Oleh. Messy Ikhsan
Hello, Guys, akhir-akhir ini jagat media sosial viral pembahasan tentang Permendikbud No. 30 tahun 2021. Sebab, terdapat pasal yang mengundang kontroversial di tengah masyarakat. Salah satunya yang tertuang dalam pasal 5 tentang kekerasan seksual pada keadaan yang didefenisikan 'tanpa persetujuan korban,' antara lain :
1. Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban.
2. Memperlihatkan foto tubuh atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
Narasi kalimat tanpa persetujuan korban seolah-olah aturan PPKS tak berlaku apabila kejahatan seksual itu dilakukan atas dasar suka sama suka atau dengan persetujuan korban. Sebagaimana yang tertuang jelas pada pasal 5. Maka tak salah bila peraturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di dunia kampus menuai pro dan kontra. Bahkan, Lincolin Arsyad selaku Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Pusat Muhammadiyah juga ikut berkomentar. Beliau mengatakan bahwa pasal 5 adalah salah satu pasal yang dinilai melegalkan zina dan seks bebas di lingkungan kampus, sebagaimana yang dilansir pada laman democrazy.id.
Guys, dari paparan fakta di atas tentu kita dituntut untuk berpikir kritis. Apa sebenarnya tujuan dari peraturan Permendikbud No. 30 tahun 2021? Apa benar-benar serius ingin memberantas kejahatan seksual di lingkungan kampus? Tapi, kok dari pasal-pasal yang dibuat terkesan melegalkan hubungan zina? Lantas, siapa yang paling diuntungkan dari peraturan PPKS ini?
Marak Kejahatan Seksual Buah Hidup Liberalisme
Guys, orang-orang yang bisa berpikir jernih dan berhati baik pasti menolak aturan yang menghalalkan kemaksiatan. Niatnya sih memang baik untuk memberantas kejahatan seksual yang marak terjadi di kampus. Akan tetapi, kok aturan yang dibuat terkesan melegalkan hubungan zina. Eh, bukannya menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah baru. Itulah akibat saat menerapkan sistem kapitalisme dalam kehidupan nyata. Aturan yang dibuat berdasarkan asas sekularisme atau pemisahan agama dalam ranah publik. Agama hanya boleh mengatur ranah privat saja, hingga melahirkan generasi yang hedonis dan liberalis.
Generasi yang bebas berbuat apa saja dan mengikuti hawa nafsu tanpa melihat dalil syariat. Sebab, agama hanya dianggap dan berlaku saat ibadah saja. Sementara dalam aktivitas sehari-hari aturan yang dibuat berdasarkan keinginan pribadi. Bebas mau melakukan kejahatan seksual, bebas mau melakukan hubungan zina karena alasan suka sama suka. Sehingga sangat jelas sistem kapitalisme yang membuat kejahatan seksual kian subur dan merajalela. Astagfirullah!
Guys, masyarakat pun menjadi khawatir dengan nasib anak-anaknya agar tak menjadi korban dari kejahatan seksual. Kita membutuhkan aturan yang tegas dalam menyelesaikan masalah kejahatan seksual secara tuntas. Akan tetapi, aturan yang dibuat malah semakin mengundang cemas dan menuai perdebatan. Para pemilik kekuasaan seolah-olah tak serius menjamin keamanan dan perlindungan bagi warga negaranya. Lantas, ke mana lagi hati masyarakat akan mengadu?
Umat Hanya Butuh Syariat, Bukan PPKS
Pendidikan dalam Islam bukan hanya mampu mencetak generasi yang hebat perihal dunia. Akan tetapi, pendidikan yang mampu melahirkan generasi emas dan berkualitas. Generasi yang multitalenta, ahli ilmu agama, dan ahli ilmu dunia. Begitulah seharusnya tugas kampus mampu menjadi lembaga yang melakukan perbaikan terhadap kondisi generasi. Bukan malah menjadi ladang beragam kejahatan seksual dan tindakan kriminal seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini. Sistem sekuler yang memisahkan aturan agama dalam kehidupan, termasuk dalam perkara pendidikan. Sungguh, membuat nasib generasi muda kian berada di ambang kehancuran.
Guys, Islam melarang segala bentuk kejahatan seksual seperti prostitusi, L98T, zina, pemerkosaan, dan lain-lain. Baik dilakukan karena keinginan sendiri maupun dipaksa adalah perbuatan yang salah. Islam menyelesaikan masalah kejahatan seksual dengan tiga cara, antara lain :
Pertama, Islam menerapkan pengaturan interaksi antara lelaki dan perempuan secara lengkap dan jelas. Tidak boleh terjadi interaksi tanpa kepentingan syar'i seperti dalam dunia pendidikan, kesehatan, muamalah, dan peradilan. Perempuan dan lelaki diperintahkan untuk menutup aurat sesuai syariat, menjaga pandangan sekaligus menjaga kemaluan. Semua itu tertera jelas dalam hukum syariat.
Kedua, kontrol sosial yang selalu dijalankan oleh masyarakat. Saat melihat kemaksiatan di depan mata harus dinasihati secara baik-baik dan penuh hikmah. Selain itu, masyarakat yang sudah dibekali kepribadian Islam akan selalu terikat pada hukum syariat. Sebab, individu-individu muslim sangat takut melanggar perintah Allah.
Ketiga, negara akan menutup segala kemugkinan sesuatu yang dapat merangsang nafsu seksualitas. Tontonan dan konten yang boleh tersebar hanya memberikan pengaruh positif pada masyarakat. Selain itu, aturan Islam yang tegas memberikan efek jera pada pelaku seperti pelaku pemerkosaan bisa dirajam sampai mati. Bahkan, hukum Islam juga memberikan pengajaran agar yang lain tidak melakukan hal serupa.
Sungguh, semua itu dilakukan sebagai bentuk penjagaan sistem Islam terhadap individu dan masyarakat. Akan tetapi, semua itu akan bisa dirasakan kembali saat Khilafah yang mempimpin dunia. Yuk, rapatkan barisan untuk menyongsong janji kemenangan Islam. Allahu akbar!