Oleh : Ummu Fairuz
Belum lama berselang, terkait permasalahan penggunaan toa di masjid, saat ini masyarakat dihebohkan kembali dengan berita penetapan label halal baru.
Sebagaimana dikutip dari antaranews.com 12/3/2022, pada saat siaran pers Kementerian Agama, di Jakarta. Penetapan label halal yang tercantum dalam surat keputusan kepala BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), nomor 40 tahun 2022, tentang penetapan label halal, yang berlaku mulai tanggal 1 Maret 2022.
Berdasarkan peraturan ini, maka sertifikasi halal hanya bisa dilakukan oleh pemerintah dan bukan lagi wewenang organisasi kemasyarakatan, yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia). Akan tetapi, kebijakan ini banyak menuai pro dan kontra dari masyarakat. Pertama, soal label halal yang berbentuk lurik gunungan wayang. Kedua, penggunaan kata MUI dihilangkan. Beragam respon dari masyarakat menanggapi permasalahan ini bahwa label halal baru tersebut, sulit Untuk dipahami dan dibaca.
Maksud dari penetapan label halal tersebut adalah agar masyarakat bisa mendapatkan kepastian hukum, dan tidak membingungkan atas produk makanan yang dikonsumsinya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 168 yang artinya:
"Wahai manusia, makananlah dari (makanan) yang halal dan baik, yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu."
Oleh jarena itu, jika ada hal yang syubhat (samar), maka masyarakat harus diberikan penjelasan terkait label halal yang bersifat ketidakpastian, karena dengan mengkonsumsi barang yang haram, selain berdosa juga dapat menghambat terkabulnya do'a yang kita panjatkan.
Berkaitan dengan peraturan penetapan label halal baru, masyarakat banyak yang mengeluhkan dengan adanya pergantian label halal tersebut. Terasa sangat memberatkan dan butuh biaya yang besar untuk menggantinya, terutama bagi para pelaku usaha UMKM.
Hal ini sangat membebani masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap di tengah kondisi kenaikan berbagai kebutuhan pokok dan keperluan hidup yang semakin meroket.
Berkurangnya peran MUI, dalam menetapkan sertifikasi halal saat ini, merupakan imbas dari Undang-Undang Omnibuslaw.
UU ini sangat memberikan ruang kepada BPJPH dalam menerbitkan sertifikasi halal, padahal selama ini di dalam proses penetapan sertifikasi halal sangat ketat.
Tampaknya kebijakan tersebut tidak disukai oleh para pengusaha. Yang tercantum dalam amanat Omnibuslaw, dengan perubahan pasal Undang-Undang nomor 33 tahun 2014, tentang jaminan produk halal.
Ketika tujuan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lahan basah investasi, sehingga menjadi pertimbangan dalam labelisasi halal pangan, maka hal tersebut akan berdampak terhadap ketidakpastian standar halal dan haram. Harapannya, masyarakat harus lebih teliti dalam melihat komposisi suatu produk.
Hal ini tampak jelas, bahwa kebijakan pemerintah dalam menangani masalah sertifikasi label halal tidak berdasarkan keimanan dan bukan pula untuk kepentingan umat Islam, tetapi hanya sebagai formalitas semata.
Melihat fakta yang ada, seharusnya kebijakan pemerintah, mengenai peraturan tersebut tidak boleh membebani rakyatnya. Bahkan, harus diberikan kemudahan terutama bagi para pelaku usaha kecil.
Ketiadaan peran negara sebagai penghilang perbedaan dalam menyangkut urusan publik, yaitu bermu'amalah merupakan penyebab utamanya. Di dalam syariat Islam dinyatakan, perintah imam yaitu menghilangkan perselisihan.
Namun di sistem ekonomi kapitalis sekuler, menyepelekan masalah kehalalan dan keharaman, dengan menyerahkannya pada kebutuhan pasar. Tentunya segala sesuatu yang menghambat harus disingkirkan.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 88 yang artinya:
"Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu, sebagai rezeki yang halal dan baik, bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada Nya."
Jika bersandar para dalil di atas, Islam telah menjelaskan makanan yang dikonsumsi haruslah halal dan thoyib, sertakan tidak berlebihan. Syariat Islam melarang bersifat rakus dalam mengkonsumsi makanan dan budaya hedonis (berlebihan). Oleh karenanya, dalam menentukan halal haram tidak sebatas label saja, melainkan harus didasari dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, yang sesuai Al-Qur'an dan As sunah. Pengerjaannya pun harus diawasi dan dikontrol oleh para ahli dan ulama, agar umat muslim terjaga dari keharaman. Sebaliknya, jika menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, hanya akan menghantarkan kepada kehancuran dan kerancuan.
Untuk itu, sistem kapitalis-sekuleris harus dicampakkan dan digantikan dengan aturan kehidupan dari Al Khaliq agar tercipta keberkahan dalam kehidupan.
Wallahu a'lam bishshowab.