Oleh : Afrin Azizah
Seakan rakyat tidak bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan sejahtera sedikitpun. Negeri kapitalis berbalut demokrasi kembali berulah dengan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan para pemilik kuasa bukan lagi untuk kepentingan masyarakat.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua menjadi kontra bagi para buruh maupun pekerja lainnya dimana Jaminan Hari Tua ( JHT ) baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun. Dari berbagai aksi penolakan yang sudah dilakukan oleh para buruh. Kementerian Ketenagakerjaan akan menyelesaikan revisi pada Maret ini, atau selambat-lambatnya April. ( https://finance.detik.com/moneter/d-5978587/aturan-pencairan-jht-masih-direvisi-syarat-56-tahun-bakal-dihapus 11/3/2022).
Jaminan Hari Tua ( JHT ) sendiri ialah program jangka panjang yang diberikan secara berkala bagi para peserta sebelum memasuki masa pensiun. Program JHT bisa dimanfaatkan bagi peserta yang seudah memasuki mas pensiun. Usia pensiun adalah peserta yang berhenti bekerja karena faktor-faktor tertentu, seperti mengundurkan diri, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan tidak sedang aktif bekerja di mana pun.
Peserta yang dimaksud disini ialah peserta yang sudah membayar iuran. Peserta yang bekerja minimal 6 bulan termasuk juga orang-orang asing dan sudah membayar iuran.
Iuran JHT sebesar 5,7% dari upah, dengan ketentuan 2,0% ditanggung pekerja, sedangkan 3,7% ditanggung oleh pemberi kerja. Apabila iuran program JHT tidak dibayarkan hingga waktu tenggat, akan terkena denda 2% setiap bulan keterlambatan. Dari data yang diambil dalam bpjsketenagakerjaan.go.id
Apakah dari program JHT ini dapat menguntungkan pekerja ?
Dilihat dari penerapan JHT dilingkungan pemberi kerja, tentu menjadi biaya yang tidak sedikit terutama pekerja yang saat ini bergaji lebih besar dari UMR. Sebab setiap pemberi usaha juga tidak mau merugi, dengan demikian bukan tidak mungkin program JHT akan dibebankan kepada pekerja dengan mengurangi anggaran untuk gaji. Pekerja bukan lagi tidak mendapat untung bahkan bertambah beban yang akan dikeluarkan setiap bulannya.
Dalam pandangan Islam JHT jelas merupakan salah satu dari praktek riba. Karena dari total premi yang dibayarkan setiap bulannya, ia mendapatkan lebih dari yang dibayarkan. Riba sendiri menurut bahasa merupakan tambahan. Penambahan ini lah yang merupakan riba dan hukumnya haram dalam Islam.
Allah ﷻ berfirman:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Al Baqarah: 275).
Haramnya riba bukan lagi menjadi hal yang bisa di tolerir, karena Allah ﷻ akan mengancam bagi siapapun pelaku riba :
Allah ﷻ berfirman :
فَاِنۡ لَّمۡ تَفۡعَلُوۡا فَاۡذَنُوۡا بِحَرۡبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوۡلِهٖۚ
"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu." (QS Al Baqarah 279).
Saat ini dimana negeri yang masih berasaskan liberal yakni bebas berpendapat serta kapitalis yang hanya mementingkan materi semata menjadi hal yang mudah untuk memberlakukan praktek riba. Dimana masyarakat dipaksa oleh negeri sendiri untuk melakukan praktek riba yang seharusnya negara bisa menghentikan praktek riba dengan menjamin kebutuhan masyarakat, malah sebaliknya dengan memberi fasilitas untuk mempermudah praktek riba itu sendiri.
Sangat berbeda jika aturan Islam yang diterapkan, terpenuhi nya kebutuhan tidak harus dibatasi oleh umur dan tidak hanya bisa dirasakan bagi orang-orang tertentu akan tetapi sampai dengan setiap individu masyarakat. Tidak lagi siapa yang membayar lebih banyak ataupun kekuasaan yang menjadi patokan, akan tetapi semua sektor baik petani, pegawai, nelayan dan berbagai profesi lainnya.
Dan bagi masyarakat yang mampu bekerja akan tetapi belum mendapatkan pekerjaan, negara akan memberikan lapangan kerja seluas-luasnya. Rakyat tidak lagi memikirkan kebutuhan kolegtif seperti, kesehatan, pendidikan, keamanan, jalan dan birokrasi karena negara akan menggratiskan kebutuhan tersebut.
Kembali lagi semua akan terbentuk jika syariatkan Islam diterapkan dalam institusi khilafah yang menjadikan politik ekonomi nya, menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat tanpa tapi. Bahkan bagi orang non muslim pun akan sama terjaminnya kebutuhan.
Sebagai negara yang menjadikan syariat Islam sebagai aturan dalam kehidupan, akan memahami setiap tanggung jawab yang harus dilakukan dan memahami konsekuensi yang akan didapat jika tidak dijalankannya setiap tanggung jawab. Baik itu kepala negara khilafah yakni khalifah ataupun setiap individu masyarakat harus sadar akan tanggung jawabnya masing-masing.
Khalifah akan bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan setiap rakyatnya, dan setiap individu masyarakat akan bertanggung jawab untuk mengoreksi khalifah jika menyeleweng dari syariat Islam serta beramar ma’ruf nahi munkar dalam bermasyarakat.
Rasulullah ﷺ bersabda :
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ingatlah kalian semua adalah penanggung jawab maka akan dimintai pertanggung jawaban atasnya. Dan imam/kepala negara yang berkuasa atas rakyat adalah penanggung jawab yang akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyatnya.” (Hadis Sahih Riwayat Bukhari, Hadis no. 2368; Muslim, Kitab al-Imarah, Hadis no. 3408).
Oleh karena itu, JHT bukan lagi menjadi solusi untuk terjaminnya kebutuhan masyarakat. Karena hanya dengan diterapkannya syariat Islam, kesejahteraan akan dirasakan bagi setiap individu masyarakat tanpa tapi.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ