Oleh : Dahlia
Terkait perubahan logo Halal tersebut, banyak yang menanggapi, salah satunya pendakwah Ustaz Felix Siauw.
Menurut Ustaz Felix Siauw, logo tersebut hanyalah bernilaikan politis ketimbang nilai fungsi.
“Dari segi desain, lebih kepada nilai politis ketimbang fungsi,” tulisnya dalam Instagram @felix.siauw yang dikutip Populis.id pada Senin (14/3/2022)
Ia juga menilai ganti logo halal baru ini tidaklah penting, apabila dilihat dari segi kepentingannya.“Dari segi pentingnya, nggak penting ganti logo, tapi sarat kepentingan,” sambungnya.
Menurutnya, perubahan logo halal baru tersebut malah akan membuat pengusaha terkena imbasnya. Lantaran, pengusaha yang ingin mendapatkan logo halal akan semakin sulit.
Diketahui, logo Halal baru diterbitkan lewat Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal. Kemenag telah meresmikan logo halal baru tersebut pada 10 Februari 2022 lalu.
Kebijakan ini menuai banyak kritikan. Pertama, soal logo yang berbentuk lurik gunungan wayang. Yang kedua, kata “MUI” dihilangkan. Terlebih pada logo baru ini kata “halal” jadi samar. Susunan hurufnya malah mirip kata “halaak”, bahkan kata “haraam”.
Wajar jika muncul tudingan bahwa Kemenag tidak sepenuh hati urus soal jaminan halal. Gegara alergi hal berbau kearab-araban, logo halal pun “dijawa-jawakan”. Sampai-sampai ada yang meragukan, apakah logo ini dapat meningkatkan daya saing di pasar internasional?
Namun, tidak hanya soal bentuk yang kontroversial. Kritik pun muncul karena kebijakan ini dianggap tidak relevan dengan permasalahan. Jaminan halal tentu bukan hanya soal logo cap halal. Akan tetapi, bicara tentang keseriusan pemerintah untuk mengurus dan melindungi kepentingan umat Islam yang dibanding penduduk Indonesia secara total, jumlahnya sekitar 87%.
Jaminan produk halal sejatinya merupakan hak rakyat dari pemimpinnya. Oleh karenanya, atas dorongan iman dan kewajiban, negara sudah semestinya melakukan berbagai cara untuk memastikan semua barang konsumsi rakyat dijamin kehalalannya, termasuk melalui aturan sertifikasi halal.
Aturan ini tentu tidak boleh membebani rakyat, terutama para produsen barang. Mereka justru harus diberi kemudahan, termasuk dalam hal regulasi dan pembiayaan. Karena sekali lagi, tugas negara dalam Islam adalah mengurus seluruh urusan rakyat dan menjaga mereka.
Jangan sampai dua hal ini masuk dalam perhitungan komponen biaya produksi yang membuat harga-harga barang menjadi mahal. Apalagi memicu munculnya sikap curang, seperti melakukan pemalsuan akibat sulitnya para produsen untuk mendapatkan sertifikasi halal.
Penerapan sistem sekuler kapitalisme neoliberal memang nyata-nyata telah membuat umat hidup dalam kesempitan. Kehalalan dan keharaman bercampur di dalam banyak hal, tidak jarang sangat sulit dibedakan.
Oleh karenanya, umat semestinya sadar bahwa hanya dalam sistem Islam (Khilafah) jaminan produk halal bisa benar-benar diwujudkan. Ini karena Khilafah tegak di atas akidah Islam dan berfungsi sebagai penegak seluruh aturan Islam, termasuk menjamin produk halal