Oleh Ummu Fatiha
(Ibu Rumah Tangga&Pegiat literasi)
Belum reda polemik minyak goreng, masalah baru kini muncul yakni mahalnya harga kedelai, sebagaimana kita ketahui bahwa kedelai yang merupakan bahan baku utama tempe dan tahu, dua makanan yang sangat akrab bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Harga kedelai impor melangit, kondisi ini menyebabkan produsen tahu dan tempe menghentikan produksi dan meminta pemerintah menyelesaikan tata niaga impor kedelai.
Ketua koperasi produsen tempe dan tahu Indonesia (Kopti) Kabupaten Bandung Ghufron Cokro Valentino sebagaimana dilansir oleh jabarexpress.com menjelaskn bahwa harga kedelai di Jawa barat naik 30%, dari sebelumnya sekitar 9 ribu menjadi lebih dari 11 ribu, sejak November 2021.
Atas kondisi ini para pengusaha tahu tempe di wilayah Jawa Barat dan Jabodetabek melakukan mogok produksi pada 21 Februari hingga 23 Februari 2022.
Aksi mogok tersebut dilakukan untuk memberitahukan kepada masyarakat karena posisi pengusaha kecil saat ini terjepit dan dalam keadaan gelisah, karena harga kedelai sudah tidak terkendali. Para distributor tahu dan tempe berharap pemerintah lebih serius mengawal tata niaga, bukan menyerahkannya ke mekanisme pasar, tuntutan yang telah disampaikan sejak tahun 2008.
Harapan pengusaha tahu tempe seharusnya didengar oleh pemerintah, terlebih mayoritas mereka adalah UMKM dengan modal yang terbatas. Negara wajib hadir untuk menjamin suplai dan distribusibahan baku sehingga permasalahan ini tidak terus berulang. Kapitalisme telah menyebabkan keberpihakan pemerintah lebih cenderung kepada kapitalis besar. Sehingga wajar jika negara tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan pokok pengusaha tahu dan tempe.
Penyebab kenaikan harga kedelai merupakan akibat dari suplai kedelai dunia yang terbatas. Terjadi penurunan produksi kedelai di Argentina dan Brasil. Praktis, suplai kedelai dunia hanya mengandalkan dari Ameika Serikat. Terlebih Cina memborong kedelai produksi Amerika Serikat untuk melakukan reformasi pakan babi. Aksi ini menyebabkan harga kedelai dunia melonjak naik, tak bisa dihindari Indonesia yang mengimpor kedelai dari Amerika Serikat terkena dampaknya.
Indonesia masih impor kedelai, hal ini karena ada permintaan dari para pengusaha dan perajin tahu tempe. Mereka memilih menggunakan kedelai impor karena kualitasnya yang lebih baik dibanding kedelai lokal. Hanya saja pemerintah tidak boleh hanya cukup mengandalkan impor, pemerintah harus berpikir untuk swasembada kedelai sehingga rakyat mendapatkan bahan baku kedelai berkualitas dengan harga terjangkau.
Permasalahan ini tidak akan terjadi jika tata pertanian dan perniagaan pangan masyarakat menggunakan aturan Islam. Islam memiliki cara tersendiri untuk merealisasikan ketahanan pangan yang merupakan kebutuhan primer yang wajib dipenuhi. Produktivitas lahan sangat diperhatikan oleh Islam. Islam mendorong untuk mengidupkan tanah mati, tanah ini dapat menjadi hak milik orang yang menghidupkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam
_“Siapa saja yang telah menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”._ (HR.Tirmidzi, Abu Dawud).
Siapapun yang memiliki tanah jika ia telantarkan selama tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Tanah yang diterlantarkan akan diambil negara dan diberikan kepada siapa pun yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil. Konsep seperti ini sangat cocok di Indonesia, mengingat Indonesia adalah wilayah yang subur, akan sangat disayangkan jika banyak lahan pertanian yang seharusnya produktif malah menjadi tanah yang mati karena tidak ada yang mengelola. Kalau pun dikelola nyatanya bukan untuk kepentingan masyarakat melainkan dialihfungsikan menjadi aset kapitalis dengan segudang permasalahannya.
Syariah Islam yang diterapkan negara menjamin mekanisme pasar yang baik. Negara memiliki kewajiban untuk menghilangkan riba, penimbunan, penipuan, dan monopoli. Negara wajib membuka akses informasi pasar agar semua orang bisa mendapatkannya dan memperkecil peluang terjadinya kesalahan informasi.
Begitu pula dengan rantai pasokan pangan negara akan memenuhinya dan mencatat kebutuhan umat tanpa kecuali sebagaimana masa Rasul saw saat mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai _katib_ untuk mencatat hasil produksi _Khaybar_ dan hasil produksi pertanian. Mekanisme pasar dilakukan dengan kebijakan pengendalian _supply_ and _demand_ bukan dengan pematokan harga. Penjagaan terhadap performa produksi, stabilitas pasar dan jaminan rantai pasokan akan menggairahkan produksi, distribusi dan konsumsi komoditas pertanian.
Lebih dari pada itu negara wajib menghentikan segala aktivitas impor dan mewujudkan kemandirian pangan dengan cara mengembangkan teknologi pertanian yang akan meningkatkan hasil panen, agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi. Upaya ini dapat dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan peningkatan sarana produksi pertanian yang lebih baik, karena itu negara menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian.. Para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas seperti modal, peralatan, benih, teknologi, pemasaran, informasi baik itu secara langsung atau semacam subsidi. Ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan memperluas lahan pertanian, dengan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian, konsep menghidupkan tanah mati dan mendistribusikan lahan produktif yang tidak diolah menjadi program utama dalam ekstensifikasi.
Sejarah mencatat bahwa pada masa kekhilafahan Islam tercatat nama-nama ilmuan yang mengembangkan pertanian. Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah (904 M) menyusun Kitab al-falaha al-nabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang menjadi dasar revolsi pertanian di dunia, kitab ini membahas teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya ke atas hingga meningkatkan kualitasnya. Barat mengenal teknik Ibn al-Wahsyiyah ini dengan sebutan“Nabatean Agriculture”. Para insinyur di dunia Islam telah merintis teknologi terkait air, baik untuk menaikkannya ke sistem irigasi, atau menggunakannya untuk menjalankan mesin giling. Dengan teknologi seperti ini, penggilingan di Baghdad pada abad ke-10 mampu menghasilkan 10 ton gandum per hari. Berbagai variasi mesin air yang bekerja secara otomatis telah ditemukan Al-Jazari pada tahun 1206. Semua temuan mesin buatannya ini tetap aktual hingga saat ini, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.
Sungguh luar biasa konsep serta nilai syariah Islam dalam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Untuk itu sudah menjadi kewajiban kita mengingatkan pemerintah agar mereka benar dalam melayani urusan umat, termasuk menyelesaikan persoalan pangan dengan menerapkan syariah Islam yang bersumber dari Allah Swt. yakni pencipta manusia dan seluruh alam raya.
_Wallahu a’lam bi ash shawwab_