Konflik Wadas, Bukti Dalam Kapitalis Rakyat Selalu Tertindas



Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga

Proyek Bendungan Bener ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai proyek strategis nasional pada 2018 lalu, dan diperkirakan menelan biaya sebesar 2 triliun rupiah. Bendungan ini rencananya akan digunakan sebagai pemasok air baku bagi kabupaten Purworejo, serta sebagian lainnya untuk kebutuhan Bandara Internasional Yogyakarta. Salah satu yang terdampak dari proyek ini ialah Desa Wadas.
Di Desa ini, penambangan batu andesit sebagai bahan baku pembangunan Bendungan akan dilakukan. Sebagian warga Desa Wadas tegas menolak rencana penambangan ini. Bukan tanpa sebab, warga beranggapan bahwa penambangan ini akan merusak sumber mata air yang tersisa di wilayah mereka, serta mengancam keselamatan dan kesehatan masyarakat Desa Wadas dan daerah sekitarnya. Selain itu, ancaman kehilangan sumber mata pencaharian juga menjadi alasan yang sangat kuat bagi warga untuk menolak rencana penambangan batu andesit.
Penangkapan warga yang terjadi 8 Februari 2022 kemarin bukanlah hal pertama. Pada April 2021, sejumlah warga "diamankan" oleh kepolisian ketika sedang melakukan demonstrasi menolak penambangan tersebut. (www.kompasiana.com, 11/2/2022)
Bahkan beberapa pekan terakhir ini beredarnya video dan foto-foto dugaan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah. Hal inilah yang kemudian menjadikan Wadas buah bibir nitizen dengan berbagai pro dan kontranya.
Sebagian menilai yang dilakukan aparat telah melukai hati masyarakat. Aparat harusnya menjadi pelindung, malah menyakiti warga. Akan tetapi, sebagian yang lain juga ada yang menyalahkan rakyat karena dinilai tidak mendukung program Pemerintah terkait pembangunan bendungan Bener. (eramuslim.com, 11/2/2022)
sementara Polri sendiri menyatakan bahwa tidak ada warga yang ditahan atau disidik, hanya mengamankan kegiatan pengukuran tanah di Desa Wadas. 
Ada banyak pihak yang kemudian menyampaikan pendapatnya terkait penyelesaian masalah Wadas. Mereka menilai bahwa pemerintah harus mengubah cara komunikasinya dengan masyarakat, sehingga masyarakat bisa menerima pembangunan Bendungan Bener maupun penambangan andesit yang memang sudah disetujui pemerintah setempat.

Berbicara batu andesit, merupakan bahan tambang yang dibutuhkan untuk konstruksi bangunan semisal bendungan, jembatan, jalan, dan sebagainya. Tambang andesit di Desa Wadas diperkirakan ada 114 hektare. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit. Hanya saja, penambangan ini terletak di perbukitan yang merupakan lahan milik rakyat dengan hasil bumi yang melimpah. 

Dalam pandangan Islam, batu andesit dalam jumlah banyak atau depositnya banyak, ia terkategori milik umum, milik kaum muslim, dan negaralah yang harus mengelolanya dan tidak boleh menyerahkannya kepada individu. Sebaliknya, jika jumlahnya sedikit, boleh dimiliki dan dikelola oleh individu.

Hal ini bisa dipahami dari hadist riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabrani. Dikatakan bahwa, Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepadanya? Tidak lain Anda memberi al-mâ‘u al-‘iddu (air yang terus mengalir).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, lalu Rasulullah menarik kembali tambang itu dari Abyadh. 
 
Dalam hadis ini, semula Rasul saw. memberikan tambang garam di Ma’rib itu kepada Abyadh bin Hamal. Namun, setelah diberitahu bahwa itu seperti al-mâ‘u al-‘iddu (mata air yang terus mengalir, Rasul saw. pun menarik kembali tambang garam itu. Ini menunjukkan bahwa tambang yang sifatnya seperti al-mâ‘u al-‘iddu tidak boleh diberikan pada individu, yakni tidak boleh dikuasai dan dimiliki oleh individu. Hal itu memberikan pemahaman bahwa sifat seperti al-mâ‘u al-‘iddu itu menjadi sebab (‘illat) penarikan kembali pemberian itu.

Jadi, status kepemilikan tambang dikaitkan dengan sifat al-mâ‘u al-‘iddu. Sifat ini bisa dipahami menjadi ilat pelarangan suatu tambang dimiliki oleh individu. Adapun al-mâ‘u al-‘iddu, di Al-Qâmûs al-Muhîth maknanya adalah air yang memiliki deposit yang tidak terputus seperti mata air. 

Sehingga status tambang yang depositnya besar itu adalah milik umum, yakni semua rakyat berserikat di dalamnya. Selanjutnya, negaralah yang menentukan batasan jumlah deposit suatu bahan tambang yang sudah dinilai memenuhi sifat al-mâ‘u al-‘iddu yang karenanya tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta, melainkan statusnya adalah milik umum seluruh rakyat. 

Sehingga, ketika menghadapi kondisi seperti ini, seharusnya penguasa menggunakan dialog dengan masyarakat, tanpa menggunakan kekerasan. Pemerintah sendiri harus memahami bahwa batu andesit yang jumlahnya sangat banyak tersebut adalah milik rakyat dan tidak akan menyerahkannya kepada swasta. Hal ini kemudian dismapaikan kepada masyarakat setempat sampai tercapai kesepakatan bersama. Jika sudah ada keridhoaan dari rakyat, maka dilakukan penggantian yang bisa menjamin kehidupan rakyat selanjutnya dan tidak akan merugikan rakyat. Jika masih ada yang belum setuju, tidak boleh dipaksakan, tetapi penguasa dapat terus mengupayakan dengan cara yang baik, sebab dalam Islam penguasa adalah penggembala rakyatnya.
 “Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Imam Bukhari dan Imam Ahmad)

Jika hal ini dilakukan, maka kekhawatiran rakyat akan masa depan mereka pasti akan sirna. Tentu saja seharusnya sudah harus banyak bukti yang dilakukan penguasa, bahwa apapun kebijkan yang mereka tetapkan sebesar- besarnya hanyalah untuk rakyat. Jika selama ini track record penguasa memang terkesan mengirbankan rakyat untuk kepentingan oligarki, maka sangat wajar masyarakat cenderung tidak percaya lagi pada setiap janji penguasa.

Dan, memang kita tidak bisa berharap banyak pada kapitalis. Sifat dasar sistem ini memang hanya untuk memfasilitasi kepentingan mereka yang bermodal. Dan wajah kapitalis selama ini telah nyata membuat rakyat selalu menjadi pihak yang tertindas. 

Dari sini rakyat harusnya berpikir ulang untuk terus menggenggam kuat sistem yang terbukti gagal membawa keadilan dan kesejahteraan. Rakyat harusnya kembali rindu terhadap sistem yang telah terbukti membawa kesejahteraan baik bagi muslim maupun non muslim selama 350 tahun berkuasa, yakni sistem khilafah Islamiyah. 
Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak