Oleh: F.Dasti
Rakyat kembali dibuat menjerit, setelah langkanya minyak goreng dan mahalnya kebutuhan pangan. Kali ini disebabkan karena mulai 27 Februari 2022, PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) menaikkan harga LPG non subsidi. Kenaikan tersebut mulai dirasakan pada awal Maret ini oleh masyarakat, terutama yang sehari-hari menggunakan LPG tersebut. Meskipun pengguna gas LPG non subsidi tidak sebesar LPG subsidi 3 kg, namun bukan berarti tidak terlalu berdampak.
Dilansir dari kompas.com (4/3/2022), Kenaikan ini membuat banyak masyarakat yang semula menggunakan LPG 12 kg beralih ke gas subsidi 3 kg atau biasa disebut gas melon. Kondisi beralihnya penggunaan gas non subsidi ini bisa berpengaruh kepada kelangkaan gas subsidi 3 kg.
Selain itu Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai selain berpotensi mendorong banyak konsumen untuk beralih menggunakan LPG subsidi, efek lainnya juga berpotensi mendorong praktik pengoplosan dan bisa menimbulkan risiko keamanan (kontan.co.id 2/3/2022)
Salah satu dampak yang juga tidak bisa dihindari adalah semakin membengkaknya biaya produksi para pelaku usaha yang selama ini setia menggunakan LPG non subsidi. Kondisi ini akan semakin membuat masyarakat menjerit dan tentunya akan memiliki dampak yang semakin luas bagi masyarakat. Seperi kemiskinan, pengangguran yang semakin bertambah, bahkan stres akibat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Pemerintah sendiri menyampaikan kondisi ini tidak bisa dipisahkan dari naiknya harga minyak dunia. Selama ini bergejolaknya harga minyak dunia selalu berdampak pada harga minyak dan gas di negeri ini. Dari sini kita bisa tergambar bahwa sistem ekonomi kapitalisme-liberal dengan penyerahan harga kepada mekanisme pasar sebenarnya tidak ideal bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem ini kenaikan harga akan menjadi hal yang sangat wajar, meskipun akan berdampak pada semakin sulitnya kehidupan masyarakat. Selain itu dalam sistem kapitalisme-liberal negara dituntut hanya bertindak sebagai regulator. Hal ini akan menjadikan pengurusan urusan masyarakat tidak akan mampu dijalankan secara maksimal oleh negara. Di sisi lain justru sumber daya alam kita yang harusnya bisa dikelola secara penuh dikuasai oleh asing atau swasta karena sistem kapitalisme memang menjamin adanya liberalisasi segala bidang termasuk sumber daya alam.
Kondisi ini jelas berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, Pemerintah wajib memelihara kepentingan masyarakat dan bertanggung jawab di hadapan Allah SWT atas hal tersebut. Termasuk memastikan stabilitas harga sehingga tidak berdampak kepada kesulitan yang dihadapi masyarakat.
Rasul saw. bersabda : Setiap kalian adalah pengatur atau pemelihara dan setiap kalian bertanggung jawab atas pemeliharaannya. Seorang pemimpin yang memimpin masyarakat adalah pengatur atau pemelihara dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, ada pembagian kepemilikan secara jelas. Sehingga ada larangan penguasaan sumberdaya alam oleh swasta ataupun asing. Semua itu harus dikelola negara dan dikembalikan untuk kebutuhan masyarakat. Kalaupun negara masih kesulitan mengelolanya, maka negara berkewajiban membayar orang yg mampu mengelola bukan dengan menyerahkan penguasaannya kepada asing atau swasta. Di sisi lain negara bertanggung jawab mewujudkan sistem pendidikan yang mampu memunculkan orang-orang yang kelak akan mengelola sumber daya alam tersebut.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb