Di Negeri Demokrasi, Rasa Keadilan Publik Terus Terusik




Oleh: Putri Efhira Farhatunnisa


Saat ini keadilan menjadi suatu hal yang sulit didapat, bagai barang mewah yang hanya bisa didapat orang tertentu saja. Dan lagi-lagi rasa keadilan publik kembali terusik atas penanganan kasus pembunuhan sejumlah muslim dengan hasil yang sangat mengecewakan, dua polisi terdakwa kasus pembunuhan anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) divonis bebas.

Dilansir dari cnnindonesia.com 18/3/2022, Ketua Majelis Hakim M Arif Nuryanta mengatakan bahwa pembunuhan dan penganiayaan dalam rangka pembelaan yang dilakukan oleh terdakwa Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan, tidak dapat dijatuhi pidana dengan alasan pembenaran dan pemaaf. Hal tersebut disampaikan saat pembacaan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Meskipun tindakan pidana kedua terdakwa masuk dalam dakwaan primer jaksa, seperti yang telah diatur dalam Pasal 338 KUHP. Namun perbuatan keduanya disebut sebagai upaya membela diri, sehingga tidak dapat dijatuhi hukuman. Bahkan kedua polisi tersebut dilepaskan dari segala tuntutan hukum, Arif pun memerintahkan agar martabat, kemampuan dan hak-hak mereka segera dipulihkan.

Dalam kasus ini, enam anggota laskar FPI terlibat aksi kejar-kejaran dengan aparat pemerintah --kepolisian-- yang berujung tewasnya enam anggota laskar FPI tersebut. Peristiwa ini terjadi di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020 lalu. Dua diantaranya meninggal di TKP dan empat lainnya tewas saat hendak dibawa ke Polda Metro Jaya dalam keadaan hidup.

Ketidakadilan hukum kembali mewarnai wajah hukum di sistem Demokrasi, kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus dengan penanganan yang mengecewakan. Mendapat keadilan merupakan hak setiap warga negara tanpa pandang bulu. Namun “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang merupakan bunyi dari sila ke-lima Pancasila, nyatanya tak benar-benar terealisasi. 

Hukum saat ini hanya tajam pada rakyat miskin dan individu atau kelompok yang dinilai bersebrangan dengan rezim. Kepolisian yang berslogan “melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat” nyatanya malah menjadi alat politik. Negara seharusnya memastikan hak-hak setiap warga terpenuhi, bukan malah merampasnya. Kini, masyarakat tak lagi memiliki pelindung ataupun tempat untuk mengadu.

Dalam sistem demokrasi ini, hukum seringkali ditunggangi berbagai kepentingan. Hingga tak jarang berujung penghilangan nyawa seseorang, di sistem ini nyawa sudah tak lagi bernilai. Padahal Rasulullah SAW mengatakan bahwa nyawa seorang mukmin lebih berharga dari dunia ini.
Beliau bersabda dalam hadistnya:

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Berharap penyempurnaan sistem yang sudah rusak sejak lahir merupakan hal yang percuma, karena sistem yang rahmatan lil 'alamin hanyalah sistem Islam. Dalam Daulah Islamiyyah hak-hak setiap warga negara akan terpenuhi, Islam tidak akan membiarkan ketidakadilan terus terjadi seperti sekarang ini.

Islam yang diemban sebagai sebuah ideologi, tidak akan membiarkan para penegak hukum atau siapapun berbuat kedzaliman. Sanksi yang tegas dan taqwallah sebagai standar perbuatan, membuat orang berpikir dua kali untuk melakukan sebuah kejahatan. Berbeda dengan saat ini yang dimana hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Sekuler Kapitalisme yang sudah mengakar di negeri ini membuat materi menjadi standar perbuatan, sehingga dosa tak lagi dihiraukan. Berbagai kekacauan di negeri ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh tidak diterapkannya sistem Islam. Allah telah menciptakan manusia berikut aturan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan As-sunah, bukan hanya untuk dibaca namun diamalkan dan dijadikan sebagai sumber hukum. Wallahua'alam bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak