Oleh : Ummu Fairuz
Sebagai seorang muslim, sudah menjadi konsekunsi bagi kita untuk menjalankan seluruh perintah maupun larangan dari Allah Swt. Sebagaimana dalam firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (TQS. Al-Baqarah ayat 208).
Islam bukan hanya sekadar agama yang mengatur perkara ibadah, melainkan seluruh aspek kehidupan. Aturan Islam tidak pernah berubah dari satu masa ke masa karena seluruhnya sudah jelas dan terperinci di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Akan tetapi, saat ini banyak perkara hukum Islam yang berubah, sebab disesuaikan kebutuhan manusia itu sendiri. Padahal dalam menentukan suatu hukum perlu penggalian yang mendalam dan fakta yang terperinci. Ditambah harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki keilmuan agama mumpuni, seperti bahasa arab, ulumul qur'an, ulumul hadist, ushul fiqih, dan sebagainya. Biasanya disebut mujtahid, dan proses penggalian hukumnya dinamakan ijtihad.
Selain itu, dalam menjalankan hukum Islam pun haruslah ridha dan sabar. Tidak berdasarkan hawa nafsu, sehingga bisa digonta-ganti sesuai keinginan pribadinya. Seperti yang sedang viral minggu kemarin, berkenaan pengeras suara di musola atau masjid ketika hendak azan berkumandang. Dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas bahwa volumenya maksimal 100 dB (desibel).
Kebijakan tersebut disesuaikan Surat Edaran Menteri Agama No 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola. Hal itu didukung oleh beberapa orang, salah satunya Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Pemuda, Muhammadiyah Sunanto menyatakan sudah cukup baik dan relevan dalam menjaga keharmonisan masyarakat. Selain itu juga akan menguatkan toleransi antar umat beragama. Karena selama ini pun sudah diterapkan, ketika waktunya azan dan iqamah menggunakan pengeras suara luar. Sedangkan saat diadakan kajian, maka menggunakan pengeras suara dalam. (Nasional.okezone.com, 10/03/2022).
Dipertegas juga Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama, Thobib Al Asyhar, menegaskan bahwa aturan pengeras suara itu berkaitan dengan toleransi. Karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural. (Cnnindonesia.com, 24/02/2022).
Kejadian tersebut tentu membuat umat Islam resah. Sebab, selama ini umat berpendapat bahwa azan adalah panggilan salat. Sebagai bentuk pengingat orang-orang sekitar bahwa waktu salat telah tiba. Namun atas nama toleransi, semua biasa diubah penggunaannya.
Manakala aturan kehidupa dibuat oleh manusia, pasti menyebabkan pro dan kontra. Mengapa? Karena setiap manusia mempunyai pemikiran tersendiri dalam menghadapi perkara. Apa yang menurut dirinya baik, belum tentu menurut orang lain, begitupun sebaliknya.
Inilah yang terjadi di Indonesia, yang mayoritasnya beragama muslim, bahkan pemimpinnya muslim, tetapi aturannya tidak berdasarkan Islam. Wajar saja, perkara kumandang azan yang keras saja dipersoalkan. Padahal hukumnya sudah jelas.
Hal ini semakin menegaskan bahwa aturan yang berlaku merupakan sekuler. Karena sangat jelas, adanya pemisahan nilai-nilai agama dari kehidupan. Agama hanya sebatas ritual ibadah saja, bukan untuk mengatur tatanan kehidupan. Nah, wujud dari aturan sekuler ini nampak dari adanya pluralitas. Dimana wajib menyamakan kedudukan semua agama secara sama rata, tidak boleh ada yang menonjol.
Menurut pemerintah, azan itu bibit-bibit radikalisme. Sehingga, harus diatur volume azan itu. Terutama tatkala umat Muslim bertempat tinggal di wilayah yang mayoritasnya non Muslim, maka dikhawatirkan mengganggu.
Dampaknya akan selalu berubah, terutama ketika banyak yang menentangnya. Namun, tetap saja, suara umat Islam tidak lantas didengarkan, hanya sebatas pendapat saja. Sebab, adanya aturan tersebut ditopang sistem demokrasi ala kapitalisme.
Sistem yang membiarkan berpendapat sebanyak-banyaknya, namun haknya tak langsung dipenuhi. Selain itu, bebas melakukan apapun sesuka hati, sesuai kepentingannya. Terutama ketika menjabat.
Astagfirullah.
Seorang Muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu. Sebab, ilmu Islam itu begitu luas cakupannya. Mulai dari politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya, dan sebagainya. Semuanya dibahas dalam Islam secara terperinci.
Tujuannya untuk menjadikan Muslim yang sempurna. Bertindak sesuai aturan Islam. Karena Islam itu agama yang berasal dari Allah swt., Sang Pencipta. Maka, mengetahui dengan jelas apa yang dibutuhkan oleh umatnya.
Sehingga, hukum azan menurut kesepakatan ulama adalah fardu kifayah, yakni menjadi dosa apabila tidak ada satu orang pun di tengah masyarakat muslim yang mengumandangkannya saat waktu salat tiba. Artinya sendiri, azan berarti al-i’lan (pengumuman/notifikasi). Dan azan itu perintah Allah swt., yang datang setelah perintah salat.
Maka, suara azan memang harus keras, karena kalimat Allah adalah kalimat yang tinggi. Dan ketika banyam orang yang berdatangan untuk menunaikan salat, maka muazin akan mendapatkan pahala. Sabda Rasulullah saw. dari Abdullah bin Umar ra., “Dahulu, saat kaum muslim datang ke Madinah, mereka berkumpul. Mereka memperkirakan waktu salat tanpa ada yang menyeru. Hingga suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Ada yang mengatakan, ‘Gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara.’ Yang lain menyatakan, ‘Gunakan saja trompet seperti trompet Yahudi.’ Umar pun berkata, ‘Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru salat?’ Lalu Rasulullah saw. bersabda, ‘Wahai Bilal, berdirilah dan serulah untuk salat.'” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis diatas menunjukkan jalan keluar bagi umat Islam ketika menghadapi suatu permasalahan, yakni dengan kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunah, atau pandangan ulama. Sebab, hukum Islam itu indah dan bermanfaat bagi Muslim dan non Muslim.
Sungguh nyata adanya bahwa aturan yang berasal dari Sang Pemilik Kehidupan pasti akan mengantarkan pada keberkahan.
Wallahu a'lam bishshawab.