Oleh Ummu Fauzi
(Ibu Rumah Tangga&Pegiat Literasi)
Korupsi merupakan penyakit akut negeri ini. Hal ini seakan sudah membudaya di kalangan para penguasa. Pergantian pemimpin seakan tidak bisa menghentikan praktik yang merugikan rakyat ini. Karena memang bukan pemimpin yang harus diganti ketika mau memberantas atau menghilangkan korupsi tetapi sistemlah yang harus diganti.
Apapun usahanya selama sistemnya masih yang sama tidak akan bisa menghilangkan korupsi. Seperti yang dilakukan oleh KPK dengan memberikan zona hijau kepada daerah yang dianggap berhasil menangani korupsi, kali ini Kabupaten Bandung yang mendapat nilai zona hijau.
Berdasarkan Monitoring Center for Prevention (MCP) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) Kabupaten Bandung pada tahun 2022 mendapat nilai 76,98. Dengan nilai tersebut Kabupaten Bandung mendapat peringkat ke 13 dari 27 kabupaten/kota seprovinsi Jawa Barat dan berada dalam zona hijau pencegahan korupsi. Menurut Inspektur Inspektorat Kabupaten Bandung Yudhi, penilaian zona hijau ini dikarenakan Pemerintah Kabupaten Bandung berhasil melakukan upaya pencegahan korupsi, dan angka 76,98 persen ini masih harus ditingkatkan lagi. (timesindonesia, 28/2/22)
Pemberantasan korupsi yang diperlihatkan pemerintah bersama stafnya tak jauh berbeda dengan rezimnya. Selama masih ada dalam kerangka kapitalisme sekuler adalah sebuah kemustahilan. Sistem sekuler menafikan nilai-nilai agama dalam aturan bernegara sehingga melahirkan sosok-sosok aparatur negara yang miskin imptak dan oportunis.
Praktik korupsi akan terus ada karena ketakwaan individu, masyarakat dan negara tidak terwujud di tengah umat, terutama saat syariat dijauhkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Zona hijau atau merah bukan tolok ukur keberhasilan pencegahan korupsi tapi pada sistem. Selama sistemnya masih sama tindak korupsi akan sulit diberantas apalagi sanksi yang diberikan tidak berefek jera.
Realitas hukum sekuler ini mengingatkan kita pada realitas hukum jahiliyyah sebelum datangnya Islam. Jika ada rakyat kecil yang mencuri akan mendapatkan hukuman yang berat tetapi ketika pejabat atau orang kaya yang mencuri akan dimaafkan. Realitas hukum sekuler tidak berpijak kepada benar dan salah atau halal dan haram tetapi berdasarkan hitung-hitungan materi. Hukum bisa ditebus dengan materi sesuai permintaan.
Berbeda dengan Islam yang sudah punya aturan yang langsung dari Sang Pencipta. Untuk memberantas korupsi, Islam memiliki pilar-pilar pengokoh agar kehidupan kembali sesuai arah Islam seperti halnya dibutuhkan tiga pilar beribadah, yaitu: ketakwaan individu, masyarakat dan negara, berperan penting dalam mewujudkan kehidupan Islam.
Ketakwaan individu sangat penting, individu harus memahami adanya hubungan antara manusia dengan pengawasan Allah dan ada pertanggungjawaban di Hari Akhir nanti dalam setiap aktivitasnya. Sehingga tidak terjadi pengambilan sesuatu yang bukan haknya oleh para pejabat.
Masyarakat dalam sistem Islam memiliki kesadaran pentingnya saling mengingatkan dalam perkara takwa sebagai perwujudan amar makruf nahi mungkar. Mereka turut mengawasi kinerja para pejabat atas dasar keimanan semata. Tidak kalah penting peran negara dalam penerapan sanksi yang akan membuat jera pelaku korupsi.
Negara dalam sistem Islam akan memberikan arahan sekaligus sanksi bagi pelaku korupsi (ghulul), termasuk mekanisme pembuktian terbalik bagi para pejabat negara. Cara efektif untuk menjerat para pelaku korup pada masa Khalifah Umar bin Khaththab yaitu melakukan pembuktian terbalik kepada para gubernurnya. Caranya sederhana, para pejabat harus bisa membuktikan harta mereka pada saat masa akhir jabatannya. Perbandingan antara sebelum dan sesudah masa jabatannya ketika ada kelebihan maka pejabat itu harus menjelaskan dengan jujur dari mana harta itu didapatnya.
Negara tinggal menghitung tingkat kewajarannya. Kalau tidak bisa menunjukan kelebihannya dari mana didapat, secara legal atau tidak, maka itu disebut korupsi. Hartanya itu bisa langsung disita oleh negara.
Sanksi haruslah berefek jera, dalam Islam sanksi bagi koruptor dapat berupa penyitaan harta sebagaimana Umar bin Khaththab ra. yang pernah menyita harta Abu Sofyan. Selain itu sanksi penjara sesuai keputusan hakim, publikasi atas tindak korupsi, stigmatisasi, cambuk hingga hukuman mati.
Tidak ada toleransi sedikit pun dalam Islam terhadap tindak korupsi. Kasusnya diusut tuntas jika ada pejabat yang terbukti korupsi. Keadilan akan terwujud sehingga rakyat merasa aman dan tentram. Tidak perlu ada zona merah atau zona hijau untuk menentukan tingkat pencegahan korupsi. Semua itu bisa dilaksanakan apabila sistem Islam diterapkan secara kaffah atau menyeluruh, bukan dalam demokrasi yang malah menumbuhsuburkan korupsi.
Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji), maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud)
Wallahu a’lam bishawwab