Oleh : Sarni Puspitasari
Pemerintah menerbitkan aturan baru bagi anda warga Indonesia.
Berlaku mulai Maret 2022 nanti, anda wajib memiliki Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial atau BPJS Kesehataan agar bisa mengurus berbagai keperluan.
Seperti mengurus Surat Izin Mengemudi ( SIM), mengurus Surat Tanda Nomor Kendaraan ( STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian ( SKCK), hendak berangkat ibadah haji, dan jual beli tanah.
Kewajiban itu tercantum dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
Peraturan tersebut talah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 6 Januari 2022 lalu.
Dalam aturan tersebut, Jokowi meminta pihak kepolisian untuk memastikan pemohon SIM, STNK dan SKCK merupakan peserta aktif BPJS Kesehatan.
"Melakukan penyempurnaan regulasi untuk memastikan pemohon SIM, STNK, SKCK adalah Peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," bunyi Inpres No.1 Tahun 2022.
Jokowi menginstruksikan Menteri Agama untuk memastikan pelaku usaha dan pekerja yang ingin ibadah Umrah dan Haji merupakan peserta aktif dalam program JKN.
"Mensyaratkan calon jamaah Umrah dan jamaah Haji khusus merupakan peserta aktif dalam program JKN," lanjutnya.( www.tribunnews.com).
Kebijakan ini menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan masyarakat.
Sejumlah warga mengatakan kebijakan pemerintah yang menjadikan kartu BPJS Kesehatan sebagai salah satu syarat untuk membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kurang tepat dan malah bisa menghambat prosesnya itu sendiri.
Umar (24) seorang mahasiswa asal Bandung mengatakan aturan tersebut bisa menghambat bagi warga yang memang belum ikut program BPJS Kesehatan tetapi ingin membuat SIM.
"Jadi menghambat urusan bikin SIM, SKCK dan lain lain. Apalagi kalau misalkan dibutuhkannya cepat, jadi repot itu," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (19/2).
Warga lainnya, Ical (23) menyebut kebijakan menjadikan kartu BPJS Kesehatan untuk mengurus SIM, STNK, dan SKCK tidak berkorelasi dan kurang tepat.
"Aneh saja, tidak ada korelasinya SIM-STNK ke BPJS. Entah sih di samping itu mungkin bisnis para petinggi biar pada punya BPJS," ujarnya.(www.cnnindonesia.com)
Kebijakan pemerintah soal BPJS alih-alih memberi jaminan layanan Kesehatan justru membebani rakyat dengan kewajiban asuransi dan menyulitkan pemenuhan kemaslahatan lain.
Mahalnya layanan kesehatan, serta menjadikan
kartu BPJS Kesehatan sebagai salah satu syarat untuk membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) kurang tepat.
Hal ini akibat dari pengelolaan layanan kesehatan yang diserahkan kepada pihak swasta yang tentu saja dengan paradigma bisnis. Hal ini buah dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan saat ini.
Para pejabat yang sudah tidak memiliki hati nurani bekerjasama dengan para pemilik modal untuk mencari keuntungan dengan menjadikan layanan kesehatan sebagai objek bisnis.
Ketika banyak masyarakat yang menolak untuk ikut menjadi peserta BPJS, maka Pemerintah dengan kekuasaan yang dimiliknya menekan dan memaksa rakyat dengan mewajibkannya memiliki BPJS Kesehataan agar bisa mengurus berbagai keperluan.
Sungguh ironis, ditengah pandemi yang tak kunjung terselesaikan, mahalnya barang komoditi, langkanya minyak goreng dan masih banyak lagi. Namun pemerintah justru semakin melukai dan membuat rakyat semakin menderita.
Berbeda dengan sistem Islam.
Islam sebagai agama yang paripurna memiliki sejumlah aturan yang datang dari Allah untuk menyelesaikan problematika kehidupan.
Mengenai kesehatan, Islam menyatakan bahwa hanya Allah SWT yang dapat menurunkan penyakit dan sekaligus obat untuk menyembuhkannya.
Allah berfirman, “Dan Kami turunkan dari Alquran (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Alquran itu) hanya akan menambah kerugian.”
Ketika sedang sakit kaum muslim diperintahkan untuk berobat seperti yang disarankan Rasulullah SAW, seperti dinyatakan dalam sabdanya,” Aku (Usamah bin Syarik) menghadap Rasulullah. Di tempat itu aku menjumpai para sahabat (sedang duduk dengan khusyuk) seakan burung sedang hinggap di kepala mereka. Usai mengucapkan salam, aku duduk. Beberapa orang Arab pedalaman lalu datang dari berbagai arah. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita harus berobat?” Beliau menjawab, “Berobatlah! Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan pula penyembuhnya, kecuali satu penyakit, yaitu usia tua.” (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmiziy, Ibnu Majah, dan an-Nasa’iy dari Usamah bin Syarik).
Fakta hari ini tidak semua rakyat mampu untuk berobat karena keterbatasan finansial yang diakibatkan oleh sistem kapitalis .
Dalam sistem Islam. Negara wajib menjamin kesehatan seluruh warga negaranya, menyediakan sarana dan prasarana kesehatan dan pengobatan secara gratis.
Negara wajib mengelola layanan kesehatan dengan paradigma riayah pada rakyatnya bukan paradigma bisnis.
Negara menyediakan layanan kesehatan dengan sumber dana dari batiul mal bukan dari hasil memalak rakyatnya dengan dalil asuransi kesehatan yang dipaksakan seperti saat ini.
Dalam Islam jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara yang wajib diberikan secara gratis (cuma-cuma).
Negara tidak boleh membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya. Ketentuan ini didasarkan pada Hadis Nabi saw., sebagaimana penuturan Jabir ra.:
بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أُبَيْ بِنْ كَعَبْ طَبِيْبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرْقًا ثُمَّ كَوَّاهُ عَلَيْهِ
Rasulullah saw. pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Kaab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Kaab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu(HR Abu Dawud).
Dalam hadis tersebut, Rasulullah saw., yang bertindak sebagai kepala negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, II/143).
Wallahu'alam bissshawab