Oleh : Rohani Hani
Ketika kebutuhan pokok atau mendasar manusia seperti keperluan sehari-hari, pendidikan, kesehatan terpenuhi, maka manusia bisa dikatakan cukup meski belum berkecukupan. Dan ketika kebutuhan mendasar tadi difasilitasi negara untuk dipenuhi, maka bisa dikatakan kesejahteraan rakyat tercapai. Nah salah satu kebutuhan mendasar yang perlu kita sorot adalah tentang kesehatan dan ketenagakerjaan, dimana saat ini dikelola oleh BPJS.
BPJS merupakan badan hukum yang beroperasi sejak 2014 serta memiliki wewenang untuk memberikan jaminan sosial berbentuk kesehatan dan ketenagakerjaan. Kedua aspek ini merupakan hal penting bagi masyarakat umum dan pekerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Karena BPJS itu hukum nya haram, beberapa pihak menyebut bahwa program ini menyimpan adanya akad riba, gharar, maisir dan idz’an.
Di tengah perdebatan JHT 56 yang belum usai, BPJS kesehatan juga menjadi polemik yang diperdebatkan. Pemerintah seperti tak pernah kehabisan akal untuk memaksakan kebijakan kepada rakyat. Apakah benar memang demi rakyat? Ataukah “pemaksaan” kepesertaan BPJS Kesehatan dalam layanan publik memiliki maksud lain? Terlepas benar tidaknya, praduga itu pasti menyeruak ke ruang publik. Karena pada faktanya, premi atau iuran yang dibayar rakyat tidak berbanding lurus dengan pelayanan kesehatan yang selama ini digembar-gemborkan BPJS Kesehatan. Mencermati aturan yang mengharuskan kepesertaan BPJS Kesehatan dalam beberapa layanan publik, kesan yang bisa kita lihat ialah pemaksaan. Negara memaksakan kehendaknya demi menarik cuan dari rakyat.
Meski bentuk pemaksaannya tidak langsung, pemerintah menetapkan aturan yang membuat rakyat tidak berkutik. Jika tidak memiliki kartu peserta BPJS Kesehatan, warga tidak akan bisa menerima layanan publik, seperti pembuatan SIM dan STNK, daftar haji/umrah, hingga jual beli tanah. Meski berganti nama, BPJS Kesehatan tidak ubahnya asuransi. Rakyat membayar sejumlah premi demi mendapatkan layanan kesehatan. Di manakah letak jaminan kesehatan yang dimaksud? Yang namanya jaminan kesehatan, mestinya dijamin baik dari pelayanan ataupun pembiayaannya. Namun, negara ataupun BPJS Kesehatan sejauh ini belum menjamin apa-apa. Istilah “jaminan” hanyalah kamuflase untuk memalak rakyat. Lebih tepatnya, penguasa sedang menjamin dirinya sendiri agar tidak perlu repot-repot keluar biaya kesehatan untuk rakyat.
Lagi pula, kepesertaan BPJS Kesehatan tak berdampak pada layanan kesehatan untuk rakyat. Fakta di lapangan, warga harus antre demi mengurus administrasi yang ribet, pelayanannya lama, dan sering kali pasien BPJS Kesehatan mendapat perlakuan diskriminatif dibanding pasien non-BPJS Kesehatan. Hal inilah yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan. Status peserta BPJS Kesehatan seakan menjadi warga kelas dua yang tidak mendapat perhatian lebih.
Inilah efek kapitalisasi dunia kesehatan. Layanan kesehatan menjadi komoditas bisnis untuk mengeruk keuntungan. Dalam perjanjian GATS, kesehatan termasuk dalam sektor jasa. GATS (General Agreement on Trade in Services) merupakan salah satu perjanjian di bawah WTO (World Trade Organization) yang mengatur perjanjian umum untuk semua sektor jasa. Tujuannya, untuk memperdalam dan memperluas tingkat liberalisasi sektor jasa di negara-negara anggota. Oleh karenanya, kapitalisasi sektor kesehatan menjadi hal yang tidak terhindarkan. Negara tidak lagi menjadi pemain tunggal sebagai penyelenggara sistem kesehatan untuk rakyat. Konsep inilah yang sebenarnya menjadi penyakit bagi sistem kesehatan hari ini.
Dilihat dari segi mana pun, kapitalisme sejatinya telah gagal memberi perlindungan dan jaminan. Dari aspek kepemimpinan, penguasa terpilih tidak pernah berpihak pada kepentingan rakyat. Inpres No.1 Tahun 2022 adalah salah satu bukti konkretnya. Negara justru membuat kebijakan yang mempersulit rakyat. Penguasa menerbitkan aturan yang mengada-ada. Apa hubungannya BPJS Kesehatan dengan SIM, STNK, dan jual beli tanah? Inikah model kepemimpinan yang merakyat dan berkeadilan?