Oleh: Neng Ipeh
(aktivis BMI Community Cirebon)
Hari Perempuan Internasional telah dirayakan lebih dari satu abad, dengan kongres pertama yang berlangsung pada tahun 1911. Perayaan Hari Perempuan Internasional diperingati dengan berbagai cara oleh masyarakat dunia. Di tahun 2022, peringatan yang jatuh tiap tanggal 8 Maret ini mengusung satu tema besar yaitu #BreakTheBias, sebuah ajakan untuk mendobrak bias-bias dan stereotip berbasis gender yang kerap menyudutkan perempuan yang dapat berujung pada diskriminasi.
Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret ini, Komisi Nasional Disabilitas menyampaikan jumlah perempuan difabel yang melek huruf. Angkanya lebih sedikit dibandingkan laki-laki penyandang disabilitas. Ketua Komisi Disabilitas Nasional Dante Rigmalia menjelaskan bahwa berdasarkan penelitian, halangan utama perempuan disabilitas mendapatkan haknya secara penuh dan setara adalah stigma negatif dari lingkungan sekitarnya. Adanya stigma negatif tersebut mengakibatkan potensi perempuan disabilitas tertutup dan mengalami kerentanan berkali lipat. Hambatan budaya dan diskriminasi membuat situasi kian rumit dan mempersempit kemungkinan perempuan penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak. (tempo.co/11/03/2022)
Berdasarkan data dari tahun ke tahun, ketimpangan jumlah pekerja perempuan disabilitas yang bekerja penuh, lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki penyandang disabilitas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2021, penduduk usia kerja penyangga disabilitas sejumlah 16,94 juta orang. Proporsi jumlah perempuan disabilitas lebih besar daripada laki-laki yaitu 9,32 juta atau 55%. Sementara penyandang disabilitas laki-laki usia kerja berjumlah 7,62 juta atau 45%. Dari angka tersebut, penyandang disabilitas yang bekerja hanya 7,04 juta orang, sementara pengangguran terbuka sekitar 362.268 orang. Diantara yang bekerja, jumlah perempuan penyandang disabilitas lebih sedikit daripada laki-laki. Padahal, jumlah perempuan usia kerja penyandang disabilitas lebih besar dari laki-laki. Menurut data, jumlah perempuan disabilitas yang bekerja hanya 42,7 persen atau 3,1 juta orang. Sementara laki-laki sebesar 57,3% atau sekitar 4,29 juta orang. (beritasatu.com/11/03/2022)
Disabilitas adalah kata lain yang merujuk pada penyandang cacat atau difabel. Bagi masyarakat, disabilitas merupakan sebuah ironi yang menanti untuk mendapatkan respon positif dari masyarakat, namun mereka justru mendapatkan perlakuan berbeda dari masyarakat. Sebagian masyarakat masih miris jika mempunyai sanak saudara yang menyandang cacat, dipandangnya sebelah mata bahkan sampai ada yang berbuat anarkis dengan membuang keluarga mereka yang cacat, dengan alasan sederhana pembawa sial dalam keluarga, atau malah menjadi perusak keturunan.
Dalam Islam, disabilitas dianggap dan diistilahkan dengan istilahdzawil ahat, dwawil ihtiyaj, al khashah atau orang-orang yang mempunyai keterbatasan, berkebutuhan khusus, atau mempunyai uzur. Rasulullah menekankan bahwa disabilitas tidak mempengarungi kesempurnaan mereka di mata Allah subhanahu wa ta'ala selama mereka memiliki iman yang kokoh. Keterbatasan fisik mereka merupakan salah satu ujian yang diberikan kepada hamba-Nya, dimana dengan ujian inilah, derajat kemuliaan yang tidak bisa dicapai hanya dengan amal akan diberikan. Bahkan beliau juga mengajarkan bahwa mereka yang disabilitas bukanlah hukuman dari Allah subhanahu wa ta'ala tetapi merupakan pengampunan atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan.
Bahkan Islam mewajibkan pemimpin negara untuk memperhatikan kebutuhan rakyatnya termasuk para penyandang disabilitas. Dalam konteks penyandang disabilitas, negara memiliki tanggung jawab membuat penyandang disabilitas bisa menjalani kehidupan secara nyaman, dimana ruang publik dibuat ramah terhadap penyandang disabilitas.
Sejarah telah membuktikan bahwa pada masa kegemilangan Islam, Umar bin Abdul Aziz pernah menulis instruksi kepada pejabat Syam. Ia memerintahkan agar para tunanetra, pensiunan, atau sakit, dan para jompo didata sedemikian rupa untuk memperoleh tunjangan. Instruksi ini dijalankan dengan baik. Bahkan, sejumlah tunanetra memiliki pelayan yang menemani setiap waktu. Kebijakan yang sama juga ditempuh oleh al-Walid bin Abdul Malik. Sementara, Abu Ja’far al- Manshur mendirikan rumah sakit khusus untuk penyandang cacat di Baghdad.
Sayangnya pemenuhan kebutuhan bagi kaum disabilitas tak menjadi salah satu hal yang cukup penting dalam kehidupan yang menerapkan sistem Kapitalisme ini. Karena fakta membuktikan hanya kecil dari kebutuhan kaum disabilitas yang dapat terpenuhi di dalam naungan sistem Kapitalisme. Tentu amat tak layak jika sistem yang tidak manusiawi ini dipertahankan.
Tags
Opini