Oleh: Tri Setiawati, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Masalah Perempuan dan Generasi)
Dokter di Sukoharjo menjadi korban penembakan terduga teroris. Baru-baru ini ada peristiwa penembakan mati yang dilakukan Densus 88 kepada seorang dokter di Sukoharjo. Anehnya dokter ini mempunyai keterbatasan pada kakinya. Bagaimana bisa dia bisa melawan sebelum akhirnya di habisi (Tribunsolo.com, 10/03/2022).
Isu terkait terorisme dan deradikalisasi dalam 10 tahun terakhir menjadi ungkapan yang cukup populer. Secara bahasa deradikalisasi berasal dari kata “radikal” yang mendapat imbuhan “de” dan akhiran “sasi”. Radikal sendiri berasal dari kata “radix” yang dalam bahasa Latin artinya “akar”. Jika ada ungkapan “gerakan radikal” maka artinya gerakan yang mengakar atau mendasar, yang bisa berarti positif (untuk kepentingan dan tujuan baik) atau negatif.
Dalam Kamus, kata radikal memiliki arti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I.2008). Dalam pengertian ini, hakikatnya sebuah sikap “radikal” bisa tumbuh dalam entitas apapun, tidak mengenal agama, batas teritorial negara, ras, suku dan sekat lainnya.
Namun dalam konteks isu terorisme, radikal pemaknaannya menjadi sangat stereotip, over simplikasi dan subyektif. “Radikal” sebuah label yang dilekatkan kepada individu atau kelompok muslim yang memiliki cara pandang, sikap keberagamaan dan politik yang bertentangan dengan mainstream yang ada. Atau dengan katagorisasi sebagai alat identifikasi, “radikal” adalah orang atau kelompok jika memiliki prinsip-prinsip seperti; menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya, mengganti ideologi Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah, gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi syariat dalam negara, menganggap Super Power sebagai biang kedzaliman global.
Maka yang dinamakan “de-radikalisasi” adalah langkah upaya untuk merubah sikap dan cara pandang diatas yang dianggap keras (dengan julukan lain; fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal.
Lagi-lagi atas nama menyelamatkan aqidah umat khususnya Aswaja, isu melawan terorisme, radikalisme Islam dan pengarusutamaan moderasi beragama digaungkan. Siapa yang disebut radikal pun tidak jelas, kenapa hanya dilebelkan pada umat Islam, ini sungguh aneh. Proyek deradikalisasi dengan dalih membersihkan radikalisme pada masyarakat agar kembali menjadi masyarakat biasa sebagaimana masyarakat lainnya adalah proyek yang diaruskan oleh barat untuk menghadang tegaknya Islam Kaffah karena mereka tahu tantangan mereka saat ini adalah Islam. Padahal justru paham dari barat lah seperti demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme, sekularisme, kapitalisme yang berbahaya bagi umat Islam.
Dikalangan Akademisi, Radikalisme terus digiring dan menyasar kaum intelektual kampus yang dianggap sebagai sarangnya gerakan radikal. Isu perguruan tinggi terpapar paham radikal bukanlah hal yang baru, terutama sejak gerakan radikalisasi agama disebut-sebut berkembang masif di ruang kampus. Subjek ini diteliti lewat profil para pelaku teror dari latar belakang pendidikan, usia, keluarga, hingga jaringan organisasi.
Radikalisme saat ini menjadi suatu kata yang memiliki dimensi horor. Radikalisme dianggap suatu faham yang menginspirasi terjadinya berbagai teror dan lahirnya para teroris. Seseorang di anggap menjadi teroris, berawal dari radikal. Orang menjadi radikal karena mendalami ajaran agama. Sehingga akhirnya muncullah stigma ditengah-tengah kaum intelektual bahwa yang menyebarkan ideologi anti-Pancasila, berambisi mendirikan negara khilafah, terkait dengan jaringan teror global Negara Islam (ISIS), melawan pemerintah, menolak demokrasi, dan sebagainya, itulah opini yang dikenalkan kepada generasi muda serta disebut sebagai kelompok radikal.
Jika deradikalisasi yang dilakukan menyasar kaum intelektual dengan stigma radikalisme versi diatas maka yang menjadi sasaran utama adalah Lembaga Dakwah Kampus. Lembaga dakwah kampus menjadi momok yang menakutkan dikalangan mahasiswa saat ini, Maka wajar ketika mahasiswa menjadi sosok pragmatis, tidak peduli dengan sekitar bahkan takut untuk mendalami ajaran agamanya sendiri. Maka, sejatinya mahasiswa telah kehilangan identitasnya.
Padahal, kampus adalah tempat berkembangnya keilmuan, ladang mahasiswa untuk berdiskusi dan berargumen, guna membangun suatu negeri untuk menjadi lebih baik. Di tangan para intelektual, lahir dan melekat suatu pemikiran dan idealisme yang tinggi. Mereka bisa membakar semangat perjuangan menuju peradaban yang gemilang.
Jangan sampai istilah radikalisme menjadi alat untuk membungkam gairah keislaman yang positif. Jangan sampai mahasiswa-mahasiswi yang bersemangat mengkaji Islam, menyeru pada kebaikan, mengamalkan dan memperjuangkannya menjadi bimbang bahkan padam dalam berjuang.
Ini merupakan hal yang positif dan tidak layak untuk dihantui dengan kata radikalisme yang menjadikan muslim tersebut phobia terhadap agamanya sendiri. Oleh sebab itu, mahasiswa harus terus menyuarakan kebenaran, tidak boleh bungkam dan tunduk pada kemungkaran.
Karena menyeru kepada Islam bukanlah sesuatu yang keliru apalagi dikatakan sebagai perbuatan yang negatif. Ia merupakan kewajiban dari Allah SWT, memerintahkan kepada hamba-Nya yang beriman untuk taat pada setiap garis ketentuan-Nya (Syari’at Islam). Hingga pada akhirnya, syariat Allah diterapkan secara menyeluruh dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Saatnya umat paham bahwa proyek ini adalah senjata ampuh untuk menghadang dakwah khususnya dakwah politik ideologis, dakwah yang bertujuan menegakkan Islam Kaffah dalam Daulah Khilafah yang dengannya umat akan terhindar dari paham yang merusak aqidah dan tatanan kehidupan.