Oleh: Atik Hermawati
Presiden Joko Widodo mengimbau istri personel TNI dan Polri agar tak mengundang penceramah radikal. Larangan terhadap TNI dan Polri tersebut, Presiden katakan sebagai pendisiplinan dan tidak ada kata demokrasi dalam keduanya. (kompas.com, 01/03/2022)
Adapun ciri-ciri penceramah radikal yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yakni mengajarkan anti-Pancasila dan pro terhadap ideologi Khilafah atau yang ingin mendirikan negara Islam, mengajarkan paham takfiri atau mengafirkan pihak lain yang berbeda paham ataupun agama, menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungannya dan bersikap intoleran terhadap perbedaan, serta berpandangan antibudaya atau kearifan lokal keagamaan.
Tak lama setelah itu, viral daftar 180 nama penceramah yang dianggap 'radikal'. Dimana sebagian dari mereka sudah dikenal sebagai ulama yang selalu menyampaikan kebenaran di tengah umat. Tentu, beredarnya hal tersebut menuai protes dari masyarakat. Atas dasar apa para ustaz tersebut dicap radikal? Ada bahaya apa, sampai dilarang untuk ceramah?
Isu Radikalisme, Buah dari Islamofobia
Krisis multidimensi saat ini begitu berat dirasakan masyarakat, dianggap sepele daripada isu radikalisme. Kelangkaan dan kenaikan minyak goreng yang disusul kenaikan kebutuhan pokok lainnya, korupsi, kriminalitas, pengangguran, penistaan agama, pergaulan bebas, JHT, pendirian IKN di tengah kemiskinan, dan seabrek masalah lainnya yang tak pernah kunjung diselesaikan. Radikalisme digaungkan dan disematkan pada pihak yang mengkritisi kebijakan zalim penguasa. Apalagi yang selalu digemborkan ialah menyasar para ustaz atau penceramah yang memang menyampaikan berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Rasul-Nya.
Melihat ciri-ciri penceramah radikal yang dikeluarkan BNPT di atas, tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa yang termasuk dalam kategori tersebut ialah setiap penceramah yang mengkritisi kebijakan pemerintah dan ingin menerapkan syariat Islam. Yakni setiap orang terutama pengemban dakwah yang ingin meluruskan agar masyarakat maupun negara agar sesuai dengan aturan Sang Pencipta. Lalu kemudian dituduh sebagai anti-Pancasila dan intoleran.
Padahal dakwah mereka ialah sebagai wujud kepedulian pada bangsa dan negeri. Menasihati dalam kebaikan dalam upaya perbaikan. Tapi mengapa dianggap merongrong negara dan kebhinekaan. Tidak seperti pada koruptor, asing yang menguasai SDA, dan pengusung kebebasan yang selalu dilindungi atas nama HAM. Belum lagi KKB di Papua yang jelas-jelas meneror masyarakat secara membabi-buta.
Maka narasi radikal ini tak lepas dari agenda Barat yakni WoT maupun WoR (perang melawan radikalisme. Radikalisme yang diartikan oleh Barat ialah yang menentang aturan Barat, lebih spesifiknya ialah Islam yang kaffah (menyeluruh). Sehingga islamofobia digencarkan ke negeri-negeri muslim termasuk Indonesia. Agar Islam yang ada sesuai dengan selera Barat. Misalnya, Khilafah yang berasal dari ajaran Islam sebagai sistem pemerintahan, dianggap sebagai biang keladi perpecahan dan terorisme. Sebaliknya demokrasi yang pro oligarki kapitalis dianggap sebagai sistem baku yang tidak boleh diubah.
Cap radikal itu akhirnya ialah hanya versi mereka yang ingin melanggengkan kekuasaannya. Pelarangan dalam mengundang penceramah 'radikal' ialah sebagai upaya membungkam kebenaran dan kritis terhadap kebijakan zalim yang ada. Demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat hanya alat yang digunakan semaunya, bukan karena hak dan kewajiban sesungguhnya.
Ulama Tak Butuh Gelar dari Manusia
Rasulullah saw. bersabda,
“Sungguh ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Akan tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambil ilmu itu, maka ia telah mendapatkan bagian terbanyak (dari warisan para nabi).” (HR. Tirmidzi, 2682)
Jalan dakwah ialah jalan para nabi dan rasul. Dakwah berarti menyeru manusia untuk taat pada aturan Allah SWT agar selamat dunia-akhirat. Para nabi dan rasul senantiasa istikamah walaupun banyak gangguan dari para musuhnya. Sebab itu adalah kewajiban dari Sang Pengatur dan hanya rida-Nya yang diharapkan, bukan imbalan dari manusia.
Para ulama sebagai pewaris para nabi menjadi pejuang terdepan dalam meluruskan pemahaman umat. Ia laksana cahaya yang menuntun pada kebenaran. Jika ulamanya saja tak peduli dan membiarkan kerusakan, maka bagaimana jadinya masyarakat yang terlena dalam kekeliruan. Bukankah Allah SWT telah memperingatkan dalam firman-Nya, "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS. Al-Anfal [8] : 25)
Sehingga ulama tak perlu gelar dari manusia, moderat atau radikal. Allah tidak memerintahkan hal demikian, melainkan harus berislam secara kaffah (QS. Al-Baqarah: 208). Dan Dia mengecam bagi siapa saja yang mengambil aturan Islam hanya sebagian (QS. An-Nisa: 150-151).
Selanjutnya umat muslim lainnya pun harus menyadari bahwa dakwah ialah kewajiban bersama, bukan hanya ustaz. Dakwah ialah wujud cinta yang dibebankan Al Khaliq sebagai konsekuensi keimanan. Masyarakat tidak boleh diam saja melihat kemungkaran yang ada. Amar makruf nahi munkar harus ditegakkan apapun kondisinya.
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini