Oleh : Ummu Aimar
PT Pertamina (Persero) melalui Sub Holding Commercial & Trading, PT Pertamina Patra Niaga bahwa harga gas LPG 12kg di tingkat agen naik menjadi Rp 187 ribu per tabung. Apa kata agen?
Beberapa agen yang ditemui mengungkap, bila dijual secara eceran, harga gas LPG 12 kg per tabung bisa mencapai Rp 200 ribu.
Sebelum melakukan transaksi para agen menginformasikan kenaikan harga kepada para pembelinya.
"Hari ini Rp 200 ribu, baru naik jadi hari ini. Kita juga bilangin ke pembeli harganya naik ya, mereka cuma nanya sih 'dari kapan mba?'," kata Dini salah satu agen gas LPG di Cirendeu, saat ditemui detikcom.
Dini juga mengatakan, perbedaan harga jual gas LPG 12 kg dengan sebelumnya mencapai Rp 30 ribu. Untuk traffic penjualannya sendiri belum terlalu terlihat karena sejauh ini langganannya masih membeli.
Sedihnya Agen-Konsumen Karena LPG Non Subsidi Naik Harga
"Kemarin tanggal 26 jual eceran Rp 170 ribu, baru naik jadi Rp 200 ribu hari ini. Penjualannya sih masih sama ya ga berkurang atau bertambah, karena langganan udah pasti itu itu juga," ujar Dini.
Harga yang dijual para agen ke warung-warung atau restoran mencapai harga Rp 190 ribu. Ini merupakan harga net yang dijual sama rata dengan beberapa agen lainnya yaitu, agen gas LPG, Audrey yang mengatakan hal serupa.
ditemui 28/2/2022 (https://finance.detik)
Rakyat dibuat merasa resah kembali. Seakan tidak henti hentinya persoalan dinegeri ini. Setelah urusan minyak, telur, cabai, bawang, tahu tempe, dan daging yang harganya terus melangit, kali ini rakyat harus menerima keputusan zalim, yang mana kita tahu harga LPG naik. Disaat sama halnya kebutuhan pokok lainnya masih dengan harga tinggi.
Padahal, sejak pandemi yang entah berakhir kapan karna belum adanya solusi tuntas , rumah tangga dan para pengusaha kecil sudah benar-benar kelabakan. Sudah jelas ekonomi saat ini sedang sulit, namun kebutuhan semakin tinggi. Bagi rakyat kecil ini hal yang sangat sulit jika semua serba naik. Karna gas merupakan kebutuhan sehari hari.
Beragam Alasan
Pihak PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) menjelaskan bahwa keputusan yang berlaku sejak 27/2/2022 ini diambil setelah mempertimbangkan perkembangan industri migas dunia yang makin tidak bisa dikendalikan.
Harga rata-rata Contract Price Aramco (CPA) saat ini disebut-sebut naik lagi sekitar 21% dari harga rata-rata sepanjang 2021. Artinya, penyesuaian harga mau tidak mau harus dilakukan. Padahal, pada 25/12/2021 lalu, Pertamina baru saja melakukan penyesuaian harga. Alasannya, tren harga CPA saat itu juga terus meningkat. Bahkan, pada November, kenaikan harga CPA sudah meningkat hingga 74%dari harga saat penyesuaian terakhir pada 2017.
Pihak Pertamina juga berusaha meyakinkan bahwa kebijakan ini tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Ini karena pada 2022 ini pengguna gas nonsubsidi hanya ada sekira 7% dari total pengguna LPG nasional, sedangkan 93% menggunakan gas.
Harga LPG sering kali tidak terkendali karena kita sangat tergantung impor. Sementara, harga barang-barang impor tentu sangat tergantung pada kondisi pasar dan situasi internasional. Benar-benar di luar kendali.
Pemerintah sendiri tampak tidak berdaya untuk mencari solusi hingga ke akar. Kalaupun ada, sifatnya hanya pragmatis dan tidak jelas arahnya ke mana. Selain cenderung berwacana, juga tampak banyak kepentingan disana. Bukan solusi tuntas yang menyelesaikan masalah kebutuhan rakyatnya.
Adapun wacana penggunaan gas bumi sebagai pengganti LPG juga tampak tidak serius untuk segera diwujudkan. Pada 2021 lalu saja, infrastruktur jaringan gas kota yang berhasil dibangun baru mencapai 127 ribu sambungan rumah. Padahal, potensi sumber daya gas bumi jelas sangat besar sehingga besarnya kebutuhan masyarakat terhadap energi bisa dipenuhi dengan biaya yang sangat murah.
Kerjasama antara penguasa dan pengusaha dalam menyetir kebijakan negara juga sangat kental. Wajar jika banyak kebijakan publik yang hanya fokus pada kepentingan pebisnis, sedangkan kepentingan rakyat banyak kerap dikorbankan.
Bahkan, dalam sistem ini, sumber-sumber kekayaan yang semestinya merupakan milik publik, seperti migas dan sumber daya alam lain yang jumlahnya melimpah ruah ini bisa dimiliki dan diatur oleh pemilik uang. Sementara rakyat hidup dalam posisi tercekik karena mesti membayar mahal segala hal yang semestinya menjadi hak mereka.
Sebagai contoh, pemerintah telah menetapkan beberapa proyek strategis nasional terkait eksplorasi gas alam. Tercatat ada Proyek Gas Laut Dalam (Indonesia Deepwater Development/ IDD) senilai US$6,98 miliar, Proyek Jambaran Tiung Biru di Cepu senilai US$1,53, proyek Train 3 Kilang LNG Tangguh senilai US$8,9 miliar, dan lain-lain.
Namun, masalahnya, proyek-proyek ini digarap dengan skema bisnis, baik dioperatori swasta lokal, bahkan asing. Meskipun proyek ini berhasil, nyatanya hanya menyelesaikan sebagian problem ketersediaan barang saja. Sementara, jangkauan distribusi dan harganya tetap saja bermasalah.
Kekisruhan dan kegagalan pemerintah nampak jelas jika negara ini masih menerapkan sistem saat ini, karna sejatinya semua kebijakan bukan sepenuhnya untuk kepentingan rakyatnya.
Namun inilah konsekuensi penerapan sistem kepemimpinan sekuler kapitalisme. Asas kepemimpinannya jauh dari nilai-nilai kebaikan, bahkan meniscayakan para penguasa menggunakan kewenangannya untuk meraih keuntungan pribadi dan maslahat bagi segelintir orang.
Hal ini sangat berbeda jauh dengan sistem kepemimpinan Islam. Dalam Islam, maslahat umat wajib menjadi salah satu visi kepemimpinan. Untuk itu, Islam memberikan seperangkat aturan yang menuntun penguasa untuk mewujudkan tanggung jawabnya sebagai pengurus dan pelindung umat hingga orang per orang bisa disejahterakan.
Aturan Islam begitu solutif, melingkupi seluruh bidang kehidupan, termasuk ekonomi. Dalam ekonomi Islam, kepemilikan diatur sedemikian rupa. Di antaranya, mengatur bahwa sumber daya alam, termasuk energi, merupakan kepemilikan umum. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, api, dan padang gembalaan.” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)
Oleh karenanya, tidak boleh ada pihak yang menghalangi umat mendapatkan haknya, bahkan oleh negara. Negara dalam hal ini hanya bertindak sebagai pengelola saja. Itu pun harus memperhatikan prinsip-prinsip Islam.
Adapun pihak swasta (apalagi asing) diharamkan untuk menguasainya karena kondisi ini bisa membuka peluang ketergantungan, bahkan penjajahan. Apalagi pengelolaan berbasis kapitalisme tidak jarang memunculkan berbagai kemudaratan, seperti munculnya krisis lingkungan. Padahal, urusan kedaulatan dan ketahanan energi, serta kelestarian lingkungan merupakan hal krusial, bahkan wajib dalam Islam.
Urusan LPG mahal ternyata hanyalah satu dari sederet problem yang akan terus jika sistem nya yang dipakai saat ini. Jika kita ingin menyelesaikannya, butuh solusi yang sangat mendasar dan pasti benar, yakni berupa penerapan aturan-aturan Islam kafah satu satunya solusi setiap persoalan.
Wallahu'alam.
Tags
Opini