Ibu Bunuh 3 Anaknya: Buah Kapitalis Sekuler



Oleh: Hamnah B. Lin

         Kanti Utami, seorang ibu muda di Desa Tonjong, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes tega membunuh anak kandungnya, Minggu (20/3/2022). Kini, pelaku yang berusia 35 tahun itu mendekam di penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (panturapost, 20/3/2022).
         Dalam sebuah rekaman video yang diterima PanturaPost.com, Kanti membuat pengakuan usai membunuh anaknya. Berbicara dari dalam sel penjara, dia mengaku ingin menyelamatkan anak-anaknya. Meski dengan cara yang salah, dia meyakini kematian anak-anaknya adalah jalan terbaik. Dia mengaku selama ini kurang kasih sayang. Dia mengaku sudah tidak sanggup lagi hidup dengan ekonomi yang pas-pasan. Apalagi, dia mengaku suaminya sering menganggur.
         Sungguh miris, nyawa rakyat hilang di saat penguasa memilih hadir di belahan wilayah lain untuk menikmati perhelatan balap motor MotoGP yang penuh klenik bentuk kesyirikan yang tak terampuni dosanya.
         Dan sungguh memprihatinkan, seorang ibu tega berupaya membunuh 3 anaknya sekaligus. 1 meninggal dan yang 2 terluka parah. Dengan alasan kurang kasih sayang suami karena suami merantau di jakarta dan ternyata sering meenganggur tidak ada pekerjaan. Sehingga hidup mereka pas-pasan. Dan sebagai bentuk sayang kepada anak-anaknya agar tidak susah, maka caranya adalah dengan membunuh anak-anaknya.
         Pola pikir seperti apa ini, takut tidak ada rizki hingga membunuh jiwa yang tak bersalah. Tentu si ibu ini tidak bisa disalahkaan sepenuhnya. Si ibu menjadi depresi karena tekanan ekonomi yang terus datang, kebutuhan makan sehari-hari bagi dirinya dan 3 anaknya tidak bisa ditunda lagi. Kurangnya kasih sayang suami membuat seorang ibu menjadi rentan pemarah dan stres, hingga anak-anak yang mejadi sasarannya.
         Ironi di negeri kaya sumber daya alam. Rakyatnya menderita bak ayam hidup dalam kandang tanpa tersedianya pakan. Janji-janji pemimpin ibarat makanan sebagai pemancing bagi ayam agar mau masuk kandang penderitaan. Ayam akan mati sengsara jika diam tidak mendobrak keluar dari kandang penderitaan.
         Kandang itu adalah kapitalis sekuler yang diterapkan di negeri ini. Tampak menarik dan menjanjkan kesejahteraan, namun nyatanya kepedihan hingga kematian yang diakibatkan. Yakni sistem yang memisahkan agama dari urusan sehari-hari, baik urusan dalam individu, masyarakat bahkan urusan negara. Wajib dijauhkan, apapun akan dilakukan demi nafsu kebebasan.
         Negara tak mampu memenuhi hajat hidup rakayatnya. Negara gagal mensejahterakkan rakyatnya. Karena negara kapitalis hanya berorientasi pada kesejahteraan segelintir penguasa dan pengusaha. Semua berangkat dari pola pikir kapitalis sekuler yang juga dibangun dengan azaz manfaat. Senyampang berkuasa manfaatkan untuk mengeruk kekayaan negara maupun rakyat untuk memperkaya diri, kelompoknya dan tuannya.
          Negara tidak menjadi pelayan rakyat, negara tidak tahu fungsi dirinya. Yang salah satunya adalah mengembalikan peran para suami untuk mencari nafkah, sehingga lapangan pekerjaan akan dibuka seluas-luasnya bagi para suami. 
          Sebagaimana dalam pandangan Islam baahwa mencari nafkah adalah salah satu kewajiban yang memiliki banyak keutamaan. Nabi saw. menyebutkan bahwa harta yang terbaik adalah yang didapat dari jerih payah sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
         Kewajiban mencari nafkah ini memiliki rincian dan ketentuan tersendiri dalam Islam. Pertama: Kaum perempuan yaitu ibu, istri, saudara perempuan dan anak perempuan tidak dibebani kewajiban mencari nafkah. 
Kedua: Kaum lelakilah yang diperintahkan untuk menjamin kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan tempat tinggal bagi tanggungan mereka secara makruf. 
          Nafkah seorang lelaki untuk keluarganya adalah dengan kadar yang makruf, sesuai kelayakan masyarakat, namun juga sesuai kemampuannya dalam memberi nafkah. 
         Selain kewajiban nafkah individu, Islam juga menekankan kewajiban sosial. Islam mendorong sesama Muslim untuk mengembangkan sikap peduli dan tolong-menolong terhadap saudaranya yang berada dalam kesulitan. Orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah ﷻ dan Hari Akhir diingatkan oleh Nabi saw. untuk berjiwa pemurah dan gemar memberikan bantuan kepada sesama Muslim. Bagi mereka ada ganjaran yang besar di sisi Allah  ﷻ.
         Demikian juga dalam hal kedudukan bagi perempuan, Islam sangat memuliakannya. Perempuan bukan penggerak ekonomi, melainkan perempuan pencetak generasi. Perempuan harus mengoptimalkan perannya sebagai ibu dan pengatur urusan rumah tangga (ummu wa rabbatul bait). Perempuan juga sebagai pendidik bagi anak-anaknya. 
          Selain itu, Allah tidak membedakan penciptaan perempuan dan laki-laki. Yang membedakannya hanya ketakwaan individu. Mereka diciptakan dengan kemampuan masing-masing sesuai dengan fitrahnya. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al Huhurat ayat 13 yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
          Dalam islam, hukum perempuan bekerja adalah boleh. Asalkan perempuan tidak mengabaikan kewajiban utamanya sebagai ummun wa rabatul bait dan pekerjaan tersebut tidak melanggar hukum syara. Walaupun perempuan tidak bekerja, bukan berarti para perempuan tidak sejahtera. Karena perempuan wajib diberi nafkah oleh laki-laki, baik ayah, suami ataupun anaknya. Ataupun siapa saja laki-laki dari keluarganya yang wajib menanggung nafkahnya.  
         Jika tidak memiliki keluarga, atau ada namun keluarga tersebut tidak mampu menanggung nafkahnya, maka Islam pun memiliki solusi yang rinci. Sehingga perempuan tetap dijamin sejahtera, tanpa harus bekerja. 
Pertama, kewajiban nafkah beralih ke kerabat atau tetangga. Rasulullah ﷺ. bersabda: "Tidak beriman kepada-Ku seorang yang tidur malam dalam keadaan kenyang, sementara tetangga sebelahnya lapar dan dia mengetahui” (HR. al Bazzar dan Thabarani)
Kedua, jika tidak ada kerabat atau tetangga yang mampu menanggung pula, maka kewajiban itu beralih pada negara. Harta tersebut diambil dari kas baitulmal. Sabda Rasulullah ﷺ:
"Barang siapa meninggalkan harta (kekayaan), maka (harta itu) untuk ahli warisnya, dan barang siapa meninggalkan keluarga (miskin yg tak mampu), maka itu menjadi tanggunganku kepadaku” (H.R. Bukhari).
Ketiga, jika negara tidak mempunyai kas lagi untuk menanggung, maka kewajiban ini kembali beralih ke umat Islam yang mempunyai kelebihan harta. Berkata Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281)
“Orang-orang kaya di tempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin)."
         Semua konsep diatas terbukti pernah diterapkan dalam sistem islam yakni khilafah islamiyah. Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, dimana ia memberikan perhatian dan tanggung jawabnya sebagi pemimpin dalam menjamin kebutuhan para ibu. 
         Dimana kisahnya yakni khalifah Umar mengajak asistenya Aslam melakukan ronda keliling kota untuk memastikan kondisi rakyatnya. Pada malam itu, Umar mendengar suara anak-anak menangis dari sebuah pondok. Anak itu menangis karena kelaparan. Sedangkan ibunya memasak air dan batu untuk membuat anak tenang dan tertidur. Melihat rakyatnya masih ada yang kelaparan hati khalifah Umar teriris. Lalu, umar ke Baitul Mal dan mengambil bahan makanan yang diperlukan ibu dan anak-anaknya. Asistennya Aslam meminta agar Umar menunda pekerjaan tersebut. Umar berkata, “apakah kamu menjamin bahwa besok aku masih hidup?”
         Ketika Aslam menawarkan bantuan untuk membawa gandum, Umar pun menjawab “Aslam, jangan kau jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau bisa menggantikanku mengangkat karung gandum ini, tetapi apakah kau mau memikul beban di pundakku ini kelak di Hari Pembalasan?”
          Sungguh luar biasa teladan kepemimpinan dalam negara yang menerapkan sistem islam. Dalam Islam pemimpin bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, dan tidak akan membiarkan rakyatnya menderita, termasuk para ibu. Sebab kepemimpinan mereka akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah ﷻ . 
Wallahu a'lam biasshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak