan rekomendasi Camat dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) seharusnya yang bersangkutan tidak dipenjara. (Liputan6.com, 20/2/2022) 

Sementara anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto juga menilai kasus Nurhayati ini dapat berdampak buruk bagi pemberantasan korupsi serta dapat menimbulkan persepsi buruk di tengah publik terkait perlindungan pelapor korupsi yang bisa membuat masyarakat enggan melaporkan kasus korupsi. (Kompas.com, 23/2/2022) 

Namun setelah kasus ini viral di media sosial dan mendapat kritikan dari berbagai pihak, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, mengatakan agar kasus Nurhayati ini tidak dilanjutkan. Netizen pun mengira bahwa dihentikannya kasus ini hanya karena telah viral dan banyak kecaman dari publik. Akan tetapi anggapan itu dibantah oleh Mahfud MD. Menurutnya kasus ini dihentikan karena memang belum cukup bukti. 

Inilah potret buram negeri ini yang masih gagal dalam menangani dan memberantas korupsi.
Pemerintah belum ada upaya yang optimal untuk mengatasi kasus korupsi. Jika memang negara serius untuk memberantas korupsi, seharusnya kasus seperti Nurhayati ini tidak akan pernah terjadi. Seharusnya negara malah senang terhadap apa yang sudah dilakukan oleh Nurhayati, yang begitu berani mengungkap kebenaran. Namun, beginilah realitasnya saat ini. Di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai demokrasi, justru tidak mudah menjadi penyampai kebenaran. 

Padahal Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, apabila tidak mampu dengan lisannya, apabila tidak mampu dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman." (HR Muslim) 

Dari Hadis ini jelas bahwa ketika ada kemungkaran harus dicegah entah oleh individu, masyarakat maupun negara.
Sangat disayangkan apabila saat ini ada yang melaporkan tindak pidana korupsi tapi justru malah hendak diadili. Akibatnya dari waktu ke waktu negeri ini belum mampu menyelesaikan masalah korupsi sampai tuntas. Bahkan korupsi semakin tumbuh subur dan menjamur. Mungkinkah hukum di negeri ini bisa benar-benar memberantas korupsi?

Berbeda dengan sistem Islam yang sangat jelas dalam upaya menyelesaikan masalah kehidupan termasuk korupsi. Rasulullah saw. mengantisipasi umatnya untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan yang bisa melahirkan korupsi. Seperti ketika ada konflik antara petugas pemungut zakat yang sekaligus pendakwah Islam di Yaman. Rasulullah saw. mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman sebagai juru dakwah. Rasulullah saw. berpesan kepada Mu'adz untuk tidak melakukan korupsi terhadap apapun selama ia bertugas menjadi pejabat di Yaman.

Bahkan di masa Khalifah Umar bin Khattab larangan korupsi juga ditunjukkan ketika beliau mengawasi harta yang diperoleh bawahannya secara ketat. Umar beberapa kali membuat kebijakan mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena hartanya bertambah dan diketahui bahwa itu didapat bukan dari gaji yang diberikan negara.

Memberantas korupsi dibutuhkan sistem yang ampuh menuntaskan korupsi tersebut. Di dalam sistem Islam korupsi termasuk perbuatan yang melanggar hukum syariat sehingga harus tegas dalam memberikan sanksinya. Korupsi masuk dalam kategori jarimah ta'zir. Ta'zir itu sendiri adalah sanksi hukum yang diberlakukan kepada seorang pelaku jarimah atau tindak pidana yang melakukan pelanggaran-pelanggaran baik berkaitan dengan hak Allah Swt. ataupun hak manusia. Sementara bentuk sanksinya tidak ditentukan secara tegas dalam nash maupun hadis. Oleh karena itu ta'zir menjadi kebijakan hakim atau penguasa yang bisa berupa penjara,  hukum denda, pemecatan, masuk daftar orang tercela atau hukuman mati.

Inilah bukti ketegasan Islam dalam memberantas korupsi. Hukum dalam Islam ini sebagai upaya untuk pencegahan bagi yang akan melakukan ataupun penebus bagi orang yang sudah melanggar hukum syarak. Maka sudah saatnya sistem ini harus segera diganti dengan sistem yang mampu mewujudkan dan melahirkan individu dan pemimpin yang bertakwa. Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam yang diterapkan dalam bingkai Khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Wallahu a'lam bi ashshawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak