Kejahatan Seksual: Bobroknya Pilar Kebebasan Demokrasi

Oleh: Atik Hermawati


Kasus asusila maupun kejahatan seksual di negeri ini seolah tak pernah berhenti. Kali ini, seorang mahasiswi UIN Suska Pekanbaru yang berinisial AAF melakukan adegan mesum saat kuliah umum berlangsung. Ia telah mengaku dan di-DO oleh pihak universitas (liputan6.com, 03/03/2022). Belum lagi seorang oknum polisi berpangkat perwira, AKBP M di Gowa, Sulawesi Selatan yang telah menjadikan siswi SMP sebagai budak seks selama berbulan-bulan. Dia pun telah dicopot dari jabatannya (tribunnews.com, 02/03/2022).


Degradasi moral yang semakin parah dianggap sebagai problem sosial saja, bahkan lebih sempit lagi yaitu sebagai permasalahan individu. Dimana solusi dan sanksi yang ada tidak pernah menyentuh akarnya. Hingga hal ini menimbulkan masalah baru, seperti tingginya aborsi, bunuh diri, dan perilaku serupa. Benarkah demikian?



Kebebasan yang Kebablasan

Kebebasan berperilaku atau berekspresi dalam demokrasi sangat jauh dari nilai manusiawi. Dimana masyarakat digiring melakukan apa saja tanpa batas dan dianggap sebagai bagian dari HAM. Sebagai contoh pacaran, ikhtilat (campur baur dengan lawan jenis), bahkan L93T. Aturan sosial tidak membatasi. Bahkan peraturan yang semakin ke sini, dibuat untuk melegalkan segala jenis "pergaulan bebas" seperti itu dengan dalih suka sama suka dan persetujuan.


Para wanita dibiarkan tidak menutup aurat. Yang memaksa mereka menutup aurat dikatakan intoleran dan mengekang. Mahram dan nonmahram tidak dipahamkan pada masyarakat. Kehidupan di tempat umum bercampur tanpa ada pemisahan. Kontrol masyarakat pun hilang sebab itu dianggap ranah individu, negara pun tak boleh ikut campur. Belum lagi arus pornografi di media begitu menghantui generasi masa kini, masuk tanpa hambatan. Akhirnya gelar "manusia" copot dengan perilaku kebablasan seperti makhluk tak berakal.


Selanjutnya ketika terjadi kekerasan seksual ataupun perilaku asusila, sanksi yang ada tidak sepadan. Sanksi pencopotan AKBP M atau DO terhadap mahasiswi pada kasus di atas, tidak memberi efek jera bagi pelaku. Maraknya perilaku serupa membuktikan hal ini. Bahkan meskipun kaum feminisme lantang bersuara untuk peran perempuan dalam kesetaraan, wanita dan anak-anak selalu jadi korban. Sebab sejatinya, sistem demokrasi inilah yang melahirkan semua masalah itu. 


Asas sekularisme pada sistem ini, yakni memisahkan agama dari kehidupan telah melegalkan segala jenis kerusakan moral atas nama HAM. Halal-haram dalam Islam diabaikan, hanya menjunjung tinggi konstitusi yang dibuat segelintir manusia atas kepentingan mereka. Akidah masyarakat dibiarkan rusak dengan berbagai peraturan yang membebek pada Barat. Dalam demokrasi, syariat Islam tidak boleh membatasi perilaku sama sekali. 



Islam, Solusi Sistemik

Islam tentunya melindungi wanita maupun anak-anak dari aksi rudapaksa. Syariat-Nya begitu memuliakan dan melindungi keduanya. Penerapan aturannya secara komprehensif yakni pada individu, keluarga, masyarakat, dan negara menjadi solusi hakiki atas problematika sosial saat ini.


Negara yang menerapkan Islam secara kaffah yakni Khilafah akan membina masyarakat agar berpola pikir dan sikap Islamiyyah. Menjadikan manusia sesuai fitrahnya dan mempunyai keluhuran adab. Hal ini diatur lewat sistem pendidikan sejak dini dan dalam kehidupan masyarakat secara umum. Aturan Islam terkait keluarga seperti mahram dan nonmahram ataupun syariat dalam kehidupan khusus dipahamkan pada masyarakat.


Dalam kehidupan umum, Khilafah tidak mengizinkan sama sekali adanya campur baur antar laki-laki dan perempuan tanpa hajat syar’i. Lalu perintah menundukkan pandangan bagi laki-laki (QS. An-Nur: 30) dan perempuan (QS. An-Nur: 31). Laki-laki maupun perempuan harus menutup aurat dan tidak boleh tabarruj. 


Islam memberikan sanksi bagi pelaku kejahatan seksual yang menjerakan. Penerapan hukum qishas jika terjadi pembunuhan atau dihukum ta’zir, maupun membayar denda (diyat) jika terjadi penganiayaan fisik. Selanjutnya bagi pelaku pezina atau pemerkosaan akan dihukum had zina. Jika pelakunya belum pernah menikah maka dicambuk 100 kali, jika sudah pernah menikah dirajam hingga mati. Orang yang berusaha melakukan zina dengan perempuan namun tidak sampai melakukannya, maka dia akan diberi sanksi tiga tahun penjara, dengan hukuman cambuk dan pengasingan. Hukuman yang diberikan akan dimaksimalkan jika korbannya adalah orang yang berada di bawah kekuasaannya seperti pembantu perempuannya atau pegawainya. (Al-Malik, Abdurrahman 2001, Nizhamul Uqubat fi Al-Islam)


Masyarakat diimbau untuk menerapkan amar makruf nahi munkar. Kontrol sosial benar-benar terjaga. Sehingga tidak menganggap ini adalah masalah individu semata, melainkan penyakit sosial yang harus disembuhkan dari akarnya. Sanksi dan aturan Islam telah jelas membuat masyarakat tenteram, sebab keadilannya mencegah hal serupa terjadi kembali.


Allah SWT berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Ma'idah [5] : 35)


Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak