Kendi Nusantara, Haruskah?

Oleh: Atik Hermawati


Prosesi kendi nusantara yang dipimpin Presiden Jokowi di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) berlangsung pada Senin, 14 Maret 2022. Sebanyak 34 kepala daerah atau gubernur membawa tanah dan air dari setiap provinsi untuk disatukan dalam pembangunan IKN. Jokowi mengatakan bahwa hal itu bukan hanya ritual, melainkan simbol kesatuan kebhinekaan.


Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tertawa santai menanggapi banyak pihak yang nyinyir terhadap prosesi kendi nusantara penuh dengan klenik. Ia mengatakan bahwa hal tersebut bagian dari kultural yang tidak dapat dipisahkan. Makna dan nilai luhur dianggap sebagai alasannya. Ia pun menuturkan bahwa di Jepang juga melaksanakan hal seperti itu saat pembangunan apapun. (wartaekonomi.co.id, 14/03/2022)



Budaya dan Syariat

Hal-hal klenik masih sangat subur dipraktikkan di negara ini. Prosesi kendi nusantara sama sekali tak ada hubungannya dengan kelancaran pembangunan. Justru hal itu memunculkan pertanyaan besar, mengapa pemerintah tidak fokus pada solusi problematika di masyarakat? Kenaikan harga, korupsi, pengangguran, dan sebagainya semakin carut-marut tanpa penyelesaian. Kini masyarakat dipertontonkan dengan anggaran besar pembangunan IKN beserta prosesi kleniknya.


Sebagai negeri mayoritas muslim, sudah seyogianya melihat budaya dalam kacamata syariat. Setiap budaya yang bertentangan tidak boleh dilestarikan. Tidak boleh mencampur adukkan yang haq dan yang batil. Pun tidak boleh beralasan dengan dalih kebhinekaan. Justru Islam hadir menaungi berbagai perbedaan suku, ditambah dengan pembersihan dari berbagai praktik kesyirikan.


Kebudayaan leluhur yang masih mengakar membuat banyak kebudayaan lokal yang menyimpang dan tidak sesuai dengan akidah Islam, semakin masif didengungkan sebagai kekayaan bangsa. Animisme dan dinamisme dicampurkan dengan Islam. Sinkretisme diabadikan dan dianggap sebagai toleransi. Sementara yang ingin menghindar hal itu karena menjaga kemurnian ajaran Islam dituduh radikal dan intoleran.


Padahal segala bentuk peribadahan selain pada Allah SWT ialah kesyirikan. Itu adalah dosa besar yang tidak akan diampuni kecuali taubat nasuha. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An-Nisa': 48)


Islam hadir untuk menghapus kesyirikan. Rasulullah saw. menyeru kaum kafir Quraisy saat itu untuk berhenti menyembah berhala beserta ritualnya. Memerintahkan mereka hanya menyembah Allah SWT dengan cara-cara yang diperintahkan-Nya pula. Islam datang untuk peradaban luhur manusia, dari jahiliah menjadi beradab, berilmu, dan bertakwa.



Khilafah Menjamin Akidah dan Agama

Khilafah sebagai institusi mulia yang menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan meniscayakan Islam dan pemeluknya terpelihara dari aliran-aliran sesat. Masyarakat dibina agar keimanan pada Allah SWT tertancap. Segala jenis kesyirikan dan bid'ah tidak dibiarkan, melainkan diluruskan agar nilai tauhid ditegakkan. Dalam agenda besar bukan prosesi klenik yang dilakukan, melainkan doa dan salat berjamaah untuk memohon ampun dan pertolongan-Nya. Sudah terpatri dalam sejarah bagaimana para sahabat dan panglima Islam melakukan hal ini.


Keimanan yang dibina oleh Khilafah melalui proses berpikir. Sebab bangkitnya pemikiran masyarakat, akan berdampak pada bangkitnya peradaban suatu negara. Khurafat dan sejenisnya dikikis dari benak jahiliah. Masyarakat diajak berpikir dengan pandangan Islam.


Selanjutnya menerapkan amar makruf nahi munkar. Menyelesaikan problematika umat dengan sistemik. Masyarakat diarahkan untuk berpikir cemerlang dan mengambil solusi Islam. Tugas negara ialah mengatur urusan umat dengan aturan Sang Pengatur, Allah SWT. Tidak seperti saat ini, saat krisis multidimensi menghantui, malah sibuk prosesi kendi. 


Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak